Bagian 3

5711 Words
Acara seminar berjalan seperti biasanya. Seperti yang diduga Diane dan kedua temannya, terlalu banyak undangan yang datang. Hampir memadati ruangan. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa kampus. Meski berjalan dengan lancar, kegiatan seminar itu tidak membuat Diane merasa lebih baik. Seminar itu hanya menerangkan materi perihal hidup sehat seperti yang lazim ia dengar di radio dan berbagai media sosial lainnya. Kalau bukan karena Jules dan Regan, Diane akan sangat mengaku bahwa dirinya sudah benar-benar bosan. Seharusnya ia melakukan kegiatan lain seperti menemui klien pertamanya, atau apapun yang jelas jauh lebih berguna ketimbang sekedar duduk dan memperhatikan seorang pria paruh baya berceloteh tentang pengalaman kesehatannya-seolah Diane peduli saja. Hampir tiga kali Diane pergi ke toilet hanya untuk meredakan rasa jenuh yang berlebihan. Dan yang ketiga kalinya ia bertemu padanga dengan Maximus Savage-seorang mahasiswa sekaligus mantan kekasihnya. Maximus atau yang akrab ia panggil Max masih terus berusaha mengejar Diane yang jelas-jelas sudah tidak peduli dengan hubungan mereka lagi. Max-meskipun dianggap sebagai satu pria paling tampan di kanpus sekaligus paling popular dan selalu dielu-elukan oleh mahasiswi lainnya, sama sekali bukan apa-apa di mata Diane sejak tahu bahwa Max hanya seorang pria yang suka mendua. Kalau saja Diane tidak menangkap basah Max dan Sarah-seorang mahasiswi lainnya sedang berduaan di bar, Diane tidak akan pernah tahu betapa piciknya Max. Tapi sekarang hubungan mereka sudah kandas. Meski begitu, Max tidak pernah mau menyerah untuk mendapatkan perhatian Diane kembali. Dan betapa bodohnya Diane karena hampir luluh ketika laki-laki itu mengatakan bahwa hanya Diane satu-satunya yang dicintai. Atau mungkin karena Diane satu-satunya yang bisa dimanfaatkan. Diane tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dengan member Max kesempatan kedua. Sesekali Diane dilanda oleh perasaan cemburu ketika melihat Max mengencani wanita lain. Diane belum sanggup melupakan Max, begitupula sebaliknya. Tapi Diane akan tetap bertindak tegas pada kehendaknya sendiri. Ia dengan cepat melewati pria itu kemudian masuk menuju lorong yang mengarah ke toilet. Diane menghabiskan waktu selama sepuluh menit disana hanya untuk merapikan setelah kemeja denimnya dan riasan kecil yang melingkar indah di sekitar lehernya. Kemeja berwarna biru tua yang dikenakan Diane nampak serasi dengan warna mata dan riasan kecil itu. Rambutnya terikat dengan rapi di belakang. Membentuk ikatan sampul dan menyisahkan beberapa helai ikal yang terjuntai di atas rahangnya. Riasan wajahnya tidak terlalu mencolok dan Diane memang tidak begitu suka riasan wajha yang mencolok. Setelah memastikan blus berwarna putih membungkus setelan kemejanya dengan rapi, Diane bergegas keluar dari dalam toilet. Baru beberapa langkah dari toilet ketika ponselnya berdering. Diane segera merogoh tasnya untuk mencari ponsel tersebut. Nama Sam tertera pada kontak panggilan masuk. Diane dengan segera mencari pintu keluar untuk mandapat tempat yang nyaman selagi ia menerima panggilan dari Sam. Ketika ia sudah ada di luar gedung seminar, Diane mengangkat teleponnya. Suara Sam masuk lebih dulu. Begitu keras hingga nyaris memekkan telinga. Diane menekan tombol off untuk speakernya kemudian mendekatkan ponsel ke telinga. “Diane, dimana kau?” “Wah, Sam. Kau harus belajar sopan santun lebih baik lagi. Seharusnya kau mengucapkan salam sebelum memulai percakapan.” “Aku tidak suka basa-basi. Katakan saja dimana kau?” Sambil memutar pandangannya, Diane menjawab, “Aku sudah bilang aku harus memenuhi janji pada Jules dan Regan untuk hadir di acara seminar.” “Kau seharusnya tidak kemana-mana. Orang sinting itu bisa saja mengincarmu, ingat?” “Kau tidak perlu terlalu berlebihan, Sam.” Ketika Diane teringat untuk mengambil catatan kecil yang tertinggal di mobilnya, Ia segera berjalan memasuki area parkis. Beberapa mobil berderet membentuk satu barisan samping trotoar jalan. Taman terbuka yang mengelilingi gedung ada di kedua sisi jalan. Diane berputar mengambil jalan pintas menuju halaman dimana mobilnya terparkir. Sementara ia sibuk mencari kunci mobil di dalam tasnya, Sam masih terus berceloteh tidak karuan. Diane sesekali meresponnya dengan geraman singkat. “Apa kau tidak dengar yang ku katakan?” “Aku dengar semuanya, Sam!” “Kalau begitu cepat pulang dan tetap di apartemenmu sampai aku datang.” Diane membelalak. Pergerakannya terhenti seketika. “Kau mau datang lagi?” “Oh-oh, kedengarannya kau tidak suka.” “Memang benar. Kau seharusnya tidak sibuk memikirkan masalah orang lain. Apa tidak banyak yang kau kerjakan? Kenapa repot-repot mengurusiku? Aku bukan peliharaanmu, ya!” Suara desahan menyusul. “Terserah, Diane. Aku mau kau tahu aku sudah mengirim dua orang penjaga untuk bermalam di sekitar apartemenmu.” “Apa? Kau sudah gila! Suruh mereka pergi atau kau hanya akan menakuti penduduk lokal dengan dua penjagamu itu.” “Sepertinya kau lebih suka kalau aku yang ada disana, ya?” “Sudahlah, Sam.” “Aku hanya bemaksud baik untuk mengatakannya agar kau tidak terkejut nanti. Mereka hanya akan berkeliling apartemen untuk memastikan keadaan tetap aman, jadi tidak perlu khawatir.” Diane menemukan mobilnya terparkir lima mobil jauhnya dari tempat ia berdiri. Ia segera mempercepat langkahnya sambil berusaha menogoh tasnya untuk menemukan kunci. Ketika Diane tidak beromentar apa-apa, Sam melanjutkan, “Aku juga ingin bilang kalau besok akan ada sekurangnya tiga orang penyelidik yang akan menyelidiki surat itu. Mereka akan berkerja sampai pelakunya tertangkap. Dan selama itu, aku sudah membayar satu orang penyelidik untuk memastikan keamanan ekstra. Kau akan aman sampai mereka menemukan pelakunya.” Sekarang Diane terperanjat. Pergerakannya terhenti. Ia berhenti tepat disamping mobilnya kemudian berkacak pinggang. Pikirannya kalut. Sam benar-benar membuat Diane gila. Lebih dari apapun, Sam adalah mimpi buruknya. “Kenapa kau tidak mendiskusikan ini padaku? Astaga, Sam... aku punya masalah yang tanpa harus kau tambahkan lagi sudah terlalu banyak. Pengawal pribadi adalah ide terburuk. Sudah ku bilang kalau semua itu hanya ulah para remaja, kenapa kau selalu membesar-besarkan masalahnya.” “Terlambat untuk bicara, Diane. Aku sudah menandatangani kontraknya dan mereka akan datang besok. Jadi jangan bertingkah macam-macam dan terima saja dengan lapang.” “Sialan kau, Sam.” Sebelum Diane menghanturkan sarkasme lain, Sam sudah memutuskan hubungan telepon. Diane mendesah frustasi. Beban yang berat seakan sedang ia pikul. Pertama ia harus mengatasi ketakutannya atas ancaman itu. Belum lagi ia butuh konsentrasi untuk memenagkan siding pertamanya dan sekarang kakaknya sudah membuat Diane gila karena menyewakan seorang pengawal pribadi yang jelas-jelas tidak Diane butuhkan. Sialan, Diane harus mengeksekusi Sam begitu ada kesempatan. Ia tidak akan pernah ragu untuk mencekik pria keras kepala itu. Ketika Diane berhasil menemukan kunci mobilnya, ia segera meraih pintu mobil. Namun, pintu mobil telah terbuka sebelum ia memutar kuncinya. Rasa gelisah mulai menyelimuti Diane. Bagaimana mungkin ia lupa mengunci mobilnya? Diane ingat betul ia sudah mengunci mobilnya sebelum masuk ke gedung seminar. Kalau begitu siapa yang berhasil membuka mobilnya? Seorang pencuri... Tidak, tidak ada barang berharga apapun yang ia tinggalkan di mobilnya. Lagipula untuk apa seorang pencuri mengambil sesuatu sementara ia bisa membawa mobilnya. Kemudian Diane tersentak ketika melihat secarik kertas berbentuk bujur sangkar yang tergulung rapi dengan pita merah pada selipan setirnya. Rasa takut yang berlebihan mulai menghunjam benak Diane. Bulu di tengkuknya mulai meremang. Tatapannya menyapu sekiatar dan tidak ada yang ia temukan selain kegelapan dimana-mana. Tidak ada orang yang berlalu lalang dan pemikiran akan kabar pembunuhan itu mulai terulang. Diane dengan takut segera masuk lalu membanting pintu mobilnya hingga tertutup rapat. Tangannya gemetaran ketika ia meraih gulungan kertas itu kemudian membukanya perlahan. Diane melihat tulisan hasil ketikan mesin kuno terpampang jelas disana.   Kau akan mati. Predator telah bangkit dan mangsanya akan mati. Satu... dua... berapa sisa hitungan untuk mencapai mangsa?   Diane melempar suratnya dengan cepat. Ia memperhatikan sekitar dan mendengar suara teriakkan dibelakang sana. Seseorang sedang memanggil namanya. Seorang wanita... tidak, suaranya berat dank eras seperti seorang pria. Bayangan hitam itu kian membesar, dan diliputi perasaan gelisah, Diane menstarter mobil. Mobilnya hanya mengeluarkan suara bergemuruh mesin yang sudah tua sesekali. Kemudian ia mencoba dengan lebih keras. Bayangan itu semakin dekat. Diane melihat dari kaca spion dalam mobil. Rasa khawatir, sedih sekaligus takut berkecamuk dalam otaknya. Ia bisa merasakan gelombang adrenalin mulai berpacu dalam aliran darah dan ketika Diane melakukan percobaan starter untuk kali ketika, mesin mobilnya meyala. Diane tidak pernah lebih merasa bersyukur dari mala mini karena akhirnya ia bisa menginjak pedal gas dan mengendarai mobilnya keluar dari area itu. Diane meninggalkan bayangan yang menghantuinya sepanjang perjalanan menuju apartemen dengan cepat. Tidak ada hal lain yang bisa ia pikirkan selain surat yang masih tergeletak di kursi penumpang pada mobilnya juga banyangan hitam yang berusaha mengejarnya dari belakang. Diane hampir menangis ketika memikirkan bahwa seorang pembunuh benar-benar mengincar nyawanya. Tapi ia tidak bisa memikirkan kesalahan yang diperbuat sampai seseorang berkeinginan kuat untuk mencabut nyawa Diane. Sejauh ini Diane tidak punya musuh. Bahkan ia tidak pernah merasa bermasalah dengan seseorang. Lalu bagaimana pembunuh itu mengincarnya? Sam jelas benar. Surat yang terus menerornya ini bukan ulah remaja usil hanya untuk menggangu tetangga barunya. Remaja-remaja itu tidak mungkin mengikuti Diane sampai keacara besar seperti seminar yang penjagaannya begitu ketat. Mereka hanya akan membuang-buang waktu. Fakta bahwa Sam benar membuat Diane terhenyak. Ia belum pernah merasa setakut dan sekhawatir ini sebelumnya. Dan entah mengapa sekarang Diane benar-benar menginginkan perlindungan. Ketika Diane sampai di depan apartemennya, ia dikejutkan oleh dua orang pria bertubuh besar yang tengah berkeliaran disana. Butuh waktu beberapa detik untuk menjernihkan kembali ingatannya tentang ucapan Sam di telepon. Sam benar-benar serius soal dua penjaga itu. Dan setelah merasa aman, Diane cepat-cepat memasukkan surat keduanya ke dalam tas kemudian menyeka bekas air mata di wajah agar tetap terlihat tenang. Ketika Diane melenggang keluar dari mobil, ia bisa merasakan tatapan mengawas dua penjaga yang berdiri tak jauh disana. Sial, bahkan dua penjaga itu mengenali Diane. Jadi, Diane mencoba bersikap wajar. Ia mengangguk pelan pada mereka sebelum beranjak masuk menuju ruangannya. Ruangan Diane ada di lantai tiga dari sepuluh lantai yang tersedia. Diane ruga-ragu ketika ia membuka pintu suitenya, namun Diane mengumpulkan keberanian untuk menerobos masuk dan cepat-cepat mengunci pintu kamar. Di dalam ia tidak berhenti menghawatirkan terror-teror sialan itu. Tiba-tiba, Diane ingat akan Jules dan Regan. Ia menepuk dahinya sendiri. Bagaimana ia bisa melupakan dua wanita yang menumpang di mobilnya itu? Jules pasti akan sangat marah sekali. Untuk memastikannya, Diane mencoba menghubungi wanita itu. Ia menjelaskan pada Jules begitu telepon tersambung dan kekecewaan Jules mereda setelah Diane menceritakan soal surat kedua. Temannya bahkan ingin menemui Diane secepat mungkin untuk mendapat cerita yang lebih detail. Akhirnya Diane berjanji untuk bertemu di kedai kopi besok siang.  ... Sang Murderer tersenyum puas dari balik semak. Diane Hampton telah memakan umpannya. Hanya butuh usaha untuk memuluskan rencananya. Ia melihat mobil Diane melintas dengan sangat cepat di jalan. Dan petugas kebersihan dari dalam gedung itu masih saja berusaha memanggil Diane dari kejauhan sambil melambai-lambaikan sebuah map biru kecil yang sepertinya ditinggalkan Diane. Tapi ia sudah puas sekarang. Sang Murderer berbalik. Ia menuntun langkahnya lebih jauh memasuki kabut gelap di belakang gedung. Pikapnya sudah menunggu di seberang jalan. Ia memasang tudung jaketnya ketika menoleh ke sekitar jalan untuk memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang berlalu lalang. Kemudian ia masuk ke dalam pikap dan menjalankan mobil yang hampir bobrok itu. Sang Murderer melajukan mobilnya membelah kegelapan dengan kecepatan tinggi. Ia memutar haluan untuk mencari jalan sepi. Ketika ia sampai beberapa meter jauhnya dari apartemen Diane, Sang Murderer melihat dua orang pria besar sedang berkeliling disekitar sana. Tangannya memukul kemudi dengan begitu keras hingga ia merasakan luka yang mulai membiru pada sela-sela jarinya mulai berdenyut-denyut. Sang Murderer terdiam memperhatikan luka ditangan kecilnya dengan lebih baik. Sudah terlalu banyak luka yang ia terima, dan luka membiru akibat teriram air panas ini bukanlah hal besar. Ia menggeram sesekali. Mengepalkan tangannya Sang Murderer sudah punya rencana lain. Kalau saja ia terluka, maka Diane juga harus merasakan hal yang sama. Diane Hampton harus merasakan penderitaannya sebelum hari dimana ajal menjemput itu akan tiba. Kemudian Sang Murderer tersenyum lebar. Luka yang melintang di sekitar pelipisnya tertekan karena seringaian itu. Lihat, bahkan senyumpun terasa begitu sakit. Menarik sekali. Ia akan membuat kesakitan Diane berlipat-lipat ganda dari yang dirasakannya kini. Merasa puas, Sang Murderer segera menginjak pedal gas, kemudian memutar haluan pikapnya kembali ke tengah kabut malam yang gelap.    ... Diane bangun pagi-pagi sekali. Lebih pagi dari yang biasanya. Lagi pula orang waras mana yang tidak akan khawatir ketika pembunuh brantai di luar sana sedang mengincar nyawanya... Dua penjaga yang dikirimkan oleh Sam tidak membuat Diane merasa lebih baik. Ia tidak tenang ketika menghubungi Dokter Meilyn untuk sekedar membuat perjanjian. Tapi Diane tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai pikirannya. Ia harus berpikir dengan lebih baik. Dan Diane telah membuat kesepakatan dengan dirinya sendiri sejak semalam bahwa ia tidak akan tergiur oleh kemauan Sam untuk membuatnya kembali ke rumah. Tidak karena masalah apapun. Dan pengawal itu, demi apapun Diane akan berusaha menyingkirkannya. Pengawal hanya akan menghalangi Diane dan privasinya bisa saja terbongkar. Maka, Diane akan memerangi Sam juga apapun yang berusaha membuat benteng penghalau bagi Diane. Jarum jam telah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan sejauh ini tidak ada yang dapat dilakukan. Diane hanya berusaha meredakan kekhawatirannya dengan mengitari ruangan sambil menjernihkan pikiran. Tapi persetan, tidak mudah mengabaikan ancaman yang sudah jelas dengan begitu saja. lingkaran hitam di sekitar matanya mulai terlihat karena Diane kekurangan tidur semalam. Sial, ia tidak bisa selamanya seperti ini. Mungkin Diane harus menghubungi Jules dan Regan untuk menemaninya di apartemen. Tapi siapa orang waras yang mau tinggal di tempat kecil bersamanya selama berhari-hari. Jules jelas akan menolak. Tapi Regan mungkin tidak. Ah, jika dipikirkan kembali tidnakan itu hanya akan membuat asumsi Sam semakin kuat. Sementara Diane tidak boleh mengunjukkan kekhawatiran apapun saat ada di hadapan Sam. Diane harus terlihat lebih kuat sehingga Sam tidak akan pernah meremehkan kemampuan Diane lagi. Tiba-tiba ketukan di pintu mengalihkan perhatian Diane. Ia ceat-cepat menerjang pintu kemudian merunduk untuk mengintip seorang pria di balik lubang kecil. Pria dengan tubuh tegap dan tinggi hampir sama seperti Sam. Hanya Diane tahu pria ini bukan Sam. Sam tidak biasa menggunakan setelan jaket kulit berwarna hitam dan jins usang. Jika dilihat dari punggung tangannya, pria ini memiliki kulit kecokelatan dan astaga... bagaimana Diane bisa memandang pinggul ramping yang kuat. Otot kekar di balik jaketnya mudah untuk diperkirakan. Siapa pria ini? Apa mungkin pria ini pembunuh yang sedang menerornya? Tapi untuk apa seorang pembunuh mau repot-repot mengetuk pintu sementara ia bisa langsung masuk dan menikam Diane jika mau. Ketukan selanjutnya membuat Diane berdiri tegap kemudian dengan ragu-ragu ia membuka pintu. Diane melirik dari balik pintu dan mendapati pria.. pria... pria yang sama seperti yang ia temui di bengkel dua hari lalu. Kekhawatiran Diane sirna. Ketika pria itu mengulas seringaian lebar, Diane melayangkan pandangan skeptis. Benaknya mencoba mengingat-ingat apa ia lupa membayar tagihan perbaikan mobilnya, atau ada mesin yang belum diperbaiki. “Selamat pagi, Nona!” Diane cepat-cepat meghindari tatapannya. Ia masih tidak berani melihat ke luar. Takut-takut jika seorang pembunuh itu sedang bersembunyi di balik montir tampan ini, atau mungkin sedang ada di balik dindingnya. “Lupakan! Mobilku sedang tidak mengalami kerusakan.” Ketika Diane mencoba membanting pintu di depannya, seseorang menahan sisi pintu tersebut. Ia menoleh kembali dan mendapati Sam berdiri disana. “Whoa, Diane. Bersikaplah yang manis!” Sam berpaling pada Raveen. Ia tersenyum lebar sebelum merangkul sahabatnya dengan puas. Satu tangan Sam menepuk bahu Raveen. “Hei, bagaimana kabarmu, sobat?” “Masih sama seperti dulu.” “Petugas keamanan?” ketika Sam menggoda Raveen dengan humor aneh mereka, Raveen tertawa dengan sangat keras. Membut Diane terpaku di ambang pintu dengan berjuta pertanyaan yang ia tahu akan terdengar bodoh. “Sam!” bisik Diane. Wanita itu bicara seolah tidak sadar bahwa Raveen mendengar semua perkataannya. “Sam, kau mengenal montir ini? Kenapa kau tidak suruh dia pergi? Dia mungkin ingin meminta tagihanku.” “Montir?” Sam mengalihkan tatapannya pada Diane dan Raveen secera bergiliran. “Ada apa ini?” Ketika Raveen tertawa, ia jadi pusat perhatian. “Ada sedikit kesalahpahaman. Nampaknya adikmu masih tidak mengenaliku, Sam.” Sam ikut tertawa. Dua pria itu membuat Diane jengkel. Ia bergeser memberi ruang ketika Sam membimbing Raveen untuk masuk. Diane menyusul mereka dengan segera. Ia kemudian bersedekap menanti penjelasan Sam. “Diane, biar ku kenalkan padamu dia Raveen temanku. Dia seorang penyelidik yang sudah ku katakan padamu sebelumnya akan menjadi pengawal pribadimu.” Sontak Diane terkejut. Jadi pria yang selama ini dilihatnya adalah Raveen-sahabat kecil kakaknya sendiri? Pantas jika wajah Raveen terasa begitu familier. Dan astaga, Raveen pria dengan perawakan aneh dan sisi mistirius yang dikenal Diane sejak dulu kini telah menjelma menjadi pria tampan berotot yang... seksi. Atau mungkin benar-benar luar biasa. Ya ampun, Diane seharusnya tidak memikirkan itu. Tapi Raveen benar-benar membuatnya terkejut. Dan Diane sepertinya salah dugaan karena telah mengira bahwa Raveen hanya seorang pekerja bengkel. Tapi ia tidak salahkan? Semua orang yang melihat Raveen dalam keadaan kacau seperti saat itu pasti langsung menduga hal yang sama. Dan sekarang, Raveen akan menjadi pengawalnya. Pengawal pribadi. Tidak, Diane harus tetap teguh pada pendiriannya. Setampan apapun pengawal yang dikirimkan Sam untuknya, Diane akan tetap menjalankan rencana yang ia pikirkan semalam. Buat pengawal itu pergi darimu sejauh mungkin dan jangan biarkan dia mengusik ketenanganmu. Ketika Raveen melayangkan senyuman lebar dan memperlihatkan ketajaman mata emasnya, Diane hampir meleleh. Seperti salju di atas tungku api. Diane benar-benar terkesima dengan cara Raveen mempampangkan aura maskulinnya. “Diane, apa kau ingat Raveen?” pertanyaan Sam memecah tatapan Diane yang sebelumnya terkunci pada Raveen. Ia dengan enggan menjawab, “Tentu saja aku ingat. Aku tidak pernah lupa soal empat teman-teman anehmu itu, Sam.” Sam terkekeh. “Itu bagus, karena sepertinya Lyon masih mengharapkanmu sampai sekarang. Aku dengar dia sudah jadi pilot, ya?” Raveen mengangkat bahunya dengan acuh. “Sertinya begitu. Dia sudah masuk sekolah penerbangan sejak lima tahun yang lalu.” “Dan bagaimana denganmu? Aku tidak pernah mendengar kabar apapun sampai aku tahu bahwa kau menjadi seorang penyelidik swasta.” “Yah, perjalanan singat yang menyenangkan. Aku menghabiskan waktu tiga tahun menjadi pengajar sebelum aku keluar dan memutuskan untuk ikut pelatihan kemiliteran. Dan disinilah aku sekarang. Menjadi penyelidik mungkin memang takdirku.” “Tentu saja. Cooper mengatakan padaku kalau kau penyelidik terbaik yang dia miliki.” Raveen mengangkat kedua alisnya. “Cooper memang suka melebih-lebihkan.” “Baiklah, tunggu sampai aku melihat kinerjamu menjaga wanita keras kepala ini, ya.” Tantang Sam. Ia kemudian berpaling pada Diane yang sedari tadi berdiri dengan tidak acuh di seberang ruangan. “Ada apa denganmu? Kau kelihatan kacau sekali? Kau kurang tidur, ya?” Diane cepat-cepat menyanggah pertanyaan itu dengan gelengan singkat. “Aku baik-baik saja. Percayalah. Tidak ada apapun.” Ketika Diane mengalihkan tatapannya pada Raveen, ia menangkap rasa curiga disana. Tentu saja, Raveen juga telah mengalami perubahan besar mulai dari pria yang membosankan menjadi pria yang benar-benar menjengkelkan dengan tatapan mengintimidasi yang dibenci Diane itu. “Bisa aku tinggal kalian sebentar? Aku ada rapat penting siang ini.” begitu Sam menerima anggukan Raveen, ia berpaling pada adiknya. “Diane kalau ada sesuatu kau tahu harus bicara dengan siapa. Raveen salah satu bagian dari penyelidik kasus pembunuhan ini dan kau bisa mengatakan apapun yang kau tahu padanya.” Diane tiba-tiba dilanda perasaan mual ketika ia mengingat surat kedua yang dikirim oleh orang sinting itu. Ia menelan liurnya dengan susah payah. Berharap ia bisa mengabaikannya dengan cepat. Tapi sekarang Raveen bertanggung jawab atas keselamatan Diane. Dan Diane tidak boleh menutup-nutupi informasi itu lagi. Sam menghilang dengan cepat dibalik pintu. Meninggalkan Diane, Raveen dan tatapan mengintimidasi sialan itu. Ketika Diane tidak bicara apapun, Raveen tersenyum kecut. Ia mengitari ruangan dan melihat tiap detail benda-benda yang memenuhi ruangan tersebut. Tatapannya terpaku pada photo berukuran kecil dalam bingkai yang memampangkan gambar Diane, Sam dan Emiline lima belas tahun silam. Tepatnya pada acara pesta besar yang digelar oleh sang hakim. Raveen tersenyum kecil memperhatikan bagaimana perubahan yang sudah ia lewati selama lima belas tahun. Seperti dugaannya, Diane tumbuh menjadi wanita yang menarik dan benar-benar cantik. Setiap pria yang waras tidak mungkin tidak meneteskan liur saat melihatnya. Dan sekarang pikiran Raveen berkecamuk  Bagaimana mungkin ia bisa terpikat pada adik sahabatnya sendiri? Sungguh memalukan. Raveen berbalik ketika Diane berdeham lalu bicara, "Ummm... Detektif Alex," "Panggil saja Raveen." sela Raveen segera sebelum Diane menuntaskan kalimatnya. "Tidak," sanggah Diane. Tatapannya terasa sengit dan arogan. Raveen seharusnya mempertimbangkan pekerjaan ini ketika Sam menyebut makhluk cantik di depannya benar-benar keras kepala. Namun Raveen tidak memiliki kekuatan besar untuk meninggalkan tugas ini. "Panggilan itu terlalu akrab. Aku yakin sekali kau punya banyak tugas yang harus diselesaikan." Raveen ragu sebentar kemudian ia mengangguk setuju. "Kenapa tidak kau selesaikan saja tugasmu dan tinggalkan aku disini. Aku benar-benar tidak keberatan, maksudku aku akan memakluminya. Lagipula aku punya banyak sekali urusan yang harus aku selesaikan, dan aku sangat menghargainya kalau kau memberi aku kebebasan untuk lebih leluasa menyelesaikan pekerjaan itu." Senyum yang diulas Raveen membuat Diane merona. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya agar Raveen tidak melihat betapa merah wajahnya karena senyum maut itu. Oh, sial. Sekarang semuanya jadi semakin sulit saja. "Maaf, tapi aku belum mengatakan padamu, ya? Satu-satunya pekerjaan yang harus aku selesaikan adalah memastikan keamananmu. Aku menyesal sekali tidak bisa meninggalkanmu sendirian, tapi aku harap kau maklum. Disini aku hanya bertugas. Kau, lakukanlah apa yang mau kau lakukan dan aku akan menjalankan tugasku." Oh sial. Ternyata semua tak semudah kelihatannya. Menyingkirkan detektif ini jauh lebih sulit dari yang Diane pikirkan. Diane tidak biasa diawasi. Apalagi oleh seorang pria yang terus berusaha mengusik pikirannya. Sekarang ia benar-benar membenci Sam. "Tapi aku punya banyak sekali pekerjaan. Aku yakin akan menghabiskan waktu semalaman untuk itu semua. Kenapa kau harus membuang-buang waktumu? Lagipula aku bisa menjaga diriku sendiri." ketika Raveen melayangkan tatapan prihatin dan tidak mengatakan sepatah katapun, Diane semakin jengkel. "Kau bisa pulang atau melakukan hal lain yang lebih berguna ketimbang harus mengawasiku. Kau tahu aku tidak seperti anjing peliharaan yang harus diawasi, maksudku,,, ya, aku tidak seperti itu. Jadi lupakan soal Sam, keamanan itu dan silahkan menyelsaikan urusanmu yang lain. Aku benar-benar tidak keberatan." Pria itu bergeming selama beberapa detik. Raveen memasukkan dua tangannya ke dalam saku jaket kemudian berjalan mendekati lukisan dinding yang terpampang di pojok ruangan. Ia mengamati lukisan itu lamat-lamat, jelas tidak mengacuhkan Diane. Sesekali Raveen berbalik untuk memperhatikan Diane. "Uh, maaf Miss Hampton. Apa seperti ini caramu memperlakukan seorang tamu?" "Kau bukan tamu. Kau pengawal pribadi." tegas Diane dengan ketus. "Oh ya, benar. Kau bahkan berniat untuk mengusir pengawal pribadimu sendiri?" "Aku tidak mengatakan itu," "Secara langsung." sela Raveen. "Kau mengatakannya dengan lebih lembut. Aku suka sekali pendekatan ironi itu. Omong-omong kenapa kau tidak menceritakan padaku bagaimana kau bisa mendapat surat itu?" "Surat yang mana maksudmu?" Diane mengerutkan dahi dengan heran ketika Raveen memutar pandangan menyelidik itu. Saat pria itu tidak bicara, Diane dilanda perasaan mual. "Jadi ada yang lain?" Astaga, apa yang baru saja Diane katakan? Oh ya, tentu saja. Raveen begitu detail dengan setiap kalimat. Bahkan pria itu bisa menebaknya dengan tepat. Tidak ada gunanya berbohong. Diane hanya akan menghalangi penyelidikan. Jadi satu tangannya bersedekap satu yang lain menggerayangi tengkuknya dengan perasaan kikuk. Diane bahkan tidak menyadari bahwa pergerakannya yang sensual hampir membuat Raveen meneteskan liur. Beruntung ketika itu mereka tidak saling bertemu pandang. "Umm, ya. Hanya surat bodoh. Seperti sebelumnya. Kau tahu? Orang sinting itu berusaha membuntuti dan menakut-nakutiku lagi. Dia meletakkan suratnya di mobilku. Dan aku benar-benar terkejut. Tidak, sebenarnya aku tidak begitu takut. Tapi, yah.. Itu hanya ulah orang bodoh saja. Lupakan saja, itu tidak penting." Raveen tidak bisa menahan keinginan kuat unjuk maju mendekat. Ia berhenti tepat di hadapan Diane. Sekarang wajah mereka hanya berjarak beberapa senti jauhnya. Raveen memandangi mata biru itu lekat-lekat dan melihat ada ketakutan yang disembunyikan disana. "Kau tahu," mulai Raveen. "Aku mengenal klien-klienku sebelumnya dengan sangat baik. Beberapa diantara mereka bersikap acuh sama sepertimu. Mereka mengabaikan ancaman yang sudah nyata di hadapannya dan memilih untuk membungkam pada pihak penyelidik. Dan apa kau tahu apa yang terjadi karena ulah mereka? Sebagian dari mereka tewas jauh sebelum penyelidikan berakhir. Tentunya kau tidak berniat untuk mengakhiri ini dengan cara yang sama, kan?" Pandangan Raveen begitu dekat. Begitu akrab dan anehnya membuat Diane tidak lagi merasakan perasaan khawatir yang akhir-akhir ini membuatnya kacau. Ia memperhatikan bibir Raveen yang bergerak dengan cara seindah mungkin hingga membuat Diane terpana. Lalu mata emasnya yang berkilau tajam dan rambut ikal berwarna coklat gelap yang Diane pikir lebih lembut dari kain sutera. Astaga, ia belum pernah melihat yang seperti ini. Keyakinan dan tekad yang besar jelas terpancar dari mata Raveen. Diane ingin menyentuh kulit kecoklatan yang kasar itu. Dan rahang yang keras, cambang yang baru tumbuh. Raveen pasti belum sempat bercukur, tapi bagaimana ia bisa tetap terlihat tampan? "Apa kau mendengarku, Diane?" Ketika Raveen meyentuh bahunya, Diane tersadar. "Uh, ya." "Jadi apa yang baru saja ku katakan?" "Umm ya, tentu saja. Klienmu mati setelah penyelidikan selesai." Wajah Diane semakin merona ketika Raveen tertawa bebas. Pria itu mencengram lengannya yang entah bagaimana tidak membuat Diane kesakitan. "Lupakan saja! Boleh aku lihat surat-surat itu?" "Aku sudah membuangnya." Diane berbohong. Ketika Raveen mengernyitkan dahinya, ia menghela napas pasrah. "Aku bohong. Ada di tasku." Raveen menghempaskan tubuhnya di sofa sementara Diane beranjak ke ruang tidur untuk menggeledah seisi tasnya. Setelah memastikan Diane jauh dari jangkauan pendengaran Raveen, ia cepat-cepat meraih ponselnya kemudian menghubungi Jules. Panggilan tersambung pada dering kedua. “Ini Diane,” ia menjaga suaranya lebih rendah dari bisikan. “Bisa kau datang kesini? Aku pikir aku tidak akan bisa bebas dari pria aneh ini. Dia tidak akan membiarkanku pergi sendirian… tentu saja. Pria yang sama seperti yang kita temui di bengkel kota... nanti akan kuceritakan, cepat kemari, aku akan menunggumu.” Panggilan telepon itu hanya terhubung selama kurang dari dua menit dan Diane segera merogoh gulungan surat dalam tasnya kemudian kembali ke ruang depan. Raveen masih duduk menunggunya di sofa. Berdiri di samping pria itu, Diane menyerahkan gulungan kertas pada Raveen yang dengan segera meraihnya. Selama beberapa detik tejadi kekosongan. Raveen yang kali ini memecah ketegangan. “Bisa kau ceritakan detail bagaimana surat ini bisa sampai di tanganmu?” Aneh sekali melihat Raveen tidak beraksi sedikitpun dengan surat ancaman itu. Saat Diane menerimanya, jantungnya hampir terasa berhenti memompa. Sedangkan Raveen, mengernyitkan dahi sedikitpun tidak. Menepis pemikiran itu, Diane mengambil posisi duduk di sofa yang berhadapan dengan Raveen kemudian mulai menjelaskan detailnya secara rinci. Ia memulai penjelasan itu ketika tiba di acara seminar. Kemudian Diane juga mengatakan sosok bayangan besar seorang pria yang berusaha mengerjarnya. Raveen memberikan perhatian penuh ketika Diane menjelaskan dengan detail. Ia tidak menyela sampai Diane menyelesaikan penjelasan tersebut. “Apa kau melihat seseorang di dekat parkiran selain pria yang mngejarmu itu?” “Aku tidak lihat siapapun.” “Kau bilang kau keluar untuk menerima panggilan telepon, apa kau melihat ada orang yang berkeliaran disekitar area parkir?” “Tidak.” Jawab Diane dengan yakin. “Tidak ada siapapun.” “Berapa lama kau meninggalkan mobilmu untuk acara seminar itu?” “Kurang lebih tiga jam.” Raveen menggosok pelipisnya sambil berpikir. Ia menatap Diane satu menit kemudian. “Apa kau bisa mengatakan padaku siapa orang yang bermasalah denganmu akhir-akhir ini?” Diane memutar pandangannya mencoba memilin kembali ingatan akan orang-orang disekitar, namun sejauh ini ia tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan Raveen. “Aku tidak ingat aku bermasalah dengan seseorang.” Pada detik berikutnya suara ketukan pintu yang keras telah mengalihkan perhatian mereka. Raveen hendak beranjak menuju ambang pintu ketika Diane menahan pergelangan tangannya sambil mengatakan, “Biar aku saja. Mereka pasti teman-temanku.” “Jadi kau baru saja menghubungi teman-temanmu?” Wajah Diane merona karena malu. Jadi Raveen mendengar percakapannya? Astaga, apa pria itu mendengar bagian dimana Diane menyebutnya sebagai ‘pria aneh’? Semoga saja tidak. Diam-diam Diane berharap. “Biar aku saja.” Tegas Diane sebelum kakinya melangkah mendahului Raveen. Ketika tangannya memutar engsel pintu dan kepalanya mengintip dari dalam, Diane mendapati tiga orang pria berpenampilan sama seperti Raveen. Wajahnya memerah. Diane bertanya-tanya apa ia kelihatan seperti wanita dungu? Tapi tiga pria lain ini membuatnya terkejut. Jadi siapa lagi mereka? Teman-teman aneh Sam? Oh sial. Ketika Diane membatu di ambang pintu, Raveen melangkah hingga berdiri di samping Diane dan menjawab semua pertanyaan yang berkelebat dalam pikiran wanita itu. Pria itu mendorong pintunya hingga terbuka lebar sebelum memperkenalkan tiga rekannya pada Diane. “Ah, kalian datang. Diane, mereka rekan penyelidikku yang juga menyelidiki kasus ini. Dia Ian,” Raveen menunjuk pria yang berdiri paling pinggir. Dengan cermat Diane memperhatikan rambut gelap pria itu, tingginya yang mencapai seratus sembilan puluh-lebih tinggi beberapa senti dari Raveen dan mata abu-abunya. Ian terlihat seperti pria dengan umur awal empat puluhan. Kerutan di wajah Ian mulai terlihat dengan lebih jelas. Diane bisa menebak Ian pasti pria yang tampan di usia mudanya. Meski sudah sedikit tua, tubuhnya tetap tegap dan garis-garis di wajahnya begitu tegas. Hampir mendekati pria angkuh yang sering dijumpai Diane. Ketika Ian mengangguk, Diane membalasnya dengan senyum kecil. “Yang di depanmu Ferdie dan dia Trent.” Raveen melanjutkan. Secara bergilir Diane menatap Ferdie, pria dengan tinggi kurang dari seratus depalan puluh ini nampak lebih muda dari rekan yang lainnya. Ferdie memiliki kulit putih dan rambut pirang keemasan yang mengingatkannya pada Sam. Hanya saja, Ferdie terlihat lebih pendek dan tentunya lebih muda dari Sam. Ketika Ferdie tersenyum lebar, matanya birunya mengerucut. Ferdie memiliki pembawaan yang lebih ramah dari ketiga rekan Raveen yang lain. Diane langsung menyukai karakternya ketika pertama melihat pria itu. Kemudian Diane melihat Trent. Pria setinggi Raveen dengan perut membuncit, rambut gelap kontras dengan kulit putihnya juga uban yang sedikit terlihat. Trent berperawakan sinis. Tatapannya menindikasikan bahwa pria ini tidak begitu suka dengan basa-basi. Diane bisa langsung menilai bahwa Trent adalah tipikal penyelidik yang serius. Kerutan di wajahnya hampir tidak terasa wajar jika memang pria ini baru berusia empat puluhan. Tapi sikap arogannya sudah membuat semua terasa wajar. Trent terlihat lebih tua dari yang seharusnya. Atau memang karena pria ini adalah yang paling tua dari mereka. “Selamat siang, Miss Hampton!” sapa Trent. Diane ragu-ragu ketika Trent menggulurkan tangan untuk menjabatnya, namun kemudian ia menjabat tangan Trent dengan cepat. Sesekali Diane menoleh hingga bertemu pandang dengan Raveen. Ketika Diane melayangkan pelototan sengit, Raveen hampir tidak bisa menahan seringaian lebar. Sudah tidak diragukan lagi. Diane pasti membenci semua ini. Satu penyelidik yang ada di suitenya saja sudah membuat ia bertingkah tak karuan. Sekarang tidak tanggung-tanggung Diane harus menghadapi tiga penyelidik lain yang sama mengintimidasinya seperti Raveen. Sial. “Aku pikir Miss Hampton punya sesuatu untuk dibicarakan.” Kata Raveen. “Kau keberatan kalau kami masuk?” Diane merengut kesal, namun ia mengangguk. Ketika tiga penyelidik lain masuk, Diane menggeser tubuhnya untuk member jalan bagi mereka. Astaga Jules, aku mohon selamatkan aku. Dimana kau? Kalau ia harus mengulang ceritanya lagi tentang surat sialan itu, Diane sudah bersumpah akan mencerca Raveen setelah ini. Dan benar saja. Tiga detektif itu memintanya untuk mengulangi detail bagaimana Diane bisa mendapat surat pertama juga surat kedua. Trent yang paling banyak mengajukan pertanyaan yang menurut Diane tidak terlalu penting. Tapi ia tidak tahu banyak tentang tugas seorang penyelidik, jadi jelas kalau Diane jengkel. Ia tidak biasa diintimidasi oleh empat pria sekaligus. Ketika tiga penyelidik lain mengajukan pertanyaannya masing-masing, Diane memperhatikan Raveen hanya diam memperhatikannya. Tatapan Raveen mengusik pikirannya. Diane berusaha keras untuk mengabaikan Raveen dengan memfokuskan diri pada tiga penyelidik lain, tapi sesekali ia tidak bisa menahan diri untuk melihat Raveen. Akhirnya situasi yang rumit itu berhasil ia lewati. Ajang tanya-jawab sudah berakhir ketika tiga penyelidik itu pamit untuk melakukan tugas awal mereka dan meninggalkan Diane bersama Raveen. Lagi. Begitu pintu suite tertutup rapat, Diane segera meninggalkan Raveen untuk menghubungi Jules. Ia kembali lima menit berikutnya. “Apa kau keberatan, detektif? Aku harus pergi menemui seseorang.” “Kalau begitu silahkan. Dimana kunci mobilmu? Aku akan menunggu di lantai dasar.” “Apa?! Kau tidak boleh ikut bersamaku!” Diane maju beberapa langkah ke depan untuk menghadapi Raveen. “Apa kau lupa bagian dimana Sam menyebut aku sebagai pengawal pribadimu? Biar aku ingatkan, mulai detik ini kau tidak boleh lepas dari pengawasanku sampai jam tugasku berakhir.” “Itu tidak adil!” “Itu cukup adil.” Meski kelihatan kesal, anehnya suara Raveen terdengar tetap tenang. “Boleh aku minta kunci mobilnya?” Diane mengeluarkan sebuah suara yang hampir mirip sebagai geraman. Raveen hampir tertawa ketika mendengar wanita itu menggerutu sendirian ke balik kamar sebelum keluar dengan sebuah kunci mobil. Diane mnyerahkan kunci mobilnya pada Raveen kemudian beranjak kembali ke dalam sambil membanting pintu dengan keras. Raveen terkekeh. Ia masih mendengar wanita itu menggeram. Setelah merasa puas, Raveen beranjak ke luar suite. Ia menggunakan lift untuk sampai di lantai dasar. Kemudian Raveen melihat ada sekurangnya empat mobil yang terparkir di depan apartemen. Ia menekan tombol buka pada alat otomatis yang tergantung bersama dengan kuci mobil. Kemudian suara pintu yang berdecit disusul oleh klakson dari dalam. Ia membuka pintu mobilnya lalu duduk di kursi kemudi. Membanting pintu mobil hingga tertutup rapat, Raveen menunggu kehadiran Diane. Hampir tiga puluh menit Raveen menunggu di dalam mobil dan Diane masih saja ingin mempermainkannya. Raveen harus mengajui usaha wanita itu untuk menyingkirkannya begitu gigih. Tapi Raveen tidak akan membiarkan Diane menyingkirkannya. Raveen hampir saja ingin turun dan menyusul Diane di dalam suitenya, beruntung Raveen dapat mengendalikan diri dengan lebih baik. Wanita itu muncul sepuluh menit berikutnya dengan kemeja denim berwarna biru gelap, jins hitam dibalut oleh blus putih dengan hiasan yang terbuat dari benang wol di sepanjang kerahnya. Rambut gelap sepanjang punggung itu dibiarkan tergerai membentuk bingkai indah yang menyelubungi wajah anggun Diane. Riasannya sangat sederhana. Wanita itu tidak seperti orang-orang kaya yang sewajarnya. Diane lebih terlihat natural dan sederhana. Tas bertali satu yang tergantung mengait di bahunya membentuk pola diagonal yang menyilangkan antara bahu kanan dengan pinggul kiri. Diane mengenakan sepatu biasa yang tidak terlalu mencolok. Jins yang dikenakannya bahkan terlihat cukup usang. Wanita itu berjalan dengan molek hingga menyita perhatian Raveen. Ketika Diane bergabung di kursi penumpang, Raveen segera mengalihkan fantasi erotisnya tentang Diane. “Jadi kemana kita akan pergi?” “Jangan pikir ini akan berlangsung lama, detektif!” Diane mngalihkan tatapan sengit. Ia mencondongkan tubuhnya dan mengacungkan satu jarinya di depan wajah Raveen. “Kau harus melakukan tiga hal yang aku minta.” Diane membuka ketiga jarinya. Ia menekuk satu jari lalu bicara, “Pertama, kau tidak boleh mencapuri urusanku ketika aku sedang ada bersama teman-temanku.” Jari kedua menyusul jari yang pertama. “Kedua, tidak ada panggilan akrab apapun di hadapan orang lain. Kau adalah pengawalku dan panggil aku Miss Hampton! Ketiga, jangan banyak berkomentar ketika aku tidak memintamu untuk melakukannya. Apa kau mengerti?” “Wah, wah, apa ini? Gertakkan atau ancaman?” Raveen mengulas senyum lebarnya yang membuat Diane meleleh. “Keduanya!” jawab Diane, ketus. “Lakukan saja atau kau ku pecat.” Sambil tertawa, Raveen mengangguk singkat. “Baiklah, Ma’am. Apapun yang kau mau.” - BAGIAN 3
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD