2. Mereka janjian?

1061 Words
"Kamu habis dari mana?" tanya Mas Hendi. "Beli ini ..." jawabku, sembari menyodorkan bungkusan kresek berisi martabak. "Kenapa tadi gak WA aja, mas kan bisa belikan untukmu." Aku tersenyum. "Sekalian cari angin, mas. Eh malah di sananya ngantri, jadi pulangnya agak telat." Mas Hendi mengekor di belakangku. "Kamu baru pulang juga, Mas?" tanyaku. "Iya." "Kenapa? Terus kenapa itu kamu ganti baju? Habis mandi lagi?" "Iya, mas gerah. Tadi di rumah Kartika, mas disuruh benerin kompor dulu jadi agak lama disana." "Hah? Beralih jadi tukang servis nih?" tanyaku dengan nada menyindir. "Kasihan, Dek. Katanya dari siang dia gak bisa masak karena kompornya ngadat." "Oh. Hati-hati lho, berawal dari kasihan bisa menjadi cinta." "Haha, ya enggaklah. Kamu ada-ada aja deh. Kenapa sih kok cemberut gitu? Cemburu ya?" "Hah? Enggak kok, ngapain cemburu. Kalau sampah ya buang aja pada tempatnya." "Maksudnya apa, Dek?" tanya Mas Hendi dengan kening berkerut. "Ini lho mas, sampahnya dibuang di tempat sampah, jangan dibiarkan disini," ujarku sembari memungut plastik itu lalu membuangnya di keranjang sampah. Mas Hendi tertawa geli melihat sikapku, mungkin perkataanku agak ketus padanya. Ayo mas tertawalah, kali ini kamu bisa tertawa sepuasnya. Tapi tidak dengan besok-besok. Kuraih handphone sembari menikmati martabak yang kubeli. Kata orang, jangan makan malam-malam nanti bisa menambah berat badan. Tapi aku gak peduli, buktinya badanku tetap kurus begini. Mataku terbelalak saat melihat Kartika meng-upload status WA-nya. [Terima kasih suamiku, udah nemenin malam ini. Meskipun cuma sebentar saja, tapi ditemani masak dan makan bersamamu, rasanya lebih berarti]--- tulisnya sembari upload makanan. [Semoga cinta kita akan terus bersama]--- tulisnya sembari upload foto genggaman tangan, entah siapa itu-- mungkin tangannya dan tangan Mas Hendi? Suami? Apakah Kartika sedang menghalu? Kenapa dia menganggap suamiku sebagai suaminya? Ckckck. "Mas, memangnya Kartika udah nikah lagi?" "Uhuk-uhuk" Mendengar pertanyaanku, Mas Hendi justru tersedak. Ia mengambil air minumnya sendiri. "Kenapa kamu tanya seperti itu, Dek?" Mas Hendi balik bertanya. "Ini di statusnya," jawabku sembari memperlihatkan ponselku padanya. "Ya baguslah, kalau udah nikah." Mas Hendi melanjutkan makannya. "Lho emangnya tadi disana kamu gak ketemu sama suaminya?" Mas Hendi menggeleng perlahan, ia tampak gugup dan salah tingkah. "Aneh aja nih perempuan. Gak denger nikah, tau-tau ngehalu punya suami." "Sudahlah Dek, jangan kepoin hidup orang. Dah fokus aja sama hidup kita sendiri." "Ya sekali-kali bolehlah mas, jadi detektif. Hahaha," ujarku sambil tertawa. Mas Hendi hanya mengedikkan bahunya pura-pura tak peduli. *** Selama satu jam saat mengintai Mas Hendi di rumah Kartika, bukan berarti aku hanya berdiam diri untuk menunggu. Kuhubungi teman sekolahku dulu yang telah sukses menjadi pengacara. Ya, aku ingin tahu bagaimana cara mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Kuceritakan tentang masalahku. Tapi ia bilang, aku harus mengumpulkan bukti-bukti lebih banyak lagi tentang perselingkuhannya, agar gugatanku menang di pengadilan agama. Itulah kenapa aku mengurungkan niat untuk langsung melabrak Kartika. Aku tidak boleh gegabah. Kalau menuruti hawa nafsu, sudah pasti ingin kujambak dan kucakar wajahnya yang sok kemayu itu. Ya, tentu saja aku ingin menghajar mereka habis-habisan, kalau bisa. Tapi aku bukan tipe wanita bar-bar. Aku masih punya akal dan pikiran. Dari pada aku yang balik dilaporkan karena tindak kekerasan, lebih baik bersabar lebih dulu, sambil mengumpulkan bukti lebih banyak. Kalau aku melabrak wanita pelakor itu, justru Mas Hendi akan besar kepala karena merasa diperebutkan. Ia pasti akan merasa dirinya penting dalam hidupku. Lalu ia akan meminta maaf, bahwa dirinya khilaf lalu berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ah, bulshit. Aku bukan tipe wanita yang akan menangis karena hal ini, meskipun hatiku sakit. Air mataku terlalu mahal untuk menangisi sampah sepertinya. Aku tidak mau diberi janji palsu. Sekali sudah berkhianat, bisa saja lain hari diulangi lagi dengan kesalahan yang sama. Bagiku, pengkhianatan dalam pernikahan tidak bisa ditolerir lagi. Yang salah disini bukan hanya si w*************a tapi juga pihak lelaki yang meladeninya. Jadi lebih baik keduanya harus dihempaskan saja. Buat apa mempertahankan lelaki benalu seperti dia. Ya, anggap saja, dia seperti benalu, menumpang dalam kehidupan orang lain. Mas Hendi tidak bersyukur, aku tak marah meskipun ia tidak bekerja maupun memberi nafkah padaku. Dan selama ini kebutuhan hidup kami dari hasil laba toko. Ya, walaupun tak dipungkiri ia tidak diam saja. Ia sudah ikut andil dalam memajukan usahaku. Lima tahun menikah dengan Mas Hendi, selama itu memang ia tak pernah bermain fisik maupun berkata kasar padaku. Bahkan aku tak pernah mengira diam-diam ia akan mengkhianatiku. Apa alasannya? Apa karena aku belum bisa memberinya keturunan? *** [Senangnya hari ini mau jalan-jalan bersama suami tercinta. I love you My husband, meskipun waktu pertemuan kita terbatas tapi tak apa, asalkan perhatianmu selalu ada untukku] Aku mengernyitkan kening melihat status w******p Kartika pagi ini. Ia pun meng-upload dirinya yang cantik dan seksi. "Dek, maaf hari ini mas izin libur dulu ya. Gak bisa bantuin kamu," ujar Mas Hendi menghenyakkanku. "Memangnya kenapa, Mas?" "Mas ada perlu, Dek. Ada teman kantor mas dulu ngajakin ketemu." "Siapa?" "Rusdy, yang dulu pernah mas ceritakan padamu." "Terus?" "Sepertinya mas pergi sampai sore." "Memangnya ada keperluan apa? Kenapa bisa selama itu?" "Katanya ada pekerjaan buat mas. Ya sekalian ngobrol lah, udah lama juga kita gak ketemu." "Oh" "Gak apa-apa kan, Dek?" Aku mengangguk. Jadi kalian sudah janjian ya! Tapi kau berkilah dengan alasan yang lain lagi. Baiklah, sepertinya aku harus mengikutimu, Mas. Selesai makan, Mas Hendi sudah bersiap-siap dengan memanaskan motornya, motor hasil kerjanya sendiri saat masih menjadi staff di sebuah perusahaan. Rona wajahnya tampak berbinar bahagia. Ia bersiul-siul dengan riang. "Dek, mas berangkat dulu ya," pamitnya. "Hati-hati dijalan mas, kalau sudah sampai jangan lupa kabari aku Mas," sahutku sembari menyambut uluran tangannya. "Iya, Dek." Aku memperhatikannya sampai hilang dari pandangan. "Mbok, hari ini toko tutup dulu ya mbok, saya ada perlu keluar," ucapku pada Mbok Jum. "Baik, Non." Gegas aku menyambar jaket dan tas, helm serta kunci motor, tidak lupa memakai masker. Wah, sepertinya bakal seru nih jalan-jalan denganmu Mas! Gumamku dalam hati. Melewati rumah Kartika, namun tampak sepi, tak ada tanda-tanda manusia di dalamnya. Kira-kira mereka janjian dimana ya? Segera kuhentikan motorku saat melihat Mas Hendi di ujung jalan, cukup jauh dari lokasi perumahan. Seorang wanita datang menghampirinya. Benar, tidak salah lagi dia Kartika. Jadi mereka janjian disini? Tak lama wanita itu naik ke boncengan motornya lalu memeluk suamiku dari belakang. Mereka tampak santai dan bahagia, bahkan tidak sadar kalau aku sudah membuntutinya dari belakang. Oh, jadi ini yang kau bilang ketemuan dengan Rusdy. Hohoho, tidak semudah itu kau membohongiku, Mas. Mari kita lihat alasan apa yang akan kau katakan saat bertemu denganku nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD