7. CLBK

1241 Words
"Mas, sini lho. Ini bantuin mbaknya bawain belanjaan. Mbaknya repot, belanjaannya banyak," pinta Reina. Kartika tersenyum pada Reina, lalu menoleh ke arahku. Aku menangkap keterkejutan di wajahnya saat melihatku kembali. "I-iya dek," jawabku tergagap. Reina tersenyum, istriku itu memang ramah pada setiap orang. Suka membantu. Seminggu sekali biasanya tiap hari Jum'at ia akan mengadakan santunan anak yatim atau berbagi makanan dengan para orang miskin. Entahlah, aku tak mengerti, uang Reina seakan tak ada habisnya. "Oh iya mas, Mbak Kartika ini tetangga baru, yang ngontrak di rumah Pak Komar. Baru pindah tadi, tolong kamu bantu bawa belanjaannya ya mas." Aku mengangguk lalu bergegas mengambil motor untuk membawa belanjaan itu. Sedangkan Kartika sudah pulang lebih dulu dengan berjalan kaki. Deg deg deg! Entah kenapa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Motorku berhenti di halaman rumah, lalu menurunkan belanjaannya itu. "Makasih ya mas, sudah bantuin aku," ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk, rasanya jadi canggung sekali. "Itu tadi istrimu ya, Mas?" tanyanya lagi. Memang saat pernikahanku digelar, Kartika tidak datang ke resepsiku. Aku mengangguk lagi. "Cantik," ujarnya singkat. "Ayo mas, masuk dulu." Entah kenapa aku menurut saja. Aku masuk ke dalam rumah yang masih kosong belum terisi perabotan apapun. "Makasih ya mas, berkat bantuanmu aku bisa sewa rumah disini. Tadi sudah langsung kubersihkan, jadi gak terlihat kotor lagi," tuturnya. "Syukurlah, semoga kamu betah tinggal disini ya." "Iya mas, pasti betah kok." "Terus rencanamu ke depannya bagaimana?" "Mungkin aku akan balik menyanyi lagi, Mas. Akan kuhubungi teman-temanku yang dulu satu profesi." Aku mengangguk. "Ya sudah, aku pamit pulang dulu ya." "Iya mas, sekali lagi terima kasih banyak ya mas." Aku pulang dengan perasaan yang masih berdebar-debar. Sepertinya tiap hari aku bisa bertemu dengannya lagi. Apakah aku bisa membendung perasaan ini? *** Benar saja, hari-hari berikutnya aku selalu bertemu dengan Kartika, meskipun tanpa sengaja. Ia sering datang ke toko untuk belanja atau membeli jajanan. Tapi seiring berjalannya waktu, mungkin ia mulai sibuk dengan pekerjaannya, ia jadi lebih sering memesan bahan belanjaan via WA. "Mas, makasih ya udah anterin pesanan aku. Akhir-akhir ini aku sibuk mas, banyak job menyanyi," tuturnya dengan senyuman yang sumringah. Tidak seperti waktu itu. Aku mengangguk. Kuedarkan pandangan, satu persatu perabotan rumah mulai terisi kembali walaupun masih belum lengkap. "Aku membelinya satu persatu mas, yah upah dari menyanyi emang gak seberapa tapi lumayanlah bisa buat beli yang kubutuhkan." Aku tersenyum. Andai saja aku bisa menikahinya ... Kartika mengangsurkan segelas teh manis hangat untukku. "Ini diminum dulu mas, terima kasih selama ini sudah banyak membantuku." Kami bertukar nomor handphone. Selain bicara tentang pesanan, ia mulai memberiku sedikit perhatian. Sudah makan belum, tetap semangat bekerja dan perhatian yang lain meskipun sepele namun membuat hati ini berbunga. Tanpa sadar dari hari ke hari kami semakin dekat. Hingga aku bertekad ingin sekali menikahinya. Bukankah seorang lelaki boleh memiliki lebih dari satu istri? Aku pasti bisa memenuhi kebutuhan Kartika, aku ingin sekali menjadi sandaran hatinya. *** Lima bulan berlalu, akhirnya kuberanikan diri untuk melamarnya. "Tika, maaf kalau kamu tersinggung. Tapi sepertinya aku harus mengatakan ini sejujurnya," ucapku saat itu. Kali ini aku tak bisa menahan hasratku untuk kembali menyatakan cintaku padanya. "Ada apa, Mas?" tanya wanita cantik dihadapanku. Ia sedang memoles wajahnya dengan make-up. Gerakan tangannya seketika terhenti. "Aku masih mencintaimu seperti dulu, tidak ada yang berubah. Bahkan sejenak saja, aku tidak bisa melupakanmu dan tentang cerita cinta kita ..." "Tapi mas--" "Aku tahu saat ini aku masih menjadi suami orang. Tapi sekarang ini aku gak bisa menahan lagi perasaanku padamu. Aku yakin, kamu juga masih cinta aku bukan?" Ia mengangguk ragu. "Aku juga masih mencintaimu, mas. Tapi--" "Yang terpenting aku tahu perasaanmu. Mau gak kau menikah denganku?" Matanya membulat, ia mungkin tak percaya aku mengatakan hal ini padanya. Mengajaknya menikah, padahal aku sendiri sudah punya istri? "Kamu mau kan kita nikah siri?" tanyaku lagi penuh harap. Ia terdiam sejenak. Tapi aku yakin ia akan menerimaku. "Aku janji akan memenuhi kebutuhanmu, kita berjuang bersama," lanjutku lagi, mantap. "Tapi istrimu ..." "Dia tidak akan tahu kalau kita bisa saling menjaga rahasia. Saat ini dia-lah sumber uangku, tapi aku akan menceraikannya kalau sudah dapat pekerjaan yang layak. Kumohon terima aku Kartika, menikah denganmu adalah impian terbesarku." Akhirnya ia mengangguk setuju. Betapa bahagianya aku saat ini. *** "Dek, maaf. Mas izin hari ini mau pergi ke rumah teman, kemungkinan sampai sore. Kamu bisa minta bantuan yang lain dulu, gak apa-apa kan?" pamitku, tentu saja berbohong padanya. "Oh iya, gak apa-apa mas. Nanti aku minta bantuan Mang Nurdin untuk nganterin pesanan," jawabnya. Mata dan tangannya masih sibuk mendata barang yang datang, hingga ia tak fokus. Ternyata semudah ini membohongimu, maafkan aku Reina, tapi aku benar-benar tak ingin kehilangan Kartika lagi. Pagi menjelang siang aku sudah berada di KUA, pun dengan Kartika. Ia memakai kebaya brokat warna putih dan berbalut kain songket. Cukup sederhana namun menambah anggun pesonanya. Kami menikah di kantor urusan agama beda kecamatan dari tempat tinggalku saat ini. Bahkan aku menyewa beberapa orang untuk menjadi saksi pernikahan kami. Ijab qobul berjalan dengan lancar, tanpa kendala apapun. Akhirnya sekarang aku telah resmi menjadi suami Kartika. Selesai menikah di KUA, aku mengajak Kartika jalan-jalan, memandang erotisnya pemandangan pantai. Semuanya terasa begitu indah, seperti hidupku saat ini. Malamnya kami menginap di hotel, letaknya jauh dari rumahku saat ini, jadi tak mungkin Reina bisa muncul disini. Semua kondisi aman terkendali. "Akhirnya, kita resmi juga ya sayang," ujarku sambil terus memandangnya. Kartika sudah berganti pakaian lagi. Sebuah lingerie transparan kini membalut tubuhnya, memperlihatkan lekukan tubuhnya yang begitu seksi. Tanpa sadar berulang kali menelan saliva, melihat istriku yang begitu cantik. Benar-benar sempurna. Memang berbeda ya antara Reina dan Kartika. Kartika bisa merawat tubuhnya dan wajahnya dengan baik. Sedangkan Reina, penampilannya begitu sederhana, sungguh tak menarik perhatian mata. "Iya mas, aku juga seneng banget pada akhirnya kita bisa menikah," sahut Kartika. Ia memeluk tubuhku erat. "Maaf ya, mengajakmu menikah diam-diam," ujarku sembari mengelus anak rambut di dahinya. Kartika tersenyum sembari mengangguk pelan. Aku kembali menciumnya saling melepas kerinduan yang begitu dalam. *** Dari kemarin aku sengaja mematikan handphone agar Reina tak menghubungiku. Aku yakin Reina pasti khawatir dan mencariku, tapi aku tak ingin moment indahku bersama Kartika menjadi terganggu. "Hari ini kita pulang ya, Mas? Gak seru ah, masa pengantin baru cuma sehari doang bulan madu!" cebik Kartika menggemaskan. Ia masih bergelayut manja di lenganku. "Iya sayang, kita pulang dulu ya." "Tapi aku masih kangen ..." "Sebisa mungkin tiap sebulan sekali aku akan mengajakmu keluar jalan-jalan dan tentu saja kita honeymoon lagi, haha," kelakarku sembari mencubit hidungnya yang mancung. "Bener ya, janji?" "Iya, pasti sayang ..." "Terus besok-besok gimana? Kamu sibuk terus dong sama Reina!" cebiknya kesal. "Hmmm, aku akan berusaha menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumahmu, okey ... Jangan khawatir ya, kan kita bisa chattingan dulu." Kartika mengangguk, lalu membereskan barangnya bersiap untuk pulang. Bersamaan dengan itu, aku mengkontak teman-teman kerjaku yang dulu, barangkali ada info pekerjaan yang lebih baik untukku, agar bisa menghidupi Kartika lebih layak lagi, meskipun aku yakin dia tidak akan kekurangan. *** "Kamu habis dari mana aja, Mas? Dari kemarin teleponmu gak bisa dihubungi. Aku khawatir, takut terjadi apa-apa denganmu," oceh Reina sesaat setelah aku pulang ke rumah. Aku menghela nafas dalam-dalam, setidaknya agar tidak terpancing emosi. "Maaf ya dek, kemarin mas nginep di tempat teman. Hp mas lowbet." "Memangnya gak ada charger disana? Kamu kan bisa pinjam ke temanmu untuk mengabariku disini! Jadi aku gak kayak orang stress, khawatir sendirian!" "Iya, iya, maafin aku ya sayang, maaaaaf banget. Mas emang salah, kamu boleh hukum apapun itu. Tapi tolong maafin mas ya, dek."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD