Hotel Yang Panasssss

1138 Words
Tiba di Yogyakarta. Julia memang mengambil waktu sendiri untuk pergi ke tempat yang sangat ingin ia kunjungi. Mungkin mengingat kenangan Bersama Reihan dulu ketika di kota ini. Sepanjang perjalanan, Julia terus memikirkan perkataan Arlo tentang membantunya menemukan Reihan. Apa yang pria itu rencanakan? Mengapa Arlo sebegitu baiknya membantu Julia untuk hal yang sebenarnya tidak ada keuntungan untuknya. “Saya tahu di mana Reihan sekarang. Bukan sekedar nama kota, tetapi saya tahu di mana dia tinggal.” “Kenapa Bapak bisa tahu tentang saya dan Reihan? Mengapa Bapak ingin mengetahui permasalahan hidup saya?” tanya Julia kali ini. “Ada dendam yang ingin saya balas juga.” Tiga bulan lalu, Reihan datang menemui Julia di sebuah restoran bintang lima. Membawa kotak kecil berisikan cincin yang sudah jelas tujuannya, melamar Julia. Diterimanya cincin itu dan secara tidak langsung, Reihan sudah mengikat Julia miliknya. Namun, seiring waktu semua itu perlahan berubah. Alih-alih kesibukan yang dijadikan alasan, sekarang justru pria itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Sejak bulan yang lalu tepatnya. Pikiran itu juga menjadi satu dari sekian banyak alasan mengapa bisnisnya hancur. Mungkin sejak saat itu, Julia bukan lagi rugi hati, tetapi rugi kekayaan. . . Setibanya di hotel, perempuan itu mengambil kartu akses yang sudah disiapkan oleh Arlo. Saat masuk ke dalam kamar, Julia dibuat terkejut oleh kehadiran Arlo yang keluar dari kamar mandi. Dia teriak. “AAARGGH!” Arlo hanya berbalutkan handul di pinggang. Bulir air sisanya membersihkan tubuh masih menetes ke lekuk tubuhnya yang berbentuk. Rambutnya yang sedikit panjang masih sedikit basah dan terus dikeringkan oleh sang empunya. “Kecilkan suaramu! Berisik!” kata Arlo yang kemudian berjalan dan mengabaikannya. “Kenapa Bapak bisa ada di sini?!” tanya Julia yang masih menutup mata dengan kedua tangan, walaupun ada celah sempit untuk mengintip. “Ini kamar saya juga,” jawabnya. Penjelasan itu membuat Julia terdiam tanpa kata. Julia pun melepaskan koper yang tadi dia bawa dan tatapannya melemah. “Kenapa? Kamu tidak suka berada di dalam kamar yang sama dengan pria?” tanya si Arlo. “Lebih tepatnya suami orang, mungkin Bapak lupa telah menikah. Kalau seperti ini ceritanya, lebih baik saya tinggal di kamar yang lain,” sanggahnya. “Silakan.” “Serius?” tanya Julia yang sempat terkejut. “Kalau kamu tidak mau sekamar dengan saya, silakan keluar.” Julia pun menarik kopernya lagi dan keluar dari kamar. Perasaan kesal berkecamuk di dalam hatinya. . . Namun, perempuan itu kembali masuk dan nyelonong ke satu-satunya kamar di sana. Gerak-geriknya ditatap oleh Arlo dengan senyum sebelah sisinya. “Jangan banyak tingkah! Kalau saya nggak lupa ini hotel bintang lima, mungkin saya sudah menyewa kamar lain dengan sistem utang. Itu juga kalau bisa,” ucapnya. Pria itu pun kembali masuk ke kamar dengan keadaan yang sama. Tanpa busana, hanya handuk. Berdiri dan hendak menutup pintu kamar. “Bapak, jangan kurang ajar!” “Apanya yang kurang ajar? Memangnya kamu memikirkan hal yang lain, ya?” tanya si Arlo dengan senyumnya. “Sudah sebegitu inginnya kamu selama ini? Sampai bos sendiri dijadiin –“ “Ti-tidak,” jawab Julia gelagapan. “Saya nggak mikirin hal kotor, saya hanya jaga-jaga kalau seorang bos akan khilaf melihat kemolekan tubuh saya.” Pria itu mengangguk, bertingkah seolah paham. Menelisik pandang tubuh Julia dari atas hingga ke bawah. “Lumayan.” “Arlo, tolong jangan kurang ajar sama perempuan!” “Hei! Saya ini bos kamu. Gunakan kata-kata yang sopan!” tegas Arlo dengan nada sedikit rendahnya. Julia pun mengabaikan kata-kata itu. Beberapa pakaian sudah dia keluarkan dan sementara itu, dia tetep melirik ke arah Arlo yang masih mematung di depan pintu. “Keluar! Saya ingin ganti baju.” “Ya saya juga ingin ganti pakaian, Pak. Semalaman pakai kemeja yang sama itu gerah,” balas Julia. “Bapak enak sudah mandi. Saya belum mandi, gerah. Jangan buat saya makin panas!” “Oh, kamu nantangin? Saya bisa ganti baju walaupun ada kamu di sini,” katanya. Arlo langsung melepas ikatan handuknya dan membuat Julia kembali berteriak. “Oke-oke! Fine! Saya yang keluar. Tolong tutup lagi barangmu itu!” pekik Julia. “Hei, saya tidak membukanya asal kamu tahu,” sahut Arlo. Benar saja, Arlo hanya menggertak Julia. Pria itu masih lengkap dengan handuknya, tetapi memang sedikit ditarik. Namun, tidak memperlihatkan barangnya. “Keluar atau saya lepas handuk ini!” . . Setelah menunggu beberapa menit di hadapan TV, akhirnya pria menjengkelkan bagi Julia pun keluar. Pakaiannya sangat rapi. Jas, dasi, bahkan wangi masukulinnya sudah berbeda dari yang semalam. ‘Ingin ke mana orang gila ini?’ “Ayo pergi!” kata Arlo sambil merapikan kerah kemejanya. “Kamu belum ganti pakaian juga, Li?” “Pakaian saya ada di dalam kamar. Saya tidak bisa masuk karena ada Anda yang berganti pakaian di dalam dan lagian kita ingin pergi kemana?” Julia langsung menyelak masuk ke dalam kamar. “Meeting sama client. Ayo cepat!” Arlo berdiri di depan pintu lagi. “Pak, saya belum mandi. Masih bau asem,” kata Julia. “Pakai parfum yang banyak! Kita ketemuan satu jam lagi. Nggak mungkin harus nungguin kamu mandi, bisa-bisa kita telat,” sahutnya. Sepertinya daftar kekesalan Julia kepada Arlo semakin bertambah. Seharusnya Arlo menginformasikan kalau hari ini ada meeting sehingga Julia tidak perlu mampir tadi. ‘Sabar, Julia. Semua ini adalah bentuk kekesalan dia pada aku waktu SMA. Aku harus bisa mengalahkan dia di permainannya.’ “Saya janji mandinya nggak lama, Pak. Saya udah gerah banget,” pintanya dengan nada yang mulai datar. Memohon hanya untuk mandi tampaknya menggelikan. Namun, Julia berani menerima resikonya. “Please ….” “Oke. Waktu kamu hanya 20 menit untuk mandi dan ganti baju. Buruan! Kalau kamu kelamaan, saya tinggal. Silakan kamu ke lokasi sendirian.” . . Dua puluh menit telah berlalu. Secepat mungkin Juli merapikan dirinya. Rambutnya masih acak-acakan, serta wajahnya belum terhias dengan bedak atau apalah namanya itu. Saat dia keluar dari kamar, Arlo sudah tidak ada. “Apa-apaan, sih! Ini tepat 20 menit, kenapa ditinggalin?!” Dengan kesal, Juli menyusul bosnya. Berlarian di sepanjang koridor sampai masuk ke dalam lift. Setelah keluar, dia berlari lagi sampai akhirnya dia menemukan seorang Arlo yang sedang berjalan santai dengan kaca mata hitamnya. Ditariknya bahu Arlo dan Julia langsung menunjuk wajahnya. “Jangan pernah ….” Julia terdiam saat melihat wajahnya, ini bukan Arlo. “Julia! Saya di sini!” Arlo memanggilnya dari luar lobby. “Ma-maaf, Pak. Saya kira bos saya,” kata Julia sambil pergi dengan perasaan bersalah. . . “Kamu sudah kehilangan akal, sampai marah-marah ke orang tidak dikenal?” Arlo yang malu dengan perilaku Julia pun langsung menegurnya. “Ini semua gara-gara Bapak. Saya tuh tepat waktu, 20 menit sudah selesai. Masa saya ditinggal!” protesnya. “Siapa yang ninggalin kamu, Li? Saya nunggu di sini dari tadi,” sanggahnya. “Dan mengapa kamu pakai baju seperti ini? GANTI!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD