Malam harinya...
Dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Nafisah. Alhamdulillah tidak parah. Nafisah hanya kelelahan setelah beberapa malam sebelumnya ia bergadang menjaga Rafa yang sedang sakit.
"Tidak ada yang perlu di khawatir, Ibu Nafisah. Pusing yang Anda alami hanya kurangnya jam tidur."
Maka Dokter tersebut langsung memberikan resep obat beserta vitamin untuk menjaga daya tahan tubuh Nafisah. Setelahnya, Dokter itu pamit pergi. Ketika suasana kembali hening, tatapan Nafisah beralih ke Zulfa.
"Zul.."
"Hm?"
Zulfa sibuk bermain sosmed di ponselnya. Nafisah merasa kalau Zulfa terlihat tidak acuh setelah tadi pagi Marcello datang secara tiba-tiba. Apakah Zulfa secuek itu setelah apa yang terjadi di masalalu? Sepertinya Zulfa memang tidak terpengaruh apapun. Termasuk tentang Marcello.
"Rafa sudah tidur?" tanya Nafisah basa-basi.
"Sudah. Barusan aku suruh dia bobok. Kalau nggak mau, aku gigit pipinya. Tuh anak gemoy banget!"
Nafisah tertawa pelan. Sadar biar bagaimanapun Rafa adalah anak balita yang memang menggemaskan. Tapi sayang, Zulfa tetap tidak menyukai anak-anak.
"Dia sempat rewel, nggak?"
"Nangis sih. Tapi nggak lama kok. Ngurus anak gitu banget ya, ribet!"
"Tapi aku yakin. Suatu saat kamu bisa nerima Rafa. Biar bagaimana dia-"
"Naf, aku kebelet nih mau ke toilet. Dari tadi aku nahan pipis loh gara-gara jagain Rafa. Aku pergi dulu ya! Jangan lupa matiin lampu ruang tamu. Kita kan harus hemat listrik."
Nafisah menatap kepergian Zulfa. Bestienya itu sedikit berlari menuju toilet. Ntah benar kebelet atau tidak, tapi Nafisah yakin. Zulfa itu selalu menghindari ucapannya begitu ia membahas perihal Rafa. Terutama untuk bisa menerima balita itu.
****
Adelard berdiri dalam diam sambil menatap seisi ruangan kamar Nafisah. Sejenak, ia memejamkan matanya. Aroma parfum ini, adalah aroma pilihan Nafisah yang selalu ia pakai di tubuhnya.
Adelard membuka matanya, kedua kakinya melangkah mendekati jendela yang tertutup tirai brukat berwarna putih. Cahaya rembulan itu kini menyelinap di balik tirai dan mengenai sebagian tubuh Adelard.
Adelard masih berdiri, menghirup panjang aroma kebebasan yang kini ia rasakan setelah 2 tahun lamanya mendekam di balik jeruji besi. Bersamaan dengan hatinya yang sudah terlanjur dingin. Tidak ada lagi kehangatan yang tersisa setelah Nafisah mengecewakannya.
Pintu terbuka. Reaksi pertama yang Adelard rasakan tanpa harus menoleh kebelakang adalah kesunyian dan rasa keterkejutan Nafisah. Suara langkah pelan terdengar mendekat dari belakang.
"Mas Daniel.. "
Daniel memejamkan kedua matanya. Suara itu.. Suara yang kembali ia dengar setelah sekian lama tidak terdengar. Suara langkah mendekat kembali terdengar. Tapi Adelard langsung membalikkan tubuhnya dengan cepat.
"Aku bukan Daniel!"
Nafisah berusaha untuk kuat. Ia berusaha menahan air matanya sendiri agar tidak tumpah. Apalagi saat ini Daniel terlihat memundurkan langkahnya ke belakang. Seolah-olah memberi jarak pada Nafisah.
"Sampai kapanpun kamu tetap Daniel. Seorang suami yang aku cintai. Bahkan sampai maut memisahkan kita.."
Nafisah memberanikan diri memajukan langkahnya. Kerinduan mendalam yang ia tahan selama 2 tahun ini tanpa bertemu, tanpa berkomunikasi, bahkan tanpa kabar dari suaminya itu sudah tidak bisa lagi Nafisah bendung. Seperti titah Daniel 2 tahun yang lalu.
"Aku kecewa padamu, Nafisah! Kalau kamu masih menganggapku suamimu dan berada di sisiku, maka jangan pernah datang kemari! Kamu lupa gara-gara dirimu yang berhianat akhirnya aku dipenjara?
Sekarang, 2 tahun itu sudah berlalu. Adelard berada di depan mata Nafisah. Hingga akhirnya posisi pria itu sudah terpojok di tirai begitu Nafisah berhasil mendekatinya.
"Mas Daniel..."
Adelard menatap Nafisah dengan pandangan dingin sedingin es. Seperti tatapan kebencian yang terus bersarang di hatinya selama ini. Adelard terus diam tanpa berbicara sepatah katapun. Perlahan, Nafisah menyentuh pelan pipi Adelard.
"Mas sudah pulang. Tidak kah ingin meminta haknya padaku?" tanya Nafisah baik-baik tanpa basa-basi.
Berhasil.
Cara Nafisah saat ini berhasil mempengaruhi Adelard. Bayangkan saja, 2 tahun di penjara memang membuat Adelard kesulitan untuk bisa menahan hawa nafsunya dan kebutuhan biologis seorang suami normal yang harusnya ia salurkan pada sang istri.
Sekarang, tangan Nafisah beralih ke leher Adelard. Menyentuhnya lembut dan mampu membuat suaminya itu terpancing. Tapi Adelard berusaha untuk menahan diri. Dengan cepat ia mencengkram kedua pundak Nafisah sambil membalikkan badannya. Sekarang, Nafisahlah yang berada di pojok tirai.
"Kamu pikir setelah kedatanganku yang tiba-tiba seperti ini, aku bisa luluh terhadapmu dan semuanya kembali seperti semula?!"
Adelard menatap Nafisah dengan tajam. "Aku tidak membutuhkan urusan ranjang karena kekecewaan ini begitu besar! Aku-"
"Kalau begitu kenapa Mas pulang dan mendatangiku. Jelaskan.. " Nafisah berusaha mencari semua tanda tanya ini dari tatapan dingin suaminya. "Jelaskan padaku. Aku yakin semua ini karena cinta.."
Adelard terdiam sesaat. Nafisah mendongak menatap wajah Daniel tanpa berkedip. Ucapan Nafisah berhasil menyentil hati Adelard. Perlahan, cengkraman di pundak Nafisah langsung melemah.
Benarkah? Benarkah kedatangannya kesini tanpa sadar karena perasaan cinta itu? batin Adelard.
Adelard seperti kehabisan kata-kata. Sampai akhirnya Nafisah mengambil tindakan. Ia mulai melepaskan ikatan rambutnya yang panjang itu tergerai indah di punggungnya.
"Kalau Mas tidak membutuhkan diriku untuk urusan ranjang, maka aku yang akan membutuhkan Mas."
Adelard terkejut. "Apa yang kamu lakukan?!"
"Mas masih bertanya? Sebagai istri, aku tidak akan membuat suaminya menahan hasrat terlalu lama."
****