“Ada apa ini, Mas?” Ziya berusaha memperjelas meskipun ia sudah bisa mencerna maksud Mahesa. Pandangan Mahesa menembus bahu Ziya tertuju ke dalam rumah yang tampak sepi. “Di mana kakakmu?” “Bang Damar ada di dalam.” “Kalau begitu aku akan bicara padanya.” Mahesa melangkah maju. Secara otomatis tangan Ziya terangkat sebatas d*da Mahesa menahan langkah pria itu. “Mas, tolong jangan bicarakan hal yang kemarin pada Bang Damar.” Iris abu-abu Mahesa menggelap dan menajam menatap Ziya. Tidak tampak sedikit pun keramahan di sana. Mahesa benar-benar serius kali ini. “Aku sudah melupakan yang kemarin, sudah membuangnya jauh-jauh, dan kurasa itu bukan hal yang penting lagi untukku. Puas?” Hati Ziya mencelus. Tenggorokannya tiba-tiba tercekik oleh sesal yang menyesakkan d*da. Ia seharusnya