Selamat membaca!
Beruntungnya, Dania masih sempat menginjak pedal rem sebelum tabrakan terjadi hingga mobilnya tak sampai membentur pembatas jalan yang bisa membuat bumper depan mobilnya ringsek.
Dania pun menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi mobil, wajahnya terlihat pucat karena hampir saja ia mengalami kecelakaan. Wanita itu pun mengusap dadanya berulang kali, coba untuk lebih menenangkan diri.
"Ya ampun, hampir aja aku celaka. Sebaiknya aku tetap tenang karena aku masih ingin hidup untuk menunjukkan pada Vano bahwa aku juga bisa bahagia tanpa dia!" Setelah merasa sedikit tenang, Dania kembali melajukan kendaraannya. Ia memutuskan untuk pergi ke bar tempatnya pertama kali bertemu dengan Nathan. Di sana, Dania berniat akan menghabiskan waktu malamnya untuk melupakan semua masalah yang saat ini memenuhi isi kepalanya.
Dania kini mulai mengendarai kembali mobilnya dengan lebih santai dari sebelumnya, walau saat ini perasaannya masih begitu geram karena Vano ternyata telah mengkhianatinya.
"Lupain Vano, Dan! Lupain, lupain, lupain!" Jemari Dania terus menyentak-nyentak dahinya, berharap dapat mengusir bayangan Vano dalam pikirannya.
"Argh ... nggak bisa!" Tak henti-hentinya wanita itu merutuki dirinya sendiri karena usahanya mengalami kegagalan.
Setelah melewati perjalanan selama 15 menit, akhirnya Dania tiba di tujuan dan segera memarkirkan mobilnya di VVIP parking. Kemudian, Dania keluar dan melangkahkan kaki memasuki lobi bar.
Mata Dania memindai setiap sudut ruangan, berharap dirinya dapat bertemu dengan Vano, walau pria itu terhitung sangat jarang mendatangi bar tersebut.
"Ah, kenapa aku masih mengharapkan pria sialan itu ada di sini?" Dania menepikan perasaannya yang tak karuan dan kembali melanjutkan langkahnya menuju meja bar. "Kasih aku dua botol wine dengan es batu!" Dania memesan pada seorang bartender.
"Baik, Nona."
Dalam hitungan menit, dua botol wine pesanan Dania tersaji di atas mejanya. "Silakan, Nona! Minuman Anda sudah siap."
Dania mengangguk dan membayar tagihannya. Setelah itu, ia menuangkan wine ke dalam gelas yang berisi es batu, lalu wanita itu mulai meminumnya hingga tersisa setengah gelas.
"Hanya minuman ini yang dapat membuatku lupa sama laki-laki b******n itu, walau mungkin hanya sesaat." Dania terus menuangkan wine itu dengan perlahan dan meminumnya sembari menikmati alunan musik hingga tanpa terasa gadis itu telah menghabiskan satu setengah botol wine dan membuatnya mulai meracau. "Hah, kira-kira pria itu lagi apa? Apa dia lagi bercinta sama Debie atau sama wanita lain, ya?" Dania meminum kembali wine yang tadi tersisa setengah gelas. "Aku nggak nyangka kalau Vano bisa selingkuh sama Debie, padahal aku ini lebih cantik dan lebih seksi dari wanita sialan itu!"
Dania mengusap wajahnya dengan kasar berkali-kali, lalu terbesit sebuah ide. "Lain kali aku akan bawa Nathan dan ngenalin dia sebagai pacar sama Vano dan Debie. Wanita sialan itu pasti akan iri karena Nathan lebih tampan dan lebih kaya dari Vano. Aku juga harus mempercantik diri agar kedua b******n itu menyesal telah mengkhianatiku!"
Dania terus meracau tiada henti, efek dirinya sudah setengah mabuk karena meminum banyak wine. Namun saat ini, memang itulah yang Dania butuhkan, melampiaskan semua emosi yang masih bergejolak dalam dirinya dan hanya dengan meminum wine sampai mabuklah Dania baru dapat melakukan semua itu.
Tiba-tiba seorang pria tampan yang sedari tadi sudah memperhatikan gerak-gerik Dania, kini duduk di sebelahnya dan mulai menyapa dengan ramah.
"Hai, apa kau mabuk?" tanya Bima yang merupakan asisten Nathan.
Dania mengangkat kepalanya yang tertunduk dan melihat Bima. "Nggak! Aku nggak mabuk kok."
Bima menautkan kedua alisnya karena jawaban yang didengarnya tak sesuai dengan apa yang ia lihat. "Tapi saya dengar dari tadi kamu terus bicara sendirian. Apa kamu lagi ada masalah sama pacar kamu?"
"Hmm ... aku nggak punya pacar, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Aku punya teman tidur tanpa komitmen."
Mendengar itu, pria yang wajahnya tak kalah tampan dengan Nathan itu jadi penasaran ingin lebih mengulik lebih jauh, tentang apa maksud teman tidur dari wanita yang saat ini sudah setengah mabuk.
"Kisahmu terdengar menarik juga, memiliki seorang teman tidur tanpa komitmen. Oh ya, kita belum kenalan. Aku Bima, kalau kamu siapa?" tanya Bima sembari menyodorkan tangan di hadapan wanita itu.
"Panggil aja aku Dania." Wanita itu menjabat tangan Bima dengan singkat, kemudian langsung melepasnya kembali.
"Nama yang cantik, secantik wajahmu. Kenapa wanita sepertimu tidak dijadikan pacar sama teman tidurmu?"
"Dia tidak mau terikat dalam suatu hubungan. Lagi pula aku dan dia juga bercinta tanpa hati. Jadi, kita nggak akan jatuh cinta, apalagi sampai punya hubungan lebih."
Bima mengerutkan kedua alisnya. "Pria yang jadi teman tidurmu sama ceritanya seperti sahabatku. Dia sangat anti sama cinta dan selalu bergonta-ganti wanita hanya untuk satu malam dan nggak lebih."
Dania tertawa saat merasa lucu karena ternyata ada juga orang seperti itu, meski sebenarnya yang dimaksud Bima itu adalah Nathan.
"Aku baru tahu lho, ternyata pria seperti itu banyak juga, ya. Oke, baiklah, kalau begitu aku pamit pulang dulu." Dania memutuskan pergi karena kepalanya sudah terasa pusing.
"Hmm, tunggu. Apa kamu mau aku antar pulang? Kalau lagi mabuk, bahaya nyetir sendirian." Bima coba menawarkan bantuan. Merayu wanita itu karena sejak pertama melihat Dania, Bima sudah tertarik dan ingin mengenal lebih jauh.
"Nggak perlu, aku bisa pulang sendiri. Makasih tawarannya." Dania melanjutkan langkahnya meninggalkan meja bar. Walaupun langkahnya sempoyongan. Namun, wanita itu tetap memaksakannya. Kepergian Dania pun terus menjadi perhatian Bima yang masih berharap agar wanita itu mau diantar pulang olehnya.
Dania masih sempoyongan. Merasakan kepalanya yang kian berdenyut pusing hingga membuatnya hilang keseimbangan. Tubuhnya pun seketika limbung dan hampir jatuh. Beruntung, ada seorang pria yang dengan sigap menyelamatkannya. Pria itu begitu cekatan menangkap tubuh Dania hingga masuk dalam dekapannya.
Dania segera membenarkan posisinya dan berdiri tegap berhadapan dengan pria itu. "Terima kasih sudah menolongku," ucapnya yang masih belum menatap wajah pria yang sudah menolongnya. Namun, saat kepala Dania mulai terangkat, seketika kedua matanya membulat sempurna saat melihat pria itu ternyata adalah Vano.
"Vano."
"Dania? Untuk apa kamu ke sini?" tanya Vano yang juga sangat terkejut mendapati Dania di sana.
Dania membagi pandangannya melihat seorang wanita yang datang bersama Vano ke bar itu. Wanita yang tak asing baginya karena wanita itu adalah Dian Felicia–sahabat Dania sejak masih duduk di bangku sekolah dan mereka selalu bersama-sama saat bekerja menjadi foto model karena mereka berada di satu management yang sama.
Dian adalah wanita yang mengajak Dania bekerja sebagai model yang selama ini sangat dekat dengannya dan menjadi sahabat yang selalu setia mendengar cerita Dania soal hubungannya bersama Vano.
"Maksud kalian apa datang ke sini berdua?" tanya Dania dengan wajah memerah karena menahan amarah.
Bersambung✍️