Aku tak pernah menyangka, ternyata tetangga yang baru pindah enam bulan yang lalu di kompleks perumahan itu kini justru menjadi pelakor dalam rumah tanggaku.
Perkenalanku pertama kali dengannya adalah saat ia membeli kebutuhan sehari-hari dalam toko-ku, ia berbelanja cukup banyak hingga kerepotan. Dan akulah yang meminta Mas Hendi untuk membawakan barang belanjaannya.
Saat itu, ia mengenalkan diri dengan nama Kartika. Dan pindah kemari karena habis diceraikan oleh sang suami. Hari-hari berikutnya ia sering ke toko untuk sekedar berbelanja. Bahkan aku menawarinya jasa online. Bila ada kebutuhan yang mau dibeli biar kami yang mengantarkan sampai rumah, ia hanya kasih list daftar belanjaannya saja ke nomorku dan transaksi setelah barang sampai di rumah. Karena kulihat ia cukup sibuk beraktivitas, entah bekerja sebagai apa, tapi yang jelas ia sering pergi mengenakan pakaian seksi dan kurang bahan itu.
Tak sekalipun terlintas bahwa suami akan mengkhianatiku. Keseharian kami yang selalu bersama-sama, bahkan kompak saling melengkapi saat kami dibanjiri pesanan para tetangga, tak memungkinkan ia untuk berpaling dariku. Namun ternyata aku salah, satu noktah kecilpun ternyata bisa menjadi celah syetan untuk menghasut manusia. Berujar untuk setia namun nyatanya godaan selingkuh itu selalu ada. Aku tak pernah tahu sejak kapan Mas Hendi kepincut pada janda cantik itu. Mas Hendi yang bahkan uang bulanannya kujatah, karena aku menghargai jerih payahnya, telah berani mengkhianatiku.
Mungkin karena aku terlalu naif. Awalnya, aku selalu berpikir positif terhadap siapapun, tak ada pikiran negatif pada orang lain. Tapi rupanya kepercayaanku telah disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak tahu diri. Rasanya, aku masih belum percaya. Suami yang kuandalkan justru menusukku dari belakang. Ya! Kupikir semua cerita perselingkuhan itu hanya ada di sinetron televisi. Tapi sekarang justru aku mengalaminya sendiri. Hatiku seakan terkoyak, menatap kenyataan yang ada didepan mataku.
***
Kuikuti motornya dengan berjarak, agar tak ketahuan kalau ada aku di belakangnya. Mereka memasuki sebuah cafe. Keduanya turun sembari bergandengan tangan. Bahkan tanpa segan Kartika bergelayut manja di lengan suamiku.
Mereka berjalan menghampiri seorang lelaki yang sedang duduk di salah satu meja cafe. Sepertinya mereka sudah membuat janji terlebih dahulu.
Ketiganya tampak bercengkrama dengan akrab setelah saling jabat memberikan salam. Akupun ikut duduk tak jauh dari tempatnya, untuk menguping, tentu saja.
"Apa kabar, Hendi? Lama tidak berjumpa."
"Kabar baik, Rus. Iya nih, kamu tambah sukses aja nih sekarang."
"Biasa aja sih, yang penting tetap semangat berusaha. Pekerjaanmu apa sekarang?"
"Biasa, masih bantuin istri."
"Oh iya-iya. Bagus dong. Berarti kalau kamu bekerja lagi pasti bisa, kan?"
"Iya, tentu saja bisa."
"Oh iya, ini istri kamu, Hen? Kok beda ya perasaan dulu pakai jilbab?"
"Hahahaha, iya. Sudah gak usah dibahas. Gimana Rus, ada pekerjaan apa?"
"Maka dari itu Hen, kita ketemuan. Aku mau ngajakin kamu kerja sama. Bisnis men, bisniis ..."
"Tapi kamu tahu sendiri, aku gak punya modal."
"Tenang saja, modal dari aku, kamu yang kelola. Aku lagi sibuk sama perusahaanku yang lain, gak mungkin aku pegang semuanya sendiri. Jadi aku memintamu untuk bekerja sama. Gimana, setuju?"
"Wuiiih mantep nih kayaknya. Makin sukses aja kamu."
"Haha, roda kehidupan itu berputar, yang penting yakin. Oh iya, untuk masalah kontrak kerjanya akan dijelaskan di kantor. Besok ya kau datang ke kantorku."
"Bereeeess, bos!"
Mereka tertawa. Kemudian kulihat Mas Hendi berfoto dengan lelaki itu. Setelah itu lelaki berkacamata itu pergi meninggalkan mereka berdua usai berpamitan.
"Sayang, akhirnya setelah sekian lama melobi sana sini, aku dapat pekerjaan yang layak lagi," ucap Mas Hendi cukup terdengar jelas di telinga. Bahkan sekarang Mas Hendi memanggilnya dengan sebutan sayang?
"Selamat ya mas," sahut Kartika dengan gaya manja.
"Tenang saja, kamu gak akan kekurangan lagi. Sabar ya!" ujar Mas Hendi lagi. Ia menggenggam tangan wanita itu dengan mesra. Iuuuuh menjijikkan!
Beruntung mereka tak mengenali dandananku, bahkan aku menutupi sebagian wajahku agar mereka tak melihatku. Oh tuhan, repot juga ya jadi detektif begini.
Drrrttt drrrttt
Sebuah pesan masuk di ponselku. kulihat Mas Hendi mengirimiku pesan.
[Dek, ini mas sudah sampai di tempat tujuan. Ketemu Rusdy. Mulai besok mas akan bekerja lagi]
Aku tersenyum kecut membaca pesannya. Bolehlah silahkan kamu bersenang-senang dulu, mas. Mumpung aku masih punya stok kesabaran.
Usai menikmati makanan yang sudah terhidang di meja, mereka tampak pergi lagi.
Jam menunjukkan pukul sebelas siang saat aku mengikutinya ke pusat perbelanjaan. Kupotret dulu kemesraannya saat mereka bergandengan tangan, bahkan tanpa rasa malu lagi, Kartika mencium pipi suamiku di tempat terbuka. Astaghfirullah! Benar-benar sudah hilang urat malunya.
"Mas, aku pilih ini ya!" ucap Kartika dengan nada manja.
"Iya, pilih saja sesukamu. Tenang saja, aku masih punya uang."
"Waah kamu dapat dari mana, mas? Perasaan uangmu banyak terus!" celetuk Kartika.
"Haha siapa lagi kalau bukan Reina, dia kan ATM berjalanku."
Deg! Tak salah dengar kan kalau Mas Hendi hanya menganggapku sebagai ATM berjalan? Gak sopan sekali kamu, Mas.
Kartika tersenyum masam. "Haha iya juga sih, Reina pasti punya banyak uang, dah punya toserba sendiri. Makmur hidupmu mas, meskipun gak kerja justru dapat gaji."
"Tapi tetap gak leluasa, karena aku harus terus berpura-pura. Untung saja mulai besok aku akan bekerja lagi, gak jadi kungkungan si Reina. Bosan aku disuruh-suruh Reina terus."
Sakit rasanya! Jadi selama ini kebaikan dan perhatian yang Mas Hendi berikan hanyalah sebuah kepura-puraan? Tak pernah sekalipun aku meminta Mas Hendi untuk mengantarkanku belanja ataupun yang lainnya. Semua kulakukan sendiri. Beruntung setiap kesulitan ada kemudahan. Para supplier bahan-bahan pokok jualanku pada datang sendiri ke toko, jadi aku tak perlu repot dan sibuk kesana kemari. Tapi ini .... Kenyataan ini sungguh mengiris perih hatiku.
Tidak, aku tidak akan menangis. Mungkin ini sudah takdirku. Beruntung aku mengetahui kebusukannya sekarang.
Selesai berbelanja, mereka pergi lagi ke suatu tempat. Beruntung tubuhku masih kuat untuk menyetir motor dan mengikuti kemana mereka pergi.
Motor Mas Hendi dan Kartika terlihat masuk ke sebuah bangunan bertingkat yang cukup mewah. Hotel Dewi Tandjung, terpampang jelas namanya di dinding bangunan.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, emosiku rasanya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Sejauh ini kah hubungan mereka? Aku tak bisa berdiam diri lagi. Ini benar-benar sangat keterlaluan!