Satu kali saja

1714 Words
"b******k!" Pangeran ketiga menerjang seorang pria yang datang membawa berita tentang Ethaan yang masih hidup. "Bagaimana bisa monster itu selalu selamat!" Berkali-kali ia mengirimkan orang untuk membunuh Ethaan tapi tak pernah berhasil. "Yang Mulia Ratu memasuki ruangan!" Suara pemberitahuan terdengar, pintu terbuka dan Ratu kekaisaran itu masuk ke ruangan pribadi putra tertuanya. "Tenangkan dirimu, Pangeran Ketiga!" Ratu bicara dengan tegas namun bernada lembut. Ia menarik sebilah pedang di ruangan itu lalu menusukan pedang itu ke pria pembawa berita. Pria itu tergolek di lantai dengan darah yang mulai membasahi lantai itu. Inilah Ratu yang sebenarnya. Ia adalah iblis yang terperangkap dalam tubuh indah seorang wanita berparas lembut dan bijaksana. "Kau bisa menunggu waktu yang tepat untuk membunuhnya." Ratu mencabut pedang tadi, melihat tetesan darah yang mengalir dari pedang itu dengan wajah tersenyum. "Aku tidak bisa menunggu, Ibu. Monster itu adalah penghalang bagiku untuk merebut posisi Putra Mahkota!" Pangeran Ketiga berambisi menjadi seorang Kaisar, namun terhalang oleh kehadiran Pangeran Kedua. Untuk membunuh Putra Mahkota ia harus melewati Ethaan terlebih dahulu. Dengan begitu saingannya untuk naik tahta hanya satu orang. Tapi jangan berpikir jika Pangeran Ketiga tidak mencoba untuk membunuh Putra Mahkota, ia melakukan berkali-kali namun gagal. Ketika mengirimkan penyerang di hutan atau perjalanan politik, Ethaan selalu ada di dekat Putra Mahkota dan menghalau serangan. Pangeran Ketiga tidak bisa melakukan serangan di dalam kerajaan karena itu sama saja dengan bunuh diri. Sedangkan mengirim racun, itu juga tidak bisa dilakukan di dalam istana karena makanan untuk Putra Mahkota selalu diawasi dengan ketat. "Tenanglah. Ayahmu masih sehat, dia tidak akan menyerahkan tahta dalam waktu dekat ini. Kita memiliki waktu sedikitnya 2 tahun lagi. Lagipula Putra Mahkota juga belum memiliki anak." "Waktu berlalu tanpa kita sadari, Ibu. Harusnya sejak kecil Ibu menyingkirkan monster itu dan juga Putra Mahkota!" Pangeran Hill menatap ibunya marah. "Kau tahu sudah berapa banyak orang yang Ibu singkirkan untuk mencapai posisi Ibu ini, Hill. Ibu menjadi Ratu bukan untuk Ibu sendiri tapi untuk kau dan Javero. Ibu ingin memastikan poisisi kalian. Kakek dan pamanmu juga akan memastikannya. Cepat atau lambat posisi itu akan menjadi milikmu." Ratu Kaena meraih tangan putra kesayangannya, "Jangan marah pada Ibu. Kau tidak perlu mengotori tanganmu, biar Ibu yang mengurus semuanya." Tatapannya lembut membujuk. Hill perlahan melunak, ia tahu bagaimana sulitnya sang ibu mencapai posisinya. "Maafkan aku, Ibu. Aku hanya sudah tidak tahan berada di bawah Putra Mahkota dan monster itu." Ratu Keana memeluk Hill, tangannya mengelus bahu putranya, "Bersikaplah tenang. Jangan biarkan orang melihatmu seperti saat ini. Teruslah berpura-pura mencintai Putra Mahkota." Hidup dalam sandiwara adalah apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang dalam kerajaan itu. Bukan hanya Putra Mahkota dan ibunya tapi juga beberapa orang lain di sana melakukan hal yang sama. Untuk membuat posisi mereka aman, mereka akan menjilat meski mereka membenci setengah mati. && Quella mendapatkan kiriman dari kediaman Pangeran Kedua. Kiriman itu adalah barang-barang yang biasa didapatkan oleh calon pengantin wanita dari pengantin pria. Satu persatu barang itu Quella periksa, ia pikir barang-barang itu terlalu berlebihan untuknya, seorang wanita yang terbuang. Barang dengan kualitas yang baik dan harganya yang mahal. "Tch! Kau tidak pantas mendapatkan barang-barang seperti ini, Monster!" Jeenath menatap Quella mencemooh. Hatinya seperti terbakar melihat Quella mendapatkan kiriman mahal seperti itu. Tidak hanya Jeenath yang terbakar tapi Delillah dan Allysta juga. Bahkan putri pertama Perdana Menteri tak pernah mengenakan barang-barang sebagus itu. "Jika kalian ingin kalian bisa menggantikanku sebagai istri Pangeran Kedua." Quella membalas tatapan Jeenath dengan tatapan yang sama. "Atau mintalah Ayah untuk menjodohkan kalian dengan Pangeran maka kalian akan mendapatkan barang-barang seperti ini." "Kau!" Jeenath mengangkat tangannya. Plak! Quella menampar wajah Jeenath keras, "Jaga tanganmu dengan baik! Beraninya kau menunjuk kakak tertuamu!" Suara marah Quella membuat 3 adik-adiknya merasakan gemetar halus. Tatapan tajam Quella seperti semburan es yang membekukan. "Ada apa ini?" Suara Nyonya besar terdengar mendekat. Jeenath melihat ke arah Nyonya Aster, ia segera berlari dan memeluk wanita itu. "Ibu Aster, monster itu menamparku. Dia mengolok-olok kami." Dia mengadu. "Dasar anak kecil." Quella mendengus pelan. Nyonya Aster melangkah mendekat ke Quella, "Berani sekali kau menyakiti saudaramu! Kau tidak hanya buruk rupa tapi kau sangat kasar!" "Apakah salah jika aku mendisiplinkan dia dengan tanganku? Bukankah itu caramu mendisiplinkan aku?" Aster tak tahu dari mana Quella dapatkan keberanian seperti ini, tapi sepertinya setelah kabar pernikahan Quella seperti hidup kembali dengan jiwa yang berbeda. "Pembangkang!" Aster mengayunkan tangannya. Quella menahan tangan itu, mencengkram kuat dengan matanya yang menatap lurus tepat ke mata Aster, "Gunakan cara lain. Tidak bosan menggunakan cara ini tiap kesempatan?" Quella mempermalukan Aster di depan para pelayan dan pengawal yang ada di kediaman itu. Allysta geram melihat Quella, ia bergerak untuk menyerang Quella namun tangannya cepat disambar oleh Azyla. "Beraninya kau!" Allys menggeram marah. Azyla memelintir tangan Allysta, membuat wanita itu mengerang sakit, "Jangan berani menyentuh Nonaku!" "Apa yang terjadi di sini!" Suara tegas itu membuat keributan berhenti seketika. Quella maupun Azyla melepaskan tangan mereka. "Suamiku, Quella menyakiti saudaranya yang hanya ingin melihat apa yang dikirimkan oleh Pangeran Kedua. Aku menasehatinya namun dia membangkang hingga aku harus mendisiplinkannya dengan tanganku tapi dia menahan tanganku dan mempermalukan aku di depan pelayan dan pengawal. Dia membuatku kehilangan muka sebagai istri sahmu." Nyonya Aster mulai dengan dramanya. Perdana Menteri melangkah mendekat ke arah Quella. Plak! Ia menampar Quella. Ini adalah pertama kalinya ia menampar Quella. "Kau harus menghormati Ibumu. Jangan pernah menyakiti saudara-saudaramu! Berikan contoh pada adik-adikmu dengan baik!" "Ayah, pelayan itu telah berani menyentuh Kak Allysta." Jeenath menunjuk ke Azyla. Ia terlalu mencari muka di depan Allysta. Bersikap peduli untuk mencari aman dan tak diusik oleh Nyonya Aster dan Allysta. "Cambuk dia sebanyak 10 kali!" Perdana Menteri memberi perintah. Senyuman tak terlihat di wajah Allysta, ia belum puas atas hukuman yang diberikan oleh ayahnya untuk pelayan yang telah lancang menyentuhnya. Cambukan saja tidak cukup. Harusnya pelayan itu mati atau paling tidak kehilangan tangannya. Quella tidak bisa menghentikan hukuman dari ayahnya. Ia melihat Azyla dicambuk dengan mata datarnya. Inilah yang terjadi di kediaman ini jika mencoba mengusik anak kesayangan Perdana Menteri. "Bawa barang-barang ini ke paviliun Lily! Jangan pernah ada keributan seperti ini lagi!" Perdana Menteri memperingati tegas lalu berlalu pergi. Quella mendekati Azyla, "Kau baik-baik saja?" Ia bertanya karena tak yakin. Azyla pandai beladiri tapi cambukan tanpa perlawanan tentu saja menyakitkan. Azyla menganggukan kepalanya, "Saya baik-baik saja, Nona." "Rasakan! Itulah balasan untuk orang-orang yang berani kurang ajar!" Jeenath merasa menang. Quella menatap Delillah tajam, refleks Delillah langsung mundur. Ia tidak ingin ditampar untuk yang kedua kalinya. "Kenapa kalian masih di sini? Pergi dari sini! Tempat ini tidak menerima manusia buruk rupa seperti kau!" Dellilah mengusir Quella. Mata Quella melihat Azyla hendak berdiri, ia buru-buru menggenggam tangan Azyla, "Kembali ke paviliun!" Ia tidak ingin membuat ayahnya menghukum Azyla lagi. Ia tak akan pernah benar di mata ayahnya. Quella sampai di paviliunnya, ia melepaskan cadar yang menutup wajahnya, "Duduklah, Azyla. Aku akan mengobati lukamu." Azyla melakukan apa yang Quella katakan. Ia melepaskan pakaian yang ia kenakan. "Mereka benar-benar menjengkelkan." Azyla mengoceh sebal. Meski berilmu tinggi, Azyla tetap wanita yang suka mengomel. Ia bisa menggunakan mulut dan tangannya dengan baik. Quella melumuri luka Azyla dengan ramuan, membuat Azyla meringis pelan. "Aku harus segera keluar dari rumah ini, Azyla. Melelahkan berada ditengah-tengah mereka." Alasan Quella tak membalas apa yang telah Ethaan lakukan padanya adalah ia ingin cepat keluar dari kediaman itu. Ia sudah lelah diabaikan oleh ayahnya. Ia berada sangat dekat dengan ayahnya tapi suaranya bahkan tak pernah sampai ke telinga sang ayah. Ia bisa menanggung perbuatan wanita-wanita yang membencinya tapi ia tidak bisa menanggung lebih lama perasaan sakit karena diabaikan oleh ayahnya. Ia bisa mati berdiri karena perasaan iri yang mendalam pada Allysta dan 2 saudarinya. Ia tidak ingin terus berharap bahwa suatu hari nanti ia akan memiliki setidaknya sedikit saja ruang dihati ayahnya. "Pernikahan Anda akan dilakukan 3 hari lagi, Nona. Tidak lama lagi Anda akan bebas dari tempat ini." Benar, hanya tiga hari lagi. Ia hanya harus bersabar selama 3 hari lagi. && Malam ini Quella tidak bisa tidur, waktu berjalan cukup cepat. Dua hari lagi ia akan menikah. Dua hari lagi ia tak akan memiliki alasan untuk melihat ayahnya. Ia pergi ke taman, angin malam ini berhembus dingin. Sepertinya sebentar lagi akan musim salju. Quella berhenti melangkah ketika ia berada di atas jembatan penghubung antara gazebo tengah kolam buatan dan daratan. Matanya menatap ke air di dalam kolam, menarik nafas pelan lalu menghembuskannya. "Kenapa takdir membawaku pada titik seperti ini?" Tak pernah Quella menanyakan tentang takdirnya, tapi hari ini ia benar-benar berharap bahwa ia bukanlah Quella yang malang. Ia ingin hidup di dalam keluarga yang utuh. Ayah dan Ibu yang mencintainya. "Aku hanya ingin kebahagiaan, Tuhan. Kenapa begitu sulit untuk menggapainya?" Ia tidak bisa membendung kesedihannya sendiri. Air matanya menetes begitu saja. Sudah lama sejak terakhir dia menangis. 9 tahun lalu, ketika usianya 10 tahun. Ketika ia melihat adik-adiknya bermain dengan ayahnya namun ia tidak bisa bermain karena ayahnya tak menyukai keberadaannya. Saat itu yang ia pikirkan bukan hanya tentang kenapa ia memiliki wajah yang dipenuhi oleh bintik-bintik tapi juga karena ia adalah seorang anak wanita penghibur seperti yang dikatakan oleh Nyonya Aster. Ia adalah aib yang tidak bisa ditutupi oleh ayahnya. Quella menghapus air matanya ketika ia melihat ayahnya berdiri di tepi danau. Quella melangkah, dan langkahnya membawa ia pada sang ayah. "Apa yang Ayah lakukan di sini? Malam ini sangat dingin dan ayah tidak menggunakan pakaian hangat." Quella kecewa pada ayahnya tapi dia tidak bisa berhenti memperhatikan ayahnya. "Ayah." Quella memanggil ayahnya. Perdana Menteri membalik tubuhnya, ia melangkah meninggalkan Quella. "Tidak bisakah satu kali saja bersikap seperti Ayahku?" Quella berhasil menghentikan langkah Perdana Menteri. "Aku akan segera pergi dari rumah ini, Ayah. Jangan terlalu kejam padaku." Quella membalik tubuhnya, melihat ke punggung tegap sang ayah. "Aku tidak menginginkan lebih, aku hanya butuh pelukanmu malam ini." Tak ada balasan dari sang ayah, hanya diam dan melangkah pergi. Quella tak bisa lagi bersikap kuat, air matanya mengalir seperti sungai. Bahkan sekali saja ayahnya tak mau memberikannya pelukan. "Nona!" Azyla mendekat ke Quella. Ia memeluk tubuh majikannya yang bergetar. "Kita kembali ke paviliun, di sini sangat dingin." Azyla menuntun nonanya kembali paviliun. Sampai di paviliun, Azyla meninggalkan Quella sendiri. Membiarkan Quella menuntaskan kesedihan yang ia pendam bertahun-tahun. Azyla masuk setelah beberapa waktu kemudian. Dan menemukan nonanya tengah tidur lelap. "Bersabarlah, Nona. Semua yang Anda inginkan akan menjadi kenyataan." Azyla menyelimuti Quella lalu keluar dari kamar itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD