[2]

1124 Words
Ini bukan akhir segalanya. Begitu yang Miya katakan dalam hati saat memasuki rumah peninggalan ayahnya. Rumah yang jauh lebih kecil dan tampak lama tak ditinggali itu, sudah ada di depan matanya. Cat yang tampak luntur serta beberapa tanaman yang tak terawat membuat Miya berjengit takut. Siapa tahu saja ada ular yang keluar dari persembunyiannya. “Aku akan membantumu mencari tahu mengenai keberadaan ayahmu, Miya.” Hans sebenarnya tak tega meninggalkan putri dari kenalannya ini di tempat yang cukup jauh dari pusat kota. Namun tak ada yang bisa Hans lakukan sebagai pengacara keluarga karena ia kalah telak. Atas segala hal yang dilakukan Michael memang sangat berisiko. Padahal Hans sudah memberi peringatan agar lebih berhati-hati dalam kontrak kerja sama berikut risiko yang menyertainya. Sayangnya, Michael adalah orang yang tak mudah puas akan tantangan. Segalanya dipertaruhkan tanpa berpikir, jika ia bisa kehilangan segalanya. “Terima kasih, Tuan Hans. Bantuan Anda sangat aku nantikan kabarnya.” Tak seberapa lama, Hans pun meninggalkan Miya di sana. Miya tak pernah menyangka, akan datang hari di mana ia ada di langit yang sama tapi kehidupan yang sangat berbeda dari hari sebelumnya. “Apa yang harus aku lakukan setelah ini?” tanya Miya sembari menengadah pada langit yang cerah di hari ini. “Bagaimana aku melanjutkan hidup nantinya?” Agak lama Miya berdiri di sekitar area pekarangan rumah ini sampai ponselnya berdering nyaring dari arah ruang tamu. Miya memang meninggalkan tas berisi ponsel dan dompetnya di sana. Nama Tessa muncul di layar yang membuat Miya tersadar, seharian ini ia tak menghubungi sahabatnya. Jangankan melihat pesan yang sudah bertumpuk banyak, sekadar memberitahu apa yang terjadi pada sahabatnya pun Miya lupa. “Kau di mana?” tanya Tessa penuh tuntut. “Aku datang ke rumahmu tapi kenapa banyak pria berseragam? Menyeramkan sekali.” Miya tertawa pelan. “Aku bahkan tak percaya jika hal ini datang padaku.” “Apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Tessa masih dengan nada menuntut. “Apa kau melihat berita pagi ini?” Di ujung sana, suara Tessa berdecak kesal. “Kau pikir aku pengamat berita?” Ucapan itu membuat Miya tertawa. Benar juga. Sama seperti dirinya yang mengabaikan pemberitaan yang terjadi di NorthDerm, termasuk berita mengenai kebangkrutan ayahnya dalam sekejap mata. Bagi Miya, siaran yang kebanyakan menampilkan mengenai kriminalitas dan hal-hal di luar kemanusiaan juga sesekali diseling urusan bisnis serta politik, tak perlu ia perhatikan. Namun karena itu juga, Miya ketinggalan informasi yang sangat penting. “Apa apa, Miya?” Tessa semakin tak sabar. Ingatkan Miya untuk memperingatkan Tessa agar memiliki hati yang sedikit sabar terutama saat bertanya. “Ayahku … bangkrut.” Tessa tak bicara, tapi Miya yakin sahabatnya itu mendengarkan. “Pria berseragam itu datang menyita asset peninggalan ayahku untuk melunasi hutangnya. Aku hanya diberitahu nominalnya saja, yang angkanya benar-benar di luar akal sehatku. Aku tak tahu, apakah semua hal yang disita bisa melunasinya atau aku juga harus bertanggung jawab,” kata Miya dengan nada pelan. Tapi sungguh, jika Miya boleh jujur, ia tengah menahan diri untuk tak menangis atas kemalangan yang menimpanya. “Miya,” Suara Tessa terdengar pelan sekali. “Kau di mana sekarang?” “Di salah satu peninggalan ayahku yang tak disita,” Miya terkekeh jadinya. “Andaipun disita, aku yakin nilai jualnya tak sepeti properti lainnya.” “Beritahu aku lokasi persisnya. Aku segera ke sana.” “Tak usah,” cegah Miya dengan segera. “Tapi, Miya …” “Tak apa-apa, Tessa. Aku butuh waktu sendiri. Aku masih merasa … ini semua adalah mimpi.” Lagi-lagi, Miya merasa kedua matanya memburam. Mungkin dalam sekali kedip, air matanya akan luruh membasahi pipi. “Aku berharap sekali, mimpi ini segera berakhir. Kau tahu, aku takut … takut sekali.” “Menangislah, Miya. Aku temani. Esok, beritahu aku di mana tempat tinggalmu sekarang. Lalu … kita menangis bersama.” “Bodoh,” dumel Miya tapi senyum di bibirnya tercipta kecil sekali. Ia pun mengusap sudut matanya yang berair. “Aku tak ingin menangis lagi di esok hari.” “Jadi … kau akan menangis hari ini?” Tessa bertanya dengan nada jenaka. Berusaha untuk menghibur sahabatnya walau lewat sambungan udara. Tessa sedikit memahami, pasti akan sulit bagi Miya untuk memberitahu di mana sahabatnya itu tinggal. Siapa yang tak akan syok mendapatkan kenyataan, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat dalam waktu singkat? *** Miya menghela panjang. Ia mengusap peluh yang membasahi pelipisnya. Rambut yang biasanya tergerai rapi, harus ia kuncir demi membuat ia nyaman selama berada di bus. Belum lagi perjalanan dari halte menuju gerbang sekolahnya, sangat menyiksa bagi Miya yang jarang berolahraga. Ia tak menyangka jika jarak dari gerbang menuju kelasnya cukup jauh. Selama ini, ia hanya tinggal menekan gas pada pedal di mobilnya. Mengemudikan Audi merah kesayangannya dengan baik selama berada di dalam lingkungan kampus. Namun hari ini, semuanya berbeda. Tak ada lagi mobil yang bisa Miya kendarai. Ia harus menggunakan seluruh energinya untuk tiba di kampus tanpa terlambat. Meski pagi tadi Tessa menawarkan bantuan, tapi akan menyulitkan mereka nantinya lantaran jarak rumah yang Miya tempati sekarang, berada cukup jauh dari pusat kota. “Setidaknya aku tak mati kehabisan napas,” kata Miya sembari membenahi tasnya. “Mari selesaikan hari ini dengan baik. Semoga tak ada kejutan yang membuat jantungku berdetak di ambang normal.” Baru saja Miya akan melangkah, bahunya mendadak terasa berat. Serta pekikan dari suara yang begitu familier ia dengar di telinga. “Aku mengkhawatirkanmu, Miya!” “Kau ini!” Miya memukul bahu Tessa cukup keras. Selain karena terkejut, Miya juga merasa telinganya berdengung kuat. Lantaran suara Tessa membuat telinganya terasa sakit. “Apa tak bisa biasa saja menyambutku?” Tessa merengut tak suka tapi kemudian tersenyum lebar. “Aku pikir kau tak akan masuk kelas hari ini.” “Aku belum ingin dihukum oleh Pak Victor. Hari ini beliau ada di kelasku selama dua jam. Aku masih sayang nyawa.” Tessa terbahak. “Kau benar. Diingatkan sosoknya membuat aku merinding.” Ia pun mengusap kedua lengannya bergantian. “Kau sudah sarapan? Ayo, kitta penuhi perut dulu sebelum mendengar ceramah Pak Victor.” Miya setuju dengan usul Tessa, namun saat langkah mereka menuju kantin … rasa-rasanya Miya harus merelakan jantungnya bertalu kuat. Dengan bunyi debum yang tak biasa, serta nyeri yang menghantam tepat di hatinya. Kekasihnya, Rhett Sullivan, yang ia kencani hampir enam bulan lalu … tengah berciuman dengan mesranya, ah tidak. Dengan ciuman panas menggelora sampai siapa pun yang ada di sekitar mereka, merasa ciuman itu bisa meledak sewaktu-waktu lantaran terlalu ‘panas’. “Rhett,” panggil Miya pelan. Tangannya terkepal kuat. Tak menyangka sarapan paginya disuguhkan adegan seperti ini. “Ah, Miya rupanya.” Ini bukan suara Rhett, melainkan lawan berciuman dari kekasihnya itu; Veronica Lodge. Salah satu gadis yang terkenal di kampus ini. “Kau … tak membawa mobilmu? Atau mobilmu mendapatkan stiker disita?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD