Ternyata mudah sekali membohongi Reina, ia langsung percaya saja apa yang kukatakan. Sepertinya jalanku semulus jalan kereta api, tidak ada macet-macetnya.
Berganti hari, seperti biasa aku masih membantu Reina, mengantarkan pesanan para pelanggan. Tapi setiap pulang aku selalu mampir ke rumah Kartika, sekedar bertemu melepas rindu.
Hingga sebulan sudah pernikahan rahasia kami.
Malam itu, Reina yang cuek pada handphone-ku tiba-tiba memeriksanya. Aku tak sengaja melihatnya sedang memegang handphoneku.
"Dek, gimana apa ada pesanan yang lain lagi?" tanyaku pada Reina--istriku yang kaya dan baik hati itu.
"Ada nih mas, WA dari Kartika. Tapi kok chatnya mesra begini ya? Memangnya dia pesan apaan sih, Mas?" tanya Reina sambil mengerutkan keningnya.
Aku meraih handphoneku lalu membaca pesan dari Kartika.
[Mas, jangan lupa pesananku nanti malam ya, Love you. Mmuuaaacch]
Deg! Jantungku mulai berpacu cepat. Aku pun lupa memberi tahu Kartika agar tidak menghubungiku dulu ketika di rumah. Ya wajar sih, mungkin dia kangen padaku. Duh, semoga saja tidak ketahuan dan Reina tidak curiga. Akupun berkilah, paling Kartika hanya iseng saja.
Lagi, Reina percaya saja padaku meskipun ada drama malam-malam namun aku berhasil meyakinkannya. Aku berpura-pura acuh saat ia terus saja bertanya tentang Kartika.
Besok adalah waktunya aku berjalan-jalan dengan Kartika, kebetulan Rusdy--teman saat kami bekerja dulu menghubungiku untuk bertemu. Ia bilang ada pekerjaan untukku. Bukankah ini moment kebetulan yang sangat menguntungkan?
***
Seharian penuh aktivitasku berjalan dengan lancar, bertemu Rusdy lalu bersenang-senang dengan Kartika. Bukankah aku laki-laki yang sangat beruntung?
Aku mengajak Kartika berbelanja di mall, ia tampak bahagia saat memilih-milih baju kesukaannya. Setelah itu kami lanjut pergi ke hotel. Ya layaknya pengantin baru, kami berbulan madu, meskipun waktunya cukup singkat.
Menjelang malam aku baru sampai di rumah. Hatiku berbunga-bunga seakan mendapatkan energi positif berlipat-lipat.
Alangkah terkejutnya saat kulihat Rusdy berada di rumah. Kenapa ia bisa tahu rumahku? Ada ibu dan juga Reina yang tampak kesakitan.
Rusdy menatapku tajam, membuatku salah tingkah saja. Jangan-jangan dia mengatakan sesuatu pada Reina?
"Ah ini kok bisa--, maksudku kamu kok tahu aku kalau aku tinggal disini?" tanyaku gugup.
"Hush! Kamu kok malah berkata seperti itu! Nak Rusdy itu yang sudah menyelamatkan istrimu, dia mengantarnya sampai ke rumah," tegur ibu membuatku makin gelagapan saja.
Tapi dari reaksi Reina kulihat sepertinya Rusdy tak mengatakan apapun pada istriku yang bodoh itu. Sembari berusaha menguasai suasana, aku mengajak Rusdy duduk lalu mengenalkan pada ibu dan Reina, kalau dia yang sudah mengajakku bekerja sama.
"Mungkin saya perlu memikirkan ulang untuk hal ini," jawab Rusdy.
"Maksudnya apa? bukankah tadi kita sudah deal?" tanyaku lagi.
"Kita bicarakan nanti saja, saya permisi pulang dulu. Saya pamit ya Bu, mbak Reina. Assalamualaikum," sahutnya lagi.
Cukup tercengang mendengar jawaban Rusdy. Apa maksudnya, memikirkannya kembali?
Tidak, besok aku harus melobinya lagi, kesepakatan kita kan sudah deal, enak saja main membatalkan begitu saja. Mau taruh dimana mukaku di hadapan Kartika maupun Reina.
Setelah Rusdy pergi, aku fokus ke Reina. Kenapa bisa dia kecelakaan seperti ini dan Rusdy yang menolongnya? Istriku yang super sibuk ini sebenarnya habis pergi dari mana? Hah! Menyebalkan sekali! Bisa hancur kalau Reina tahu semua rahasiaku.
Aku membawa Reina ke kamarnya, agar dia bisa beristirahat. Kasihan juga melihatnya kesakitan begitu.
"Kamu istirahat dulu ya, nanti biar mas yang siapkan air hangat untuk kamu mandi. Kalau butuh sesuatu tinggal bilang aja. Mas benar-benar khawatir keadaanmu seperti ini," ucapku sembari mencium keningnya.
Namun kulihat ekspresinya seperti tidak suka. Aku harus berpura-pura manis lagi di hadapannya.
"Dek, maaf. Tadi harusnya selesai bertemu Rusdy, mas langsung pulang. Tapi mas pergi ke rumah teman mas yang lain. Maaf ya," ujarku selembut mungkin. Tatapannya seolah iba saat memandangku.
Kukecup punggung tangannya, tapi ia justru menariknya. Ada apa ini? Apakah Reina marah? Ah biar nanti kubujuk dia lagi. Dengan senjata rayuan maut, dia pasti akan luluh kembali. Aku yakin itu.
"Hen, bisa bicara sebentar?" teriak ibu dari luar.
"Iya, Bu," sahutku. Aku beranjak menemui ibu. Kami berbincang di halaman belakang rumah. Sepertinya ibu ingin mengatakan hal yang penting.
"Ada apa, Bu?"
"Hen, adikmu shock berat."
"Freya kenapa, Bu? Ada masalah apa?"
"Freya hamil, Hendi. Dia mencoba bunuh diri, untung tadi ibu memergokinya. Kalau tidak dia pasti sudah--" Ibu tak melanjutkan kata-katanya. Ia menangis tersedu. Air matanya bercucuran membasahi pipi.
"Kurang ajar! Apa dia hamil dengan pacarnya?"
Ibu mengangguk.
Aaarggghh!! Aku tak percaya Freya hamil, jadi pergaulan dia sudah sebebas itu?
"Minta laki-laki itu untuk bertanggung jawab Bu!"
"Justru itu yang ingin ibu sampaikan."
"Kenapa? Ada apa, Bu?"
"Pacarnya meninggal dalam kecelakaan maut tiga hari lalu. Dan sialnya kandungan Freya sekarang sudah 2 bulan, dia baru ngaku sama ibu setelah ibu mencecarnya habis-habisan. Ibu gak tahu harus bagaimana lagi dengan anak itu."
"Sekarang keadaan Freya bagaimana, Bu?" tanyaku.
"Ibu mengurungnya di kamar. Ibu juga sudah mengancamnya agar dia tidak melakukan tindakan yang bodoh. Ibu benar-benar malu, gak tahu harus bagaimana dengan anak itu. Dia masih sekolah tapi sudah bergaul bebas seperti itu."
"Nasi sudah menjadi bubur Bu, ibu menyesalpun sudah tak ada gunanya. Kehamilannya tak mungkin bisa ditutupi lagi, semakin lama pasti perutnya akan semakin membesar. Terus bagaimana, Bu? Apakah aman kalau digugurkan?"
"Freya keukeuh ingin mempertahankan bayi itu. Tapi mau ditaruh dimana muka ibu, dia hamil tanpa suami! Keluarga kita bisa jadi bulan-bulanan para warga! Apa kamu ada ide?" jelas ibu.
Aku terdiam. Masalah ini cukuplah pelik. Harus bagaimana menghadapi masalah adikku?
"Hen, bagaimana kalau seperti ini saja. Freya biar disembunyikan di suatu tempat, tapi ibu butuh bantuan Reina juga."
"Maksud ibu?"
"Jadi selama Freya hamil, Reina juga berpura-pura hamil. Nanti kalau Freya melahirkan bayi itu, ibu akan langsung serahkan pada kalian untuk merawat bayi Freya. Apa kamu setuju?"
"Aku tidak yakin Reina setuju melakukan hal itu. Dia tidak mungkin mau berbohong, Bu," jawabku lagi.
"Terus bagaimana? Ibu kasihan pada Freya."
"Aku punya usul, Bu. Bagaimana kalau kita menjebak Rusdy, agar dia bisa bertanggung jawab pada Freya. Dia mapan, aku yakin hidup Freya gak akan kekurangan. Lagi pula tadi ibu sudah lihat sendiri kan sosok Rusdy seperti apa?"
"Maksudmu? Kamu akan menjodohkan Rusdy sama Freya?"
"Iya, bukankah itu hal yang bagus. Kita diuntungkan dari keduanya. Hidup ibu pun akan lebih terjamin, aku juga akan mendapatkan pekerjaan layak."
"Kamu yakin Rusdy mau menikahi Freya?"
"Kenapa tidak? Freya cantik, putih. Tenang saja Bu, aku akan mengatur semuanya. Ibu tinggal ikuti semua rencanaku. Bagaimana?"
BRUUKK ...!
Tiba-tiba terdengar suara terjatuh dari dalam. Aku segera menghampirinya, kulihat Reina terjatuh di dekat pintu. Kakinya seperti tidak bisa menopangnya berdiri.
"Lho Reina, kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya ibu.
"Kamu kenapa, Dek? Kok bisa sampai sini? Harusnya tadi kalau butuh sesuatu tinggal panggil aku saja!" tukasku.
Wanita itu hanya meringis kesakitan. Hah, dasar banyak tingkah! Disuruh diam di kamar saja malah berkeliaran. Jangan-jangan dia mendengar semua percakapanku dengan ibu atau ....
.
.