Udin melangkah dengan tidak bersemangat menuju parkiran sekolahnya, di mana motor sport BMW S1000 RR miliknya terparkir. Ada rasa enggan di hati Udin saat pulang ke rumahnya, karena Ia hanya akan di sambut oleh keheningan. Kedua kakaknya pasti masih di kampus, sementara kedua orang taunya sudah tidak peduli lagi dengan mereka.
Udin benar-benar muak dengan keadaan ini, ingin rasanya Ia berteriak untuk meluapkan rasa kecewanya kepada ayah dan ibunya. Buat apa mereka punya anak kalau hanya untuk di abaikan saja, bukankah Ia juga memerlukan kasih sayang dan perhatian.
Udin iri dengan teman-temannya yang berada di keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Ia berharap dengan semua tingkah nakalnya dapat menarik perhatian kedua orang tuanya. Namun, apalah mau dikata, jangan kan datang untuk memarahinya dan datang memenuhi panggilan dari pihak sekolah saja tidak. Bukankah kemarahan dan teguran dari orang tua adalah bentuk perhatian mereka.
Udin membelah jalanan ibu kota dengan motor sportnya yang mahal, motor yang menjadi symbol kalau Ia adalah anak orang kaya. Sayangnya, itu hanyalah sebuah status yang tidak menjamin kebahagiaannya. Dalam waktu yang tidak lama Udin tiba di rumahnya dan dengan cepat di taruhnya motornya di garasi.
Udin menaiki tangga menuju ke kamarnya yang ada di lantai 2, bersebelahan dengan kamar kakaknya, Mariana. Tiba di dalam kamarnya Udin langsung mengganti seragam putih abu miliknya dengan celana kolor dan kaos. Setelah selesai berganti pakaian Udin pun turun ke lantai satu menuju meja makan.
Ternyata makan siang kali ini Udin tidak sendiri ada kakak keduanya, Maryam, 18 tahun. Udin mengambil tempat di sebelah kakaknya, “Tumben, mbak Maryam hari ini pulang cepat. Biasanya sore baru pulang ke rumah.”
Maryam menoleh ke arah Udin, “Bukannya kebalik, Kamu yang biasanya ngelayap aja. Malam baru pulang. Hari ini malah di rumah aja, kenapa?, kamu bikin ulah lagi di sekolah terus kena marah sama guru kamu?”
“Biasa kali mbak, kalau kena marah itu. Lagi malas ke luar rumah, biar sahabat-sahabat Aku aja yang datang ke sini. Aku mau bikin ribut rumah, biar ayah dan ibu pulang. Mereka tidak kangen apa dengan kita anak-anaknya ditinggal terus.”
“Mereka mana peduli dengan kita, terlebih lagi ayah. Mana mungkin dia ingat dengan kita anak-anaknya,” ucap Maryam.
Udin menatap kakaknya dengan tajam, “Mbak tahu sesuatu yang Aku tidak tahu?, katakana aja Mbak. Aku sudah besar dan bisa menerima kenyataan meski sepahit apapun.”
Maryam memukul pelan pundak adiknya dengan tangan kirinya, “Bisa menerima apanya, itu ulah Kamu di sekolah bukannya cara Kamu mengekspresikan pemberontakan mu. Mau bilang bisa menerima kenyataan, kenyataan yang mana?”
“Ish, Mbak Ku yang satu ini. Aku bisa menerima kenyataan lah kalau Aku ini anak orang kaya yang cuman diberi materi doang tanpa kasih sayang,” jawab Udin.
Keduanya lalu tertawa dan melanjutkan makan mereka yang sempat tertunda, karena mengobrol. Bi Sum, maid yang ada di rumah mereka tersenyum melihat kedekatan Udin dengan kakaknya.
Selesai makan keduanya duduk di gazebo yang ada di samping rumah mereka. Gazebo tersebut terletak di antara taman Bunga dan kolam ikan. Hati terasa tenang saat melihat ikan yang berenang di kolam.
Sambil duduk lesehan bersandar pada dinding gazebo, Maryam bertanya kepada adiknya, “Mbak tadi terima laporan kamu bikin ulah lagi di sekolah. Kenapa Kamu tidak berhenti membuat ulah?, apa kamu tidak capek dipanggil terus ke ruang kepala sekolah dan ruang BK?”
“Mbak, ulahku nggak berat kok, tidak bikin orang celaka atau sakit hati. Kalau sama guru, juga biasa aja. Guru Fisika kami memang orangnya masih muda dan cantik, wajar kan kalau Aku menggodanya,” jawab Udin dengan santainya.
Maryam melotot ke arah Udin, “Kamu bilang wajar menggoda gurumu, kalau kamu dapat nilai rendah terus tidak naik kelas gimana?”
“Nggak mungkin lah, Mbak, Aku tidak naik kelas. Aku, ‘kan” pintar cuman suka bikin ulah saja. Lagian gak ada salahnya bilang guru ku, “Ibu cantik,” atau ngajakin guru ku jalan, dia kan belum nikah dan gak punya pacar.”
“Tahu darimana Kamu, kalau gurumu belum menikah dan masih sendiri?” Tanya Maryam lagi.
“Yah, surveilah mbak, mana mungkin Aku gak jalan cari info. Kan Aku punya waktu yang banyak buat ke mana-mana dan mencari informasi yang Aku mau. Cuman informasi tentang ayah saja yang Aku belum dapat. Tunggu tanggal main aja, Aku mendapatkan informasi tentang ayah.”
“Gi-la, Kamu. Sampai segitunya cari informasi tentang guru kamu. Kalau informasi tentang ayah, sebaiknya Kamu gak usah cari dari pada sakit hati, yang penting uang dari ayah tetap lancar mengalir ke rekening kita,” ucap Maryam sambil mengambil bantal yang ada di gazebo dan merebahkan badannya di samping adiknya yang sudah lebih dulu merebahkan badannya.
“Biar pun sakit, AKu akan tetap mencari tahu, Mbak. Biar Aku bisa memahami mengapa ayah berubah dan mengabaikan kita anak-anaknya. Begitu tidak berharganyakah kita sampai mereka melupakan kita.”
Maryam menoleh ke arah Udin, matanya berkaca-kaca, mengingat kenyataan pahit yang diketahuinya mengenai ayah mereka. Ia pun juga mau seperti Udin, adiknya yang bisa mengekspresikan rasa kecewa dan sedihnya, sementara Ia hanya dapat memendam di dalam dadanya saja.
“Mbak berharap, keluarga kita akan kembali seperti dulu lagi, ayah dan ibu kembali menjadi orang tua yang perduli dengan kita anak-anaknya dan tidak mementingkan ego mereka semata.”
Keduanya kemudian larut dalam lamunan mereka masing-masing. Mereka terluka dan punya caranya sendiri-sendiri dalam mengekspresikan luka mereka. Angin yang bertiup sepoi-sepoi dan suara gemercik air mancur mini yang ada di kolam ikan membuat keduanya tertidur lelap di gazebo.
Hingga suara berisik membangunkan keduanya, “Udin, Kami datang, kita main yuk!” Teriak Andi, Ryan, Zidan dan Luki, sahabat Udin. Udin dan kakaknya pun terbangun dari tidur mereka, karena suara berisik sahabatnya yang berteriak.
Dengan kepala pusing, karena dibangunkan mendadak dari tidurnya dan suara serak khas orang baru bangun tidur, Udin menegur sahabat-sahabatnya, “Berisik, kalian mengganggu ku tidur saja. Bisa sopan tidak kalau berkunjung ke rumah orang.” Bentak Udin.
Keempatnya hanya cengengesan, “Maaf, Kami pikir Kamu tidak akan mendengar kalau kami tidak berteriak. Habis, rumah mu besar sekali, seperti di istana saja, makanya kami berteriak,” jawab Zidan.
“Eh, ada Kak Maryam, maaf, ya Kak. Sudah membangunkan kakak dari tidur, baru bangun tidur aja kakak cantik apalagi kalau dandan ya, bisa tambah cantik lagi, nih.” Rayu Luki kepada kakak Udin.
Maryam tersenyum mendengar rayuan sahabat adiknya, dalam hatinya Ia berucap, “Pantas saja kelakuan si udin ternyata tidak beda jauh dengan sahabatnya.”
Udin memu-kul pelan kepala Luki, “Jangan goda kakakku, tidak ada yang boleh ganggu kakakku, kalau kalian sampai berani mengganggu kakakku akan kuberi pelajaran kalian semua." An-cam Udin.
“Wah, kebetulan sekali nih, kami perlu pelajaran tambahan, meski bandel dan sering membuat ulah, Kau tetaplah anak yang pintar, Din. Beri kami resepnya dong dan benaran beri kami pelajaran tambahan,” jawab Luki antusias.
Udin mendengkus mendengar jawaban Luki, sementara yang lainnya tertawa geli. Diantara mereka berlima memang hanya si Udin lah yang paling pintar dan guru-guru mereka sering meminta mereka untuk ikut belajar dengan Udin.