Bab 162 Aku Tidak akan Pernah Mencintaimu!

1997 Words
Di hari Kamis pagi, Casilda yang masih terlihat baring di ranjang besar melirik Arkan yang sibuk bersiap-siap pergi ke perusahaan agensi. Gara-gara kejadian Selasa malam lalu, seluruh tubuhnya kembali sakit. Sekarang, dia masih berada di atas kasur dengan wajah kusut dan mata datar menonton adegan seru di depannya. Tentu saja itu adalah adegan di mana suami superstarnya sejak tadi sibuk mempersiapkan diri. Bahkan dia tidak malu-malu menampakkan kepolosannya begitu saja sambil terus sibuk hilir mudik di dalam kamar. “Memangnya apa gunanya kamu malu kepadaku, hah? Menjijikkan! Aku sudah melihat semua bagian tubuhmu berkali-kali! Dijilati, dimasuki, dan disentuh olehku juga sudah!” Itu adalah kalimat jahat dari Arkan untuk Casilda semalam. Diucapkan sangat tidak berperasaan sambil memeluknya erat-erat seolah akan meledakkan paru-parunya. Sepertinya, di antara mereka berdua sudah tidak ada rasa malu lagi yang tersisa gara-gara kejadian di kamar mandi sebelumnya. Bahkan Arkan menetapkan tugas baru untuk Casilda, yaitu menjadikannya sebagai guling hidup selama satu bulan penuh. Alasannya sangat konyol: melatihnya untuk berhenti bersikap sok malu di hadapan suami sendiri. Alhasil, Casilda hanya bisa menurut dan tidak berusaha berdebat yang tentu saja akan berakhir sia-sia semata. Sindiran itu terus terngiang-ngiang di dalam kepalanya seperti sebuah cacing telinga. “Kenapa? Kamu masih mau melihat tarian ular dariku? Terpesona, ya?” goda Arkan dengan wajah jahil dan nakal, tersenyum menyeringai dengan sorot mata bangga. Casilda yang tengah melamun di kasur, tersentak kaget mendengarnya. Dia langsung teringat dengan kelakuan konyol Arkan yang dengan sengaja menggoyangkan pinggulnya hingga aset berharga sang aktor melambai-lambai lucu seolah-olah mengundangnya berbuat hal tidak bermoral dan berbahaya. Sontak saja sekujur tubuh wanita ini memerah luar biasa! “Kamu gila?! Tarian ular apaan? Itu adalah gajah mabuk yang sedang sekarat! Sekali lagi kamu berani melakukannya, jangan salahkan aku akan mematahkan belalainya!” koar Casilda galak, cemberut menatapnya malas-malasan dari balik selimut yang dinaikkan sebatas hidung. Arkan otomatis segera menutupi aset pentingnya di bawah sana menggunakan kedua tangan. Terkejut dengan ancaman sang istri. “Berani kamu bicara begitu kepadaku, hah?! Kamu minta dihukum lagi?! Tidak ada kapok-kapoknya, ya, kamu itu? Mau gajah atau ular, apa itu penting?! Aset berhargaku ini jelas-jelas membuatmu takluk dan ketagihan! Masih saja menyindirku seperti itu! Tidak tahu berterima kasih!” “Ketagihan apa? Dasar aktor narsis! Kapan aku bilang ketagihan kepadamu?! Sana cermin dulu! Bekas sepertimu mana sudi menjadi kesukaanku! Aku lebih suka pria yang masih murni dan polos!” “Apa katamu? Bekas?!” Arkan naik pitam! Segera saja membuka ikat pinggangnya secepat yang dia bisa, padahal dia sudah selesai berpakaian penuh dan tinggal mengambil dompet dan ponsel. Sayangnya, Casilda malah kembali menyindirnya dengan perkataan yang kejam! Bekas?! Dia adalah bekas? Apa dia sudah gila?! Lalu, apa katanya tadi? Dia lebih suka pria yang masih murni dan polos? Apa hebatnya itu? Dia lebih berpengalaman dan bisa membuat Casilda mengerang nikmat di bawah tubuhnya! Beraninya dia membandingkannya dengan perjaka bodoh dan naif di luar sana! “Kamu mau apa?! Ini masih pagi, Arkan sialan! Kamu juga harus segera ke kantor dan menemui tunangan tercintamu!” Arkan sang Top Star yang sudah berada di atas kasur dan menatap lapar Casilda yang hanya memakai selimut tanpa ada pakaian di baliknya, seketika saja tersenyum menyeringai penuh kepuasan. “Apa siksaan 24 jam lebih dariku masih belum cukup membuatmu untuk mengakui perasaanmu sendiri?!” “Kamu gila! Aku tidak pernah dan tidak sudi cemburu gara-gara dirimu! Otakmu pasti mabuk!” koar Casilda geram. Sangat heran luar biasa ada manusia seperti Arkan yang begitu ngotot ingin mendengar pengakuan cemburu dari seorang wanita. Arkan menghela napas berat, menarik keras selimut yang menutupi kepala sang istri. Dengan posisi menahan tubuh wanita di bawahnya di antara dua kaki panjangnya, Arkan memiringkan kepalanya arogan dan sombong. “Masalah managemen Julian, aku sudah bereskan. Untuk sementara waktu kamu akan ikut denganku ke Amerika. Setelah Julian pulang dari tur konser keliling dunianya, baru kita akan membahas sisanya.” Casilda menatapnya serius, melupakan sejenak pertengkaran barusan. “Apa itu artinya aku masih bisa bekerja di sana?” Arkan sejujurnya tidak setuju, tapi mengingat nasihat beberapa orang di sekitarnya, dan tidak mau Casilda semakin membencinya, aktor playboy ini mau tidak mau akhirnya harus melunak sedikit. “Aku akan mempertimbangkannya dengan satu syarat.” “Hah? Satu syarat? Aku tidak mau kalau syaratnya aneh-aneh!” pekik Casilda galak, menatapnya dengan kening mengencang hebat. Arkan menggertakkan gigi menahan kesal di hatinya, tapi detik berikutnya malah menghela napas sekali lagi sembari mengusap pelan puncak kepalanya. “Istirahat yang banyak. Aku akan sibuk selama beberapa hari untuk persiapan ke Amerika.” “Ba-bagaimana denganku? Apa aku sungguh harus ikut ke sana? Kamu serius?” Arkan meraih kedua pergelangan tangan sang istri, menekannya di kedua sisi kepalanya seraya merendahkan wajahnya hingga jarak mereka sangat dekat. “Kenapa? Kamu pasti sangat bahagia bisa jalan-jalan keluar negeri bersamaku, bukan?” sindir Arkan dengan nada sombong dan senyuman mengejek. Casilda tidak nyaman, kedua pipinya merona kecil. Mata menghindari tatapan sang suami. “Ka-kamu sungguh narsis! Kamu pikir aku tidak pernah ke luar negeri sebelumnya? Aku tidak senorak itu!” Arkan mendatarkan mata mendengar balasannya. Ya. Istrinya mengatakan yang sejujurnya. Dia telah melihat buku paspor Casilda. Sejak kecil, ternyata dia sudah sering ke luar negeri bersama keluarganya saat masih menjalani kehidupan sebagai orang kaya dan terpandang. Dengusan kecil terdengar dari bibir Arkan. “Memang benar. Tapi, bukankah itu sudah bertahun-tahun lamanya? Kamu hanya terus memperbaharui paspor, kan? Sama sekali tidak ada kegiatan baru selama ini. Aneh juga kamu begitu rajin mengurus dokumen seperti itu, padahal punya uang untuk keluar negeri saja tidak ada.” “Bukan urusanmu! Memangnya keluar negeri harus butuh uang banyak? Tidak juga, kan? Kalau hanya sekedar ingin keluar negeri dengan uang sedikit, aku masih bisa ke Malaysia atau ke Singapura!” Tawa Arkan pecah! Dia masih menekan kedua pergelangan Casilda sambil terbahak-bahak. “Casilda, kamu sungguh lucu, ya? Malaysia dan Singapura? Bagiku itu sama sekali bukan ke luar negeri. Setidaknya ke Jepang, Jerman, Italia, Prancis, Korea, Thailand, Cina, atau yang paling jauh, Afrika! Dekat begitu kamu bilang ke luar negeri? Jangan bikin aku sakit perut pagi-pagi begini, istriku sayang,” ledeknya dengan mata berair oleh tawa gelinya, menurunkan wajah sekali lagi untuk mencium sekilas bibir wanita di bawahnya. Casilda ingin protes, tapi bungkam begitu merasakan ciuman manis darinya. Mata mengerjap tak percaya. Tatapannya tiba-tiba melamun. Memangnya apa yang salah kalau hanya pergi ke negara tetangga? Bukankah tetap ke luar negeri namanya? Selera Arkan ternyata sangat tinggi! Dengan suara serak yang rendah memikat, Arkan menatapnya penuh minat, “oh, ya! Aku ingatkan, kalau sudah sampai di Amerika nanti, kamu jangan berpikir yang tidak-tidak. Kamu jangan mengira kita ke sana untuk bersenang-senang. Aku dan Lisa punya pekerjaan penting di sana. Jadi, sebaiknya kamu jaga kesehatanmu dan jangan banyak tingkah selama 2 minggu ini sampai visamu selesai diurus. Aku ingin kamu berada dalam keadaan sehat dan bugar sebagai asistenku. Tidak boleh pergi ke kedai ayam krispi atau keluyuran tidak jelas di luar. Tinggallah di rumah dan patuhlah sebagai istri yang manis.” Arkan kembali menciumnya, mata saling tatap cukup lama, dan berikutnya dengan sangat ajaib, pria itu melepaskannya begitu saja. Casilda bengong sejenak menatap langit-langit. Apa itu barusan? Dia sedang membujuknya? Kenapa pula mulutnya jadi sok manis begitu? Mendengar kata ‘sayang’ keluar dari bibir Arkan, otomatis membuat Casilda jengkel tidak jelas! “Setibanya di kantor, aku akan segera menghubungimu. Jika kamu tidak ada kerjaan dan bosan di rumah, aku tidak akan melarangmu keluar. Tapi, hanya boleh mengunjungi keluargamu saja. Selain daripada itu, aku tidak akan mengizinkanmu. Berani macam-macam, kamu lihat bagaimana aku akan membuatmu menyesalinya berkali-kali lipat.” “Kamu tidak bosan mengancamku, ya?” Arkan yang sedang memasang jam tangan mendengus, mendekatinya lagi seraya mencubit dagunya posesif. “Bosan? Aku yang tentukan kapan akan merasa bosan untuk bermain denganmu. Ingat baik-baik, Casilda. Kita tidak akan pernah bercerai. Itu artinya, aku tidak suka kamu dekat-dekat dengan pria lain di luar sana. Tidak peduli apa pun hubungan di antara kalian berdua. Paham?” Casilda tertawa mengejek, menatapnya berani. “Kamu sadar sedang bicara apa sekarang?” “Apa?” Arkan terhenyak kaget melihat senyuman mengejek dan menghina Casilda. Wanita yang hanya ditutupi selimut itu tiba-tiba bangkit, menarik dan memeluk leher Arkan hingga pria itu tertarik jatuh dan hampir menindihnya di kasur. Untungnya dengan sigap menahan setengah berat tubuhnya menggunakan satu tangan. Suara Casilda datang dalam bisikan mesra di telinganya, “sikapmu ini, seperti suami yang cemburuan terhadap istri tercintanya. Arkan... kamu... tidak sedang jatuh cinta kepadaku, kan?” Mendengar tuduhan itu, Arkan termenung bodoh sesaat. Detik berikutnya, kesadarannya hadir kembali ketika mendengar kalimat sinis lainnya dari sang istri. “Kalau benar, maka sayang sekali. Aku tidak akan membalas perasaanmu,” bisik Casilda dengan suara lebih halus dan dingin di telinga pria itu. Memeluk lehernya lebih erat dan mesra. Tanpa diduga oleh sang pria, lidah Casilda bermain di telinganya, menggoda dan sangat berbahaya. Arkan mendorongnya kasar tanpa sadar, menatapnya galak. Sambil tertawa puas sambil menatap lucu pria tampan di atasnya, Casilda mendesis dengan seringai mengejek yang sangat jelas. “Arkan, kamu masih ingat ucapanku, bukan? Mau kamu di masa lalu dan yang sekarang, aku tidak akan pernah mencintaimu! TIDAK AKAN PERNAH!” Dengan wajah menggelap marah, Arkan hendak mencekiknya sampai mati! Tapi, detik berikutnya, kekuatan tangannya seketika mengendur. Wanita di atas kasur yang semula syok dan ketakutan, seketika saja bingung melihat sikap aneh sang suami. Kenapa dia mendadak diam seperti batu? Senyum tipis dan sorot mata dingin sulit dibaca terpasang di wajah tampan itu, satu tangan mencubit kejam dagu Casilda. “Kamu sangat percaya diri sekali, Ratu. Casilda. Wijaya. Kita lihat saja apakah yang kamu katakan itu memang benar atau tidak. Semakin kamu lari dari kenyataan seperti ini, aku akan semakin sering menyentuhmu dan membuatmu ketagihan kepadaku.” Usai berkata begitu, Arkan merendahkan kepalanya dan menjilati posesif bibir Casilda. Sangat lembut dan manis. Perlahan, dengan masih menahan dagunya, lidah pria ini memasuki mulut sang wanita. Casilda memejamkan mata ingin berontak, tapi entah apa yang merasukinya hingga malah membalas ciuman itu, tidak sabar ingin sekali menghisap keras lidah lawan mainnya. Mungkin, dia benar-benar telah ketagihan dengan sentuhannya.... Arkan tersenyum licik diam-diam begitu lidah Casilda memasuki mulutnya, dan segera melepas ciumannya begitu merasakan sang wanita semakin tergesa-gesa mirip orang yang sedang kehausan parah. Entah sadar atau tidak, Casilda memeluknya erat seolah ingin menyatu dengannya dan tidak ingin melepaskannya. “Kamu lapar?” sindir Arkan dengan tatapan mengejek, mendongakkan kasar dagu Casilda. “Sayang sekali, aku sedang tidak bernafsu saat ini. Tidak berniat melakukannya sedikitpun denganmu.” Wanita yang baring di bawah Arkan terlihat syok dan malu! “La-lapar? Apa maksudmu berkata begitu? Siapa yang lapar, hah?! Aku hanya ingin membalasmu saja! Kamu pikir hanya kamu yang bisa bermain seperti itu? Aku juga bisa! Lihat bagaimana kamu akan hancur gara-gara berani menggoda dan menikahiku!” Pria tampan menuruni kasur dan segera memperbaiki pakaiannya, menatap miring penuh arogansi wanita di atas kasur. Sorot matanya dingin dan dalam. “Baiklah. Terserah apa maumu. Ternyata, banyak permainan berbahaya di antara suami istri seperti ini tidak buruk juga. Aku mungkin tidak akan cepat bosan denganmu, babi gendut,” dengusnya dengan senyuman arogan dan menantang, maju ke depan kembali untuk mengusap puncak kepala Casilda, dan berakhir mencubit gemas sebelah pipi bakpaonya. “Aku akan menghubungimu satu jam lagi, istri durhaka. Pastikan kamu di rumah dan tidak macam-macam,” lanjutnya acuh tak acuh. Casilda masih ingin berdebat, bangkit dengan wajah penuh tekad, tapi pria itu berjalan keluar kamar setelah meraih ponsel dan dompetnya di atas meja. “Huh! Siapa yang durhaka? Memangnya aku yang selingkuh di sini?” umpat Casilda geram, cemberut dengan kedua bahu melorot lesu. Tangan kanannya mengelus pipi yang sakit, kemudian berakhir meraba bibirnya yang baru saja menjadi santapan ringan sang suami. Wajah Casilda murung dan menggelap suram. Dia baru berkata apa barusan? Arkan jatuh cinta kepadanya? Bagaimana itu mungkin? Kenapa dia begitu percaya diri menuduhnya seperti itu? “Dasar Casilda bodoh. Bicara juga harus tahu batasan. Beraninya menantangnya seperti itu. Benar-benar cari mati...” bisiknya kepada diri sendiri, bulu matanya merendah sedih dengan tangan masih meraba pelan bibirnya yang bengkak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD