Selamat membaca!
Dian tampak gugup bukan main, bibirnya bergetar hebat saat hendak menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu.
"Aku tanya, kenapa kalian datang ke sini berdua!?" tanya Dania yang mulai tersulut emosi.
Dania melangkah maju hingga tubuhnya sangat rapat dengan Dian. Membuat wanita itu perlahan beringsut mundur karena takut. Dian benar-benar tak menyangka akan bertemu dengan Dania di bar itu.
"Jawab aku, Di! Kamu punya mulut, 'kan? Kenapa kamu bisa datang sama Vano dan sejak kapan kalian saling kenal?" tanya Dania meninggikan intonasi suaranya hingga membuat beberapa orang yang berada di sekitarnya langsung menatap ke arah mereka dengan penasaran.
Mengetahui itu, Dian pun coba meredakan amarah Dania yang saat ini semakin memuncak. "Dania, aku bisa jelasin semuanya ke kamu, tapi kita bicara di luar aja, ya!" pinta Dian dengan suara bergetar. Ia tidak mau pertengkarannya akan menjadi tontonan orang banyak yang pasti bisa membuatnya malu. Namun, keramahan Dian tak direspon dengan baik. Dengan kasar, Dania menampik tangan sahabatnya itu.
"Nggak! Aku ingin kamu jelasin sekarang juga! Jawab aku, Di! Untuk apa kalian datang ke bar ini?" tanya Dania sekali lagi dengan amarah yang semakin memuncak.
Tak mendapat tanggapan dari Dian, Dania pun mencengkram kedua lengan sahabatnya dengan erat. Ia mengguncang tubuh wanita itu yang hanya diam seolah tak berniat menjawab pertanyaannya.
"Apa kamu nggak punya mulut, Di?" tanya Dania begitu geram dengan sikap Dian yang masih saja membisu.
Setelah beberapa detik menunggu, Dian masih saja diam hingga membuat Dania semakin murka. Ia kemudian melepas cengkramannya dari lengan Dian, lalu mendorong tubuh Vano dengan sisa tenaga yang dimiliki sekuat-kuatnya. "Jawab aku, sialan! Ada hubungan apa kamu sama Dian?"
Vano yang tak punya pilihan lain, akhirnya membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Dania.
"Dian pacarku, Dan!" Jawaban itu sangat singkat. Namun, terasa begitu menyakitkan hingga meluluhlantakkan semua cinta yang dimiliki Dania untuk Vano.
Dania masih menatap wajah Vano dengan sorot mata yang tajam. Wanita itu tanpa ragu mengangkat tangannya ke udara, lalu mengayunkannya hingga sebuah tamparan keras mendarat sempurna di pipi kiri Vano.
"b******k kamu, Van! Kenapa kamu harus pacaran sama dia? Kenapa harus sahabatku? Oh aku tahu, jadi ini alasan kamu mutusin aku. Kamu jadikan restu dari orang tuamu sebagai alasan! Dasar penipu!"
"Aku udah nggak ada cinta sama kamu, Dan. Tolong dong kamu ngerti itu! Aku cinta sama Dian, aku sayang sama dia dan aku lebih pilih dia yang lebih segala-galanya dari kamu."
Dania naik pitam. Perkataan Vano yang membandingkan dirinya sungguh menggoreskan luka yang begitu dalam di hatinya. Namun, saat ia hendak kembali menampar wajah Vano, kali ini pria itu berhasil menahan tangan Dania dengan kuat.
"Ini yang aku nggak suka dari kamu, Dan. Kamu itu kasar dan sangat beda sama Dian. Dian itu wanita yang penyabar dan lembut, nggak seperti kamu yang liar!" jawab Vano masih mencengkram tangan Dania.
Dania menajamkan sorot matanya, menatap wajah Vano dengan penuh dendam.
"b******k! Aku begini karena kamu selalu bersikap kasar sama aku. Kenapa kamu hanya melihat kekuranganku aja?"
"Aku nggak pernah minta kamu buat ngikutin sikap kasar aku! Sudahlah Dan, hubungan kita sudah selesai, kamu adalah masa laluku dan Dian adalah masa depanku!" jawab Vano menyanggah sambil melepas tangan Dania dengan sangat kasar.
Mata Dania saat ini melirik ke arah samping, lebih tepatnya ia tengah melihat ke sebuah meja yang terdapat botol bir di atasnya. Wanita itu pun memicingkan matanya saat menatap botol tersebut.
"Aku nggak nyangka kamu bisa mengkhianati persahabatan kita, hanya karena pria b******n satu ini, Di! Dasar pengkhianat! Tega ya kamu sama aku! Dasar b******k!" ucap Dania dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya.
Perkataan yang terucap dari mulut Dania, terdengar begitu menyakitkan hingga membuat Dian mulai merasa bersalah atas semua yang telah dilakukannya.
"Dania, aku minta maaf ... aku udah coba untuk membatasi perasaan ini, tapi tetap nggak bisa karena ternyata aku sudah terlanjur cinta sama Vano."
Tanpa diduga oleh Vano maupun Dian, tangan Dania dengan cepat menyambar botol yang sudah sejak tadi terus dilihatnya dan langsung menyembunyikan botol itu di belakang tubuhnya.
"Sayang, kamu nggak perlu minta maaf sama dia. Semua ini bukan salah ki–"
Belum sempat Vano menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja sebuah pukulan keras mengenai kepalanya. Pukulan yang berasal dari botol kaca hingga hancur berkeping-keping di kepala Vano. Kerasnya pukulan itu membuat Vano seketika terjerembab jatuh ke lantai dengan darah kental yang sudah mengucur dari kepalanya.
"Itu pantas untukmu, Vano!" Dania pun pergi meninggalkan Vano yang saat itu sudah tak sadarkan diri.
Sementara Dian terus berteriak meminta pertolongan setelah ia memangku tubuh Vano yang sudah bersimbah darah.
"Dania, kamu gila, ya! Apa yang kamu lakukan?" teriak Dian dengan histeris. Namun, ucapannya tak dihiraukan Dania yang langsung berlari keluar dari bar dengan tergesa.
Setibanya di parkiran, tangan wanita itu merogoh isi tasnya untuk mencari keberadaan kunci mobil.
"Argh ... mana sih kunci mobilnya?" Dania mulai kesal karena tak kunjung menemukan apa yang ia cari.
Wanita itu pun membuang tasnya ke aspal hingga membuat isi di dalamnya tampak berhamburan keluar dan berserakan.
Dania menyugar rambut dan meremas kepalanya dengan erat. "Kenapa sih semuanya harus berakhir seperti ini? Andai aja kamu sampai saat ini masih sendiri dan enggak punya hubungan sama teman-temanku, mungkin semuanya tidak akan terjadi."
Tubuh Dania bergetar hebat karena menahan isak tangis yang begitu menyesakan d**a. Ia sudah tidak tahan untuk meluapkan kesedihannya setelah berpura-pura kuat di depan Vano maupun Dian.
Tak kunjung menemukan kunci yang dicarinya, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar menyentuh pundak Dania. Sentuhan itu membuat Dania begitu terkejut. Wanita itu pun segera menoleh, menatap sosok pria yang kini tengah melihatnya.
"Argh! Ka-mu ngapain sih ngagetin aku?" tanya Dania saat sudah dapat menghirup udara segar setelah menatap wajah Bima.
"Biarkan aku mengantarmu pulang, sebelum kamu semakin membahayakan nyawa orang lain karena menyetir dalam keadaan mabuk!"
"Apa maksudmu?" tanya Dania menautkan kedua alisnya.
"Aku melihat apa yang kamu lakukan di dalam bar tadi, sekarang laki-laki itu pingsan dan polisi lagi menuju ke sini karena wanita yang bersamanya itu sudah melaporkanmu."
"What!? Dian melaporkan kejadian tadi sama polisi?" tanya Dania terlihat sangat panik. Ia pun bangkit, lalu melangkah mondar-mandir mencari cara agar terbebas dari jeratan hukum dengan raut wajah yang begitu panik.
"Kamu harus pergi sekarang sebelum polisi datang! Sebaiknya kamu pulang dan pergi ke tempat yang nggak diketahui oleh siapa pun, termasuk laki-laki tadi dan juga pacarnya. Ya, setidaknya itu akan menghambat proses pencarianmu."
Dania semakin panik. Menatap bingung karena seperti buntu harus berbuat apa. Tentu saja ia tidak ingin berakhir di penjara atas apa yang dilakukannya tadi.
Bersambung✍️