Di Bandara

1125 Words
Setelah perdebatan yang alot, sama-sama tidak mau mengalah, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk bermalam di bandara. Dengan duduk di kursi tunggu dan tidak menggunakan selimut sama sekali. Ya, iya lah nggak usah pakai selimut. Masa iya di bandara gini pakai selimut, diketawain semut yang ada. Satu hal yang dilupakan oleh Julia, dia belum makan sejak pulang kantor. Keasikan menghias diri agar terlihat cantik saat projek, malah lupa mengisi perutnya. Sehingga sekarang dia kelaparan dan perutnya berbunyi. “Kamu lapar, Jul?” tanya Arlo. Anggukan kepala singkat sepertinya belum cukup untuk menjawab pertanyaan Arlo. Buktinya Arlo kembali menanyakan hal lain. “Kamu mau makan?” tanya Arlo lagi. “Kalau orang lapar sepertinya mau makan, Pak. Bukan mau ceramah,” sahut Julia yang mulai emosi. Arlo tersenyum mendengar sahutan itu. Setidaknya, menurut Arlo, sikap jutek Julia tidak hilang. “Kesabaran setipis tisu begitu gimana mau dapet cowok?” Dibilang begitu justru membuat Julia semakin emosi. Matanya membulat dan bahunya mulai naik-turun. “Nggak usah bawa-bawa kepribadian bisa nggak, sih? Suatu saat akan ada cowok yang mau sama saya dan kamu harus lihat! Dia lebih ganteng dari kamu!” “Oke, saya akan tunggu. Sekarang mau makan, nggak?” Arlo pun berdiri. “Kalau saya mau makan pun beli di mana? Saya nggak mau fast food. Di sini makanannya nggak ada yang saya suka,” jawab Julia dengan nada pasrah. “Kan tadi udah saya bilang, kita ke hotel aja. Kamu susah dibilanginnya.” Seandainya Julia bisa jujur dengan keadaan, dia akan bilang kalau uang di kantongnya tersisa sedikit dan hanya bisa bertahan untuk makan saja. Ya kalau si Arlo tengil itu mau membayar hotel dan Julia bisa tidur gratis, kalau disuruh bayar dengan potong gaji? Sepertinya Julia lebih baik seperti ini. “Bapak diem aja deh kalau nggak bisa nyelesain masalah.” “Ayo bangun! Kita cari makanan di luar sana.” . . Hampir setengah jam mereka menaiki mobil, hingga sampailah mereka di sebuah resstoran pinggir jalan yang mulai terlihat sepi. Julia yang sudah sangat kelaperan langsung keluar mobil dan masuk ke dalam sana. Sayangnya, restoran ini hampir tutup. “Mas, saya ingin pesan makan.” “Maaf, Mba. Kami sudah tutup,” jawab sip ria pelayan resto tersebut. “Ya ampun, Mas. Ayo bantu saya! Saya laper banget. Mas mau lihat saya mati kelaparan?” tana Julia yang hampir membuat Mas itu terjingkat. “Saya juga minta maaf, Mba. Stok makanan sudah hampir habis –” “Berikan dia makanan!” Arlo tiba-tiba masuk dan menyela omongan si pria pelayan restoran ini. “Sekarang!” “Ohh. Baik. Silakan duduk, Mba.” Seperginya pelayan itu, Julia pun langsung menatap Arlo dengan pandangan yang penuh curiga. Matanya memicing dengan tangan yang sudah mengepal. “Apa? Ada apa? Kenapa kamu melihat saya seperti itu?” tanya Arlo. Julia mendengkus. “Aneh!” Tanpa menjelaskan apa-apa, Julia pun duduk di salah satu meja yang sudah terlihat sangat bersih. Dia keluarkan ponselnya dan sesekali melihat pemberitahuan yang dia tunggu-tunggu. Disusul Arlo yang duduk di depannya dan langsung menanyakan keberadaan pacarnya Julia. “Si Reihan ke mana?” “Reihan? Kenapa kamu tanya dia?” “Kamu pacarana sama dia. Itu hal wajar kalau saya menanyakan kabar Reihan padamu,” jawab Arlo yang tersenyum miring. “Apa pertanyaan saya salah?” Cih. “Dari mana kamu tahu kalau saya pacarana sama dia?” “Sejak hari valentine kelas XI. Saya ingat kamu bergandengan tangan sama Reihan sambil bawa bunga mawar. Terus kalian jalan berduaan di lapangan sementara orang lain hanya melihat dari koridor sekolah. Kamu memang tidak berubah, ya. Suka sekali menjadi pusat perhatian,” kata Arlo. Julia semakin geram mendengar kalimat terakhir yang Arlo ucapkan. “Kamu sendiri kenapa bisa sama Lovia? Lupa kalau dia yang sering buat kamu susah dulu?” “Oh jelas ingat.” Obrolan mereka dihentikan oleh dering ponsel Arlo yang terdengar. Benda pipih itu menampilkan nama Lovia di layarnya. Seketika Julia melihat raut wajah Arlo yang berubah, dari senang menjadi seperti orang yang sedang enggan mengangkat telepon. “Sebentar!” kata Arlo. . . “Kenapa?” tanya Arlo. “Aku lagi makan. Tolong jangan ganggu dulu!” Julia sempat menguping pembicaraan mereka dengan gaya yang sok benar. Pura-pura bermain ponsel padahal indra pendengarannya dia pertajam agar suara Lovia bisa terdengar. “Tidak ada. Aku sendirian.” ‘What?! Memang gila si Arlo ini.” “Iya. Sudah dulu, ya!” . . Arlo menatap Julia yang sedang memicing ke arahnya. “Apa? Ada apa lagi? Bisa kamu menghentikan tatapan seperti itu?” tanya Arlo yang mulai risih juga. “Ada apa? Kamu bilang sendirian saat kamu pergi sama saya, Pak. Apa yang akan Lovia pikirkan saat dia tahu kenyataanya nanti?” “Memangnya apa yang harus dikhawatirkan? Dia membuntuti kita dan memergoki kita berduaan. Lalu dia marah karena aku berbohong, terlebih pergi dengan mantan sahabatnya. Setelah itu dia marah karena kamu pergi sama saya tanpa bilang-bilang?” Arlo mengakhiri pembicaraannya dengan tawa. “Jangan berpikiran sempit! Kamu ini karyawan saya, dia tidak bisa marah begitu saja.” Oke, Julia tidak bisa mengubah apa yang BOSS-nya inginkan. Mungkin dia harus menyiapkan diri saat kemungkinan buruk yang bisa terjadi nanti. “Ya terserah kamu! Sekarang ayo jelasin, kenapa kamu bisa menikah dengan Vivi?” tanya Julia. “Kami dijodohkan. Ayah saya ingin melihat anak dari benih yang saya tanam. Makanya dia mencari seorang perempuan dan dia adalah Lovia. Apa yang harus saya perbuat? Menolaknya saat dia sudah hampir mati?” ‘Oh, begitu rupanya. Pantas saja Arlo menerima’ “Kamu pikir saya mau menikah dengan orang paling manipulatif yang pernah saya kenal? Jawabannya tidak, Li. Saya tidak mau menikah dengannya dan pernikahan yang berlangsung ini termasuk sandiwara yang saya jalani,” ucap Arlo lagi. ‘Alasan klasik. Aku sepertinya pernah membaca cerita itu di novel. Seorang pria kaya raya dijodohkan dengan perempuan. Alhasil mereka menikah tanpa dasar cinta. Lalu nanti mereka punya anak, kemudian mereka saling jatuh cinta. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Arlo bisa bersikap manis.’ “Kamu sendiri mengapa belum menikah dengan Reihan? Bukankah sudah tiga bulan berlalu sejak acara tunangan kalian?” “HEI! Sejak kapan Bapak tahu ini semua?” Julia langsung naik pitam saat mendengarnya. Wajar dong, hanya orang terdekat Julia yang mengetahui. Bahkan Lovia yang mantan sahabat pun tidak Juli ceritakan. Lalu, bagaimana Arlo bisa tahu? “Dari orang terpercaya. Orang itu juga bilang kalau si Reihan sudah tidak ada di kota ini. Dia ada di Surabaya.” Julia pun membelalak mendengarnya. Surabaya, dan tujuan bisnis Arlo sekarang adalah ke Surabaya. “Kenapa bisa sama?” “Karena selain bisnis, saya juga ingin membantu kamu menemukan Reihan dan melihat apa yang terjadi sama cowok yang sudah melamar kamu tiga bulan yang lalu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD