“Ugh... tenggorokanku... sakit...” erang Casilda beberapa saat kemudian setelah sadar dari pingsannya.
Perempuan yang memakai kaos rajut orange itu bergelung di lantai, gelisah dan seolah menderita dalam gumaman tidak jelas.
Di bawah kepalanya terasa ada yang mengganjal, dan sedikit empuk.
Apa, ya?
Dalam hati, Casilda bertanya-tanya, tapi dia masih menutup matanya karena sensasi horor yang dideritanya tadi masih terbayang-bayang dalam ingatannya.
Dia pun berhenti menggeliat, merebahkan tubuhnya menghadap langit-langit.
Kedua matanya yang minus terbuka perlahan dan melihat cahaya putih di atas kepalanya dengan mata separuh terbuka.
“Eng? Apakah ini surga? Apakah akhirnya setelah menderita, akhirnya Tuhan mengasihaniku?” gumamnya ngaco dengan sudut-sudut mata berkabut oleh air mata.
Sensasi kehilangan oksigen dalam paru-parunya membuat akal sehat Casilda menjadi sedikit linglung.
“Bicara apa kamu? Sudah sadar?”
Suara berat, tapi sangat merdu terdengar dari atas kepalanya.
Detik berikutnya, sebuah tangan besar dan halus menarik poninya hingga menampakkan dahinya yang lebar. Tangan besar itu bukan hanya menarik poninya, tapi juga menarik alisnya hingga kedua mata perempuan itu terbuka lebar.
Kasar sekali!
“Ugh...” keluh Casilda mengerang dengan perasaan tak nyaman. Tangan kanannya mencegat tangan besar itu, dan matanya langsung ditutup kuat-kuat sembari menggigit bibir dengan kening ditautkan. Cahaya dipaksa masuk melalui matanya, menusuknya dengan perasaan perih.
“Cepat bangun. Jangan manja. Kamu tidak layak untuk mati muda sebelum membayar semua dosa-dosamu,” umpat si pemilik tangan besar itu.
“Si-siapa...” sahutnya pelan. Sadar kalau dia ternyata selamat dari tragedi bakso sialan.
Hati Casilda benar-benar berpilin kusut hingga rasanya dia ingin memaki seseorang sekarang. Perasaan tidak nyaman setelah tersedak benar-benar membuatnya gelisah.
Perempuan itu memiringkan kepalanya menghadap sumber suara, dan saat mengerjap-ngerjapkan matanya mencoba melihat siapa orang kasar itu, tiba-tiba hatinya punya firasat buruk.
Suara yang dingin mencekam dan penuh api di dalam suaranya itu sepertinya tidak asing akhir-akhir ini.
Dalam hatinya, Casilda mendapat sebuah tebakan paling buruk.
Perempuan itu memejamkan mata kuat-kuat, berdoa bahwa apa yang dipikirkannya barusan benar-benar hanya ketakutan sesaatnya saja. Namun, ketika sebelah mata kaburnya perlahan mengintip ke atas pada sosok berjaket biru tua itu, napasnya seolah kembali ditahan saat bakso sebelumnya menghalangi jalur napasnya.
“Sampai kapan kamu mau tidur begini? Apa kamu sekarang berniat ingin menggodaku? Dasar menjijikkan,” sindirnya dingin, menarik poni Casilda hingga sang wanita mengerang kesakitan kecil seperti anak kecil.
“Aduduh... sakit... ke-kenapa menarik rambut orang, sih?”
Saat benda empuk di bawah kepalanya terangkat, hati Casilda terlonjat kaget. Dia baru menyadari bahwa dirinya sedang tidur di paha seseorang, dan orang itu tidak lain adalah orang yang dibencinya, Arkan sang Top Star!
“Kamu ini pasti makan seperti babi, makanya langsung tersedak begitu melihat makanan,” ledeknya kejam kepada Casilda yang baring di pangkuannya, tersenyum dingin dari balik tudung jaket yang terpasang di kepalanya.
Suara ‘pak pak pak’ terdengar keras di udara.
“Le-lepaskan tanganmu!” teriak Casilda marah, berusaha menghalau telapak tangan Arkan yang mulai menepuk-nepuk jidatnya keras, wajah tampannya terlihat puas penuh ledekan di sana.
“Kamu hampir mati, jadi sekarang berhutang nyawa padaku, gendut. Bagaimana kamu akan membayarnya?”
Casilda hendak bangun dan tak sudi tidur di paha pria kejam itu, tapi dahinya terus-menerus ditekan-tekan setiap kali kepalanya hendak dinaikkan bagaikan anak kecil yang sedang dipermainkan.
“Ugh! A-apa-apaan kamu ini? Kubilang, lepaskan tanganmu!”
Kedua tangannya berusaha menghentikan aksi Arkan, kepalanya dimiringkan melotot ke arah sosok dingin tak bersahabat di atas wajahnya itu. Senyum Arkan sangat jahat dan licik.
“Kamu ini, sudah ditolong dari kematian konyol, masih juga banyak tingkah. Sifatmu memang buruk, Ratu es!”
Casilda menggelungkan tubuhnya bagaikan udang yang digoreng, dan mulai menjauhkan tubuhnya dengan menginjak kuat pada dinding yang menjadi sandaran Arkan.
Dengan suara ‘set!’, seketika Casilda lepas dari kejahilan sang pria, dan kepalanya langsung terbentur ke lantai! Untung saja lantainya dilapisi oleh karpet tipis hingga bisa meredam sakit di kepalanya.
“Auch... argh... ya, ampun, sial apa aku akhir-akhir ini? Apa aku habis menabrak kucing tanpa aku ketahui?” gumam Casilda, menggeliat resah di lantai depan Arkan. Tangannya mengusap-usap belakang kepalanya dengan wajah memilu.
Sang aktor mengamatinya dengan kedua tangan terlipat di d**a. Mata menyipit dingin.
“Heh! Kamu ini mirip ulat bulu yang menggeliat di atas daun. Benar-benar mirip,” ledek Arkan terang-terangan.
Isi kepala Casilda masih belum baik, dan perasaannya kacau. Sekarang, kenapa harus berurusan dengan pria menyebalkan itu lagi? Kutukan apa yang menimpanya?
Casilda memunggunginya, bergumam tidak jelas. Arkan yang melihat hal itu tiba-tiba hatinya terbetik kesal, segera menyeret tubuhnya mendekat maju pada sang wanita.
“Kamu sudah baikan. Sekarang jangan manja, cepat bangun!”
“Ugh! Apaan, sih? Aku tidak mau bertemu denganmu lagi! Pergi!” koar Casilda dengan satu tangan mendorong tubuh Arkan tanpa berbalik sekali pun.
Arkan emosi mendapat dorongan itu, kedua tangannya yang menyangga tubuhnya di lantai mengepal kuat lalu memaksa tubuh perempuan berkepang satu itu berbalik menghadap ke arahnya.
“Aku bilang bangun, ya, bangun!” bentak Arkan dalam desisan kejamnya.
“Apa yang kamu lakukan?! Pergi dariku! Kamu jahat!”
Casilda meronta kuat menghalau tangan Arkan pada tubuhnya, karena sudah menahan kesabaran sebaik mungkin, Arkan menaiki tubuh Casilda, tanpa ragu langsung menahan kedua tangannya di kedua sisi tubuhnya.
“Bisa diam, tidak, sih?” bentak Arkan kesal.
Syok!
Kesadaran dipaksa bangun dari dalam diri Casilda, wajah pria tampan itu lagi-lagi berjarak hanya beberapa senti dari wajahnya.
“Aku sudah menolong nyawamu yang tidak berharga itu, tapi kini kamu bersikap tidak sopan pada penolongmu? Apa kamu tidak pernah diajarkan tata krama oleh kedua orang tuamu?”
Casilda terdiam kaget melihat wajah murka sang aktor.
Walau sedang marah seperti apa pun, pesona wajah tampannya masih saja ada. Ini membuat hati Casilda kesal, tapi sama sekali tak berdaya. Harga dirinya seolah runtuh gara-gara tragedi bakso sialan itu.
Kini dia berhutang nyawa pada pria yang sudah pernah mencekiknya.
Bukankah ini tragis?
Dia adalah pria yang mencekiknya karena dendam masa lalu saat pertemuan pertama, dan kini malah terlibat lagi dengannya sebagai orang yang sudah menyelamatkan nyawanya.
Lelucon hidup macam apa ini?
Apakah dia punya dosa yang sangat besar pada pria itu melebihi yang lainnya hingga harus mengalami ini semua?
“Te-terima kasih!” gagapnya dengan wajah pucat, suaranya mencicit lemah. dia memalingkan wajahnya yang gelisah.
Arkan tidak puas melihat reaksi Casilda di bawahnya, sudut bibirnya tertarik jahat.
“Hanya terima kasih? Kamu pikir aku repot-repot menyelamatkan nyawa sampahmu itu demi sebuah ucapan terima kasih?”
Casilda menggigit gigi marah, matanya melotot tajam!
“Kalau kamu tidak suka menyelamatkan orang yang kamu benci, kenapa tidak membiarkannya mati saja?”
Kedua bola mata Arkan membesar karena terkejut, pupilnya mengecil dan bergetar seolah ada kegilaan di dalam sana.
Pria bertudung jaket itu mendekatkan wajahnya, dan berbisik jahat, “mati itu terlalu bagus untukmu, Ratu Es. Seharusnya kamu bersikap baik kepada penolong nyawamu ini. Bukannya bersikap kurang ajar seperti manusia terbelakang tanpa peradaban.”
Tangan kanan Arkan mencengkeram dagunya, menatapnya dingin dan sinis. Aura berbahaya memancar dari wajah tampannya. Kedua bola mata bercahaya mengerikan itu membuat tubuh Casilda ciut.
“Bukankah kamu juga begitu?”
“Apa?”
“Untuk apa kamu melakukan ini hanya untuk mengancam dan menghinaku? Apa kamu punya kelainan seksual?”
“KAMU!”
“Lepas sebelum ada yang lihat! Aku masih harus bekerja!”
Casilda meronta lepas dari kedua tangan Arkan yang mencengkeram dagu dan pergelangan tangannya.
“Berani sekali kamu menghinaku seperti itu!”
Arkan menggigit gigi marah, dan menahan kuat sekali lagi kedua pergelangan tangan Casilda ke lantai, kedua matanya menatap nyalang pada wajah marah dan pucat perempuan itu.
“Kamu menghinaku kelainan seksual? Konyol sekali mendengar itu dari mulut seorang perempuan murahan sepertimu!”
“Apa?!” bentak Casilda tiba-tiba, tidak terima dikatai seperti itu.
“Kamu ini, sudah seperti ini bentuknya, masih saja bergenit-genit ria. Memang kamu ini bakal laku di mata mereka? Jangan mempermalukan dirimu, Ratu! Kamu ini hanyalah seonggok sampah yang gagal saat ini, sudah tak bersinar sama sekali. Ratu. Gagal.”
Casilda terdiam termenung mendengar hinaan itu.
Ratu?
Sudah lama sekali dia tak pernah mendengar seseorang menyebut nama panggilan lamanya itu.
Sebelum dia mendapat nama panggilan Casilda, dulu dia lebih suka dipanggil dengan nama panggilan Ratu.
Sebuah nama panggilan yang terdengar kuat dan sangat cocok dengan dirinya yang sempurna, memiliki segalanya dan bisa mendapatkan apa pun yang diinginkannya seperti tengah menggosok lampu jin.
Oh, ya. Benar. Keluarga mereka dulunya benar-benar sangat kaya.
Keluarga mereka merupakan salah satu orang terkaya di Asia tenggara pada masanya.
Saking kayanya, di dalam rumahnya yang luas, mereka terkadang harus memakai mobil golf jika ingin cepat sampai dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun, semua itu hanyalah cerita lama bagaikan mimpi di dalam hatinya.
Sekarang, dia sudah memiliki kehidupan baru yang mematikan semua hal-hal indah masa lalunya bagaikan tersapu angin malam. Hidup mereka benar-benar terbalik dan menyedihkan.
Tidak menggunakan nama panggilan lamanya juga membuatnya bisa terhindar dari orang-orang yang tak suka padanya. Casilda tak ingin orang menggunjingnya memakai nama panggilan itu dengan tubuh dan penampilan seperti sekarang ini. Sudah jelek, miskin pula.
Ratu dari mana, coba?
Alasan kuat lainnya, karena ingin membuang masa lalu tidak menyenangkan yang membuat keluarganya jatuh sejatuh-jatuhnya, maka dia pun berhenti memakai nama panggilan itu, dan lebih memilih dipanggil sebagai Casilda. Seperti kata Ryan, namanya sudah sangat cocok dengan dirinya yang gila kerja karena uang.
Ya.
Saat ini, dia hidup sebagai Casilda, bukan sebagai Ratu.
“Hei!” tegur Arkan membuyarkan lamunannya, menampar-nampar kecil pipi bakpau Casilda.
“Eh?”
Bulu mata perempuan itu merendah lemah, wajahnya menjadi murung.