'Ada dengannya? Siksaan ini belum ada apa-apanya! Jangan-jangan, dia mau menipuku?' batin Arkan kesal.
Saat Arkan hendak memuntahkan hinaannya sekali lagi, seorang anak laki-laki kecil sekitar 5 tahun, berteriak dari arah pintu masuk. Telunjuknya dengan polos mengarah kepada Arkan yang menaiki tubuh Casilda sambil menahan kedua tangannya, seolah hendak melakukan sesuatu yang tidak bermoral.
“Ah! Orang mesuuum! Mereka lagi pacaran, ya, kak? Ikh! Satunya gemuk, satunya kurus, seperti angka 10 di buku gambarku! Hahaha!”
“Hei, Malik! Kenapa berteriak, kita jadi ketahuan, kan?” seru seorang anak laki-laki yang terlihat lebih tua, muncul dari samping pintu. Kedua tangannya berusaha menarik anak laki-laki yang lebih muda.
Baik Casilda dan Arkan membeku di tempatnya masing-masing.
“Ayo! Cepat pergi!” saran si anak laki-laki yang lebih tua, mencoba menarik kerah belakang anak laki-laki berumur 5 tahun itu.
Arkan menundukkan kepalanya. Untung saja dia mengenakan tudung jaketnya hingga wajahnya tak terlihat. Pria ini mengenal siapa dua anak laki-laki itu. Dia pun menundukkan kepalanya lebih dalam, bergegas bangkit dari tubuh Casilda.
“Bangun!”
Pria berjaket biru tua itu memaksa Casilda bangun dari lantai, menyeretnya menuju sebuah jendela besar yang terbuka di salah satu dinding.
“Ah! Mereka mau kabur, kak!” pekik si anak kecil antusias.
“Jangan teriak! Ayo kita juga pergi dari sini! Nanti kita dimarahi! Kita lapor ibu kepala panti saja!”
Mendengar itu Arkan bergegas mendorong tubuh Casilda menaiki jendela. Tidak ada waktu untuk mengecek apakah anak-anak itu sudah pergi atau tidak. Gawat jika ada yang mengetahui mereka di ruangan jauh yang jarang dipakai ini dan hanya berduaan saja.
Kesaksian anak kecil sangat berbahaya. Meski mereka berbohong pun pasti akan dipercayai, apalagi jika mengatakan yang sebenarnya. Arkan tak bisa memikirkan cara lain selain kabur untuk mengelak dari situasi yang tak diduganya itu.
“Cepat naik!”
“Jangan dorong-dorong! Apa yang kamu lakukan?!” protes Casilda cemberut dengan kedua tangan Arkan yang mendorong bahunya, kedua lengan wanita ini sudah terjulur melewati rangka jendela.
Casilda tersangkut di sana!
Erangan kesakitan keluar dari bibir sang wanita dengan wajah pucat, terkulai lemas tak berdaya. Dia masih belum mengumpulkan nyawanya dengan baik, malah disuruh yang tidak-tidak!
Dasar pria iblis!
“Cepat bergerak! Kenapa malah tiduran di situ?” koar Arkan murka, kesal melihat Casilda memejamkan mata dengan wajah pucat dan gelisahnya, seolah tengah menikmatinya.
“Ugh... perutku tidak enak...” gumamnya berbisik, rangka jendela yang tertahan di perutnya dan dorongan Arkan dari belakang memberikan tekanan tidak nyaman padanya.
Sang aktor mendorongnya seolah hendak ingin melempar paksa boneka seukuran manusia jatuh keluar jendela bagaikan karung beras 50 kg.
“Dasar menyusahkan saja!”
Arkan kembali menarik tubuh Casilda dari jendela, dan mengganti posisinya.
Sembari menahan satu tangan Casilda agar tidak kabur darinya, pria itu menaiki rangka jendela, lalu menarik perempuan berkepang satu itu dengan cepat.
“Gerakkan tubuhmu! Memang kamu ini karung beras?!” bentaknya marah.
“Kenapa harus keluar lewat jendela? Pintunya di sana!” tunjuk Casilda ngotot ke arah pintu di depannya. Kesadarannya terganggu dengan perasaan aneh dan rasa mual yang menghampirinya.
Arkan menyentak tubuh Casilda dengan kasar, menarik cepat kedua tangan sang wanita.
“Cepat manjat! Kalau tidak, aku akan komplain ke kedaimu dan tidak akan membayar sepersen pun kepada kalian!” ancam Arkan dengan nadi sudah berdenyut seolah akan meledak di pelipisnya.
Casilda terhenyak kaget, dan tanpa aba-aba, seolah setengah kesurupan dan terhipnotis, dia langsung memanjat cepat-cepat menaiki rangka jendela di mana Arkan masih duduk di sana.
“Hei! Gendut! Tunggu! Tungguuu!!!” peringat Arkan panik dengan terobosan Casilda bagaikan banteng yang mengamuk.
“KYAAAA!!!” jerit Casilda takut dan panik.
“ARGH!”
Arkan berteriak lebih kesakitan mendapat hantaman di tubuhnya.
Casilda mendorong tubuh sang aktor melewati jendela hingga mereka berdua terjatuh di sisi lain tempat itu.
Untung saja mereka jatuh di atas kasur tipis yang sedang di jemur di atas kursi plastik.
Arkan mengerang keras, merintih kesakitan tertimpa oleh tubuh Casilda yang masih berada di atasnya dan juga punggung yang menekan kursi plastik di bawahnya.
“Minggir!” koar Arkan galak, menghempaskan tubuh Casilda ke samping dengan emosi meledak-ledak.
Tindakan tiba-tiba itu membuat sang wanita berguling ke tanah berumput, mendorong kursi plastik yang terhempas dari bawah kasur ketika tubuh mereka jatuh bersamaan.
“Ugh... sakit...” erang Casilda nyeri, menggeliat di atas rumput, mata terpejam kuat.
“Sialan! Aku yang harusnya mengeluh seperti itu setelah kamu siksa habis-habisan!”
Arkan meliriknya dingin, mengelus-ngelus dadanya yang sempat terhimpit tubuh Casilda hingga terasa nyawanya hampir saja melayang dalam sekejap mata. Punggungnya kini terasa perih akibat benda tumpul menghantamnya beberapa detik lalu.
“Di sana! Tadi mereka di sana, Kak!” suara anak kecil berumur 5 tahun tadi kembali terdengar dari arah pintu masuk di dalam ruangan.
“Di mana?” balas seorang suara wanita dewasa.
Arkan memucat.
Keadaan tubuhnya seolah remuk, tapi masih harus kabur juga. Ini membuat hatinya benar-benar panas!
Dengan menahan rasa sakit, dia bangkit dan menarik Casilda dengan kasar tanpa ampun.
“Belum selesai! Ayo, berdiri!” tegurnya, meraih lengan Casilda, memaksanya berdiri.
“Sa-sakit! Ampun!”
“Berisik!”
Arkan mendorong Casilda menuju sebuah pagar tembok bercat putih setinggi hampir 3 meter. Lelaki ini pun meraih tangga bambu yang tak jauh dari sana, langsung memaksa Casilda untuk memanjat.
“Naik!”
Casilda menggeleng cepat, wajahnya pucat seolah darah ditarik habis darinya.
“Aku bilang naik, ya, naik!” titahnya dengan raut wajah tak enak dipandang.
“Tidak mau! Tidak mau! Pagarnya terlalu tinggi!”
Casilda hendak kabur, tapi Arkan menangkap cepat kerah belakangnya.
“Naik! Atau aku akan menuntutmu dengan tuduhan penyerangan sebagai anti-fans. Tubuhku sekarang remuk redam. Jika diperiksa pasti akan ada hasilnya. Aku bisa menuduhmu sesuka hatiku!”
Dengan patuh dan cepat, Casilda menaiki tangga itu meski seluruh tubuhnya gemetar hebat, wajahnya terlihat seakan sudah ingin menangis saja.
“A-aku harus lompat?” tanya Casilda polos, duduk di puncak pagar dengan kedua kaki menggantung di kedua sisinya. Kedua tangannya yang dingin gemetar bertumpu pada puncak pagar.
“Tunggu di situ. Aku naik dulu!”
Arkan kemudian memanjat tangga bambu itu, dan terdiam pucat melihat ketinggian di seberang sana setelah sampai di puncak.
“Ke-kenapa kita harus melakukan ini, sih?” tuntut Casilda dengan sudut-sudut mata sudah berair oleh rasa takut.
“Diam! Ini semua gara-gara kamu!”
“Kenapa ini malah gara-gara aku?!”
Casilda tak bisa banyak protes, dia sudah ketakutan parah di atas pagar tembok itu dan hanya mengamati Arkan memindahkan tangga ke sisi lain tembok dengan hati-hati.
“Kamu duluan. Cepat!”
Lagi-lagi Casilda menggeleng penuh penolakan, wajahnya menggelap melihat ke tanah berumput di bawah sana.
“Turun! Ini adalah perintah! Apa kamu ingin terus di sini selamanya?”
“Te-tentu saja tidak!” semburnya tidak terima.
“Kalau begitu cepat turun! Mereka pasti sudah menuju ke mari!”
“Ke-kenapa aku harus melakukan ini, sih? Aku salah apa?” protes Casilda ketika berusaha memperbaiki posisi tubuhnya. Tidak terima dengan perintah pria itu yang tidak masuk akal.
“Lakukan saja!” geram Arkan dengan wajah bengis tampannya.
Hati Casilda menciut. Tak bisa melawannya. Perlahan dia menggerakkan kaki kirinya untuk dipindahkan ke sisi lain, tapi...
“KYAAA!”
“Hati-hati! Aku sudah bilang kamu ini tidak pantas untuk mati muda. Dosamu masih banyak untuk dibayar, utamanya padaku!”
“Te-terima kasih...” bisiknya dengan air mata berkaca-kaca, gemetar dan masih syok.
Sepatu Casilda terpelesat oleh lumut tipis di sana ketika berhasil menyeberangkan kakinya, nyaris membuat tubuhnya jatuh terjerembab dengan punggung menghantam tanah keras.
Dengan sigap, Arkan menahan cepat tubuh Casilda, memeluknya ke dalam rangkulannya.
Tubuh Casilda gemetar hebat sampai tak menyadari pria itu tengah memeluknya dengan kuat, wajah perempuan ini menggelap dan pucat bukan main.
“Cepat turun,” desak Arkan tidak sabaran.
“Ka-kacamataku ketinggalan. Pa-Pandanganku jadi ka-kabur... ba-bagaimana turunnya?” gagap Casilda dengan suara gemetar menahan isak tangisnya, merasa hampir gila dengan kejadian hari ini yang berkali-kali nyaris merenggut nyawanya. Tidak terlupakan dengan adegan di jalan tol yang membuat dirinya dan Ryan hampir mengalami kecelakaan gara-gara pertengkaran mereka akibat istilah ‘ternak’ dari pria pecandu game itu.
'Sial! Aku lupa dia minus! Kenapa di saat seperti ini malah lupa dengan kacamatanya?' batin Arkan dengan kekesalan bertalu di hatinya.
“Ya, sudah. Pegang tanganku dan turunlah dengan hati-hati. Cepat! Jangan membuatku menyuruhmu berulang-ulang seperti mesin otomatis!“
Casilda yang terdiam oleh rasa takut dan bentakan murka Arkan, perlahan menuruti instruksi pria itu. Dia pun menuruni tangga dengan memegang tangan sang pria sebelum akhirnya menahan tubuhnya pada kedua sisi tangga bambu tersebut.
“Kenapa aku harus melakukan ini, sih? Casilda, apa kamu bodoh?!” bisiknya pada diri sendiri yang sama sekali tidak mengerti kenapa harus mematuhi perkataan pria kejam itu.
“Sialan! Kenapa mendapat uang harus sesulit ini?” lanjutnya lagi, berbisik dengan bibir bawah digigit keras, air matanya meluruh lega karena akhirnya berhasil menjejakkan kaki ke tanah berumput.
“Sekarang, pegang tangganya!” seru Arkan dari puncak pagar.
“Berengsek! Kenapa aku harus menuruti semua perkataannya? Memang aku budaknya?”
Casilda dengan berat hati memegang tangga bambu tersebut.
Pikiran buruk dan iseng sempat terlintas di pikirannya untuk membuat Arkan jatuh ke tanah. Namun, skenario mengerikan muncul tiba-tiba dalam benaknya hingga membuatnya memegang tangga itu kuat-kuat, menelan ludah susah payah.
Bagaimana jika dia dituduh atas percobaan pembunuhan? Anti fans yang gila? Atau balas dendam gara-gara ayam krispi dan dicap sebagai psikopat?
Wajahnya memucat kelam.
Casilda takut membayangkan jika terjadi apa-apa pada pangeran nasional itu, malah dijadikan kambing hitam lalu masuk penjara. Belum lagi perkataan netizen bisa menjadi sangat mematikan bagi siapa pun. Dia tak mau keluarganya mendapat masalah gara-gara egonya untuk kesekian kalinya.
Memikirkannya saja sudah membuatnya lemas.
Cepatlah turun, berengsek! makinya dalam hati, menggigit bibir kesal.
Orang miskin tak punya apa-apa seperti dirinya melawan iblis seperti Arkan, bagaimana mendapat peluang untuk menang? Yang ada, semakin dia melunjak dan menantangnya, semakin dia akan ditekan habis-habisan.
Arkan bukanlah pria biasa. Dia adalah pria terkenal dan dipuja oleh banyak orang dengan latar belakang yang sangat kuat.
Sedangkan, dirinya apa dan siapa?
Roh Casilda seolah melayang keluar. Niatnya mengumpulkan uang tambahan demi adiknya, malah terlibat dengan pria itu lagi. Lain kali, sebaiknya berpikir baik-baik jika mendapat pesanan dari mansion neraka itu, tapi nasi sudah menjadi bubur.
'Sebenarnya, aku sedang melakukan apa, sih, sekarang?' batin Casilda lagi, kesal dan sedih di saat yang sama.
“Pegang yang benar!” teriak Arkan saat menuruni tangga.
“Ini sudah benar! Mau benar bagaimana lagi?” balasnya frustasi mendongak ke atas sana, wajah sembab oleh air mata.
Arkan menggerutu di atas sana, tapi tidak begitu jelas didengar olehnya.
“Sabar. Sabar. Ayo pikirkan solusi dari kejadian aneh ini! Kamu tidak secengeng ini, Casilda! Kamu itu kuat!” bujuknya pada diri sendiri seraya menenangkan diri mengatur pola pernapasannya.
Air matanya ditahan sekuat mungkin dengan mata berkaca-kaca, bibirnya yang gemetar dikatupkan rapat-rapat.