Ting!
Suara lift yang terbuka membuat Navisha beranjak bangun dari duduknya.
Navisha membungkuk sebagai tanda hormat pada Afnan yang baru saja melewati meja kerjanya. Navisha lalu mengikuti langkah Afnan untuk membacakan jadwal Afnan hari ini.
Meskipun tampuk kekuasaan sudah tidak lagi di pegang oleh Abraham, tapi rutinitas yang Navisha lakukan tak jauh berbeda ketika jabatan CEO masih di pegang oleh Abraham.
Afnan menaruh tasnya di meja kerja, lalu berbalik menghadap Navisha dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Jadi, apa saja jadwal saya untuk hari ini?" tanyanya dengan suara yang begitu tegas.
"1 Jam dari sekarang Bapak akan meeting dengan dewan direksi, lalu setelah makan siang, Bapak di jadwalkan untuk meeting dengan Rajendra Corporation."
"Hanya itu saja?" tanya Afnan dengan sebelah alis terangkat.
"Iya, untuk hari ini hanya ini saja, Pak." Navisha menyahut sopan.
Afnan hanya mengangguk, setelah itu memilih untuk duduk di kursi lalu membuka dokumen yang sudah menumpuk di meja kerjanya.
"Bisa tolong buatkan saya kopi?" Apa yang baru saja Afnan ucapkan adalah sebuah kalimat perintah, yang mau tak mau harus di lakukan oleh Navisha.
Afnan sudah memikirkan semuanya. Jika Navisha memang tidak mau menghilangkan sikap formalnya, maka Afnan juga akan mengikuti kemauan Navisha, tapi kali ini ia yang akan memimpin permainan ini.
Navisha yang sejak tadi fokus membaca jadwal Afnan untuk hari esok langsung mendongak begitu mendengar ucapan atau lebih tepatnya perintah yang Afnan berikan. "Itu bukan tugas saya, Pak," balas tegas Navisha.
Afnan menatap Navisha dengan senyum remah yang terpatri di wajah tampannya. "Anda berani menolak perintah saya?"
Tanpa sadar, Navisha mengepalkan tangan kanannya dan itu semua tak lepas dari pengamatan Afnan. Navisha tahu kalau Afnan sengaja mencoba memancing amarahnya, karena itulah Afnan menguji kesabarannya. Baiklah, sekarang Navisha akan mengikuti permainan Afnan. Dalam hati, Navisha terus berdoa, semoga saja Afnan tidak meminta hal yang aneh-aneh padanya.
"Baik Pak, akan saya buatkan." Tanpa menunggu jawaban Afnan, Navisha bergegas keluar dari ruangan atasannya itu, melangkah menuju pantry dengan amarah yang terpancar jelas di kedua matanya.
Navisha meletakan tab yang sejak tadi ia pegang di meja, lalu mulai meracik kopi untuk Afnan.
Pergerakan Navisha tiba-tiba terhenti begitu wanita itu sadar kalau ia sama sekali tidak lupa tentang kopi apa yang pria itu sukai. Padahal sudah hampir 4 tahun, tapi ia masih ingat betul kopi apa yang Afnan sukai dan tidak Afnan sukai.
"Bukankah ini tidak adil?" gumam Navisha sambil menggigit kuat bibir bawahnya. Navisha ingin menangis, tapi Navisha sadar jika sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menangis.
Navisha menghembuskan nafasnya dengan kasar, lalu bergegas untuk menyelesaikan racikan kopinya. Setelah selesai membuat kopi, Navisha kembali memasuki ruangan Afnan, menghela nafas lega saat tidak melihat Afnan di dalamnya. Navisha segera meletakan kopi pesanan Afnan di meja, lalu bergegas keluar dari ruangan Afnan begitu mendengar suara pintu kamar pribadi Afnan terbuka.
Afnan tentu saja melihat Navisha yang bergegas keluar dari ruangannya, lalu ia pun menghampiri meja di mana kopi yang baru saja Navisha buat sudah siap untuk ia nikmati.
Afnan meraih cangkir kopi yang berisi kopi racikan Navisha, kemudian menghirup dalam-dalam aromanya, aroma yang sudah lama tidak ia hirup.
"Rasanya masih sama, nikmat," lirih Afnan sesaat setelah selesai menyeruput kopi buatan Navisha.
Tak butuh waktu lama untuk Afnan menghabiskan kopi buatan Navisha, sebelum akhirnya dirinya sibuk berkutat dengan pekerjaannya.
***
Hari sudah beranjak siang. Afnan dan Navisha baru saja selesai meeting dengan dewan direksi, saat ini keduanya baru saja keluar meninggalkan ruang meeting.
Seperti biasa, Navisha selalu berada selangkah di belakang Afnan. Keduanya kini sedang melangkah menuju lift yang akan membawa mereka kembali ke ruangan mereka.
"Pak, Anda menekan tombol yang salah," ujar Navisha saat melihat Afnan menekan tombol 1 bukan 25.
"Saya lapar jadi saya mau makan siang di luar," sahut Afnan santai.
"Baiklah, kalau begitu saya akan keluar." Navisha berniat untuk menekan tombol agar lift terbuka, tapi belum sempat tangannya menekan tombol lift, Afnan sudah terlebih dahulu mencekal pergelangan tangannya.
"Temani saya makan siang."
"Sa–"
"Saya tidak menerima penolakan, karena apa yang baru saja saya ucapkan adalah sebuah perintah yang harus Anda patuhi," sela Afnan dengan nada tegas tak terbantahkan.
"Baik, Pak," lirih Navisha pasrah.
"Bagus," ujar Afnan seraya melepas pergelangan tangan kanan Navisha dari cekalannya.
Navisha menautkan kedua jemarinya, lalu memilih untuk berdiri tepat di balik punggung Afnan. Navisha mendongak, menatap punggung Afnan dengan tatapan sendu.
Navisha lantas menyandarkan punggungnya pada lift dengan mata terpejam.
"Kalau terus seperti ini, gue pasti enggak bisa bekerja secara profesional!" Umpat Navisha dalam hati.
Sikap Afnan yang seenaknya membuat Navisha mulai ragu, ragu jika ternyata dirinya tidak akan bisa bekerja secara profesional.
"Ya Tuhan, kenapa gue harus bertemu lagi dengan Afnan?" Navisha membatin, mulai bertanya-tanya, kenapa dirinya harus kembali bertemu dengan Afnan?
Tanpa Navisha sadari, Afnan memperhatikannya dari lift yang memang bisa melihat dengan jelas bayangan Navisha. Afnan menghela nafas kasar, lalu kembali fokus menatap tombol saat melihat kelopak mata Navisha yang secara perlahan terbuka.
Ting!
Suara lift yang terbuka membuat semua lamunan Navisha buyar. Navisha mengikuti langkah Afnan yang sudah terlebih dahulu keluar dari lift.
Sepanjang jalan menuju halaman depan kantor, banyak para karyawan yang menyapa Afnan dan juga Navisha, bahkan banyak juga yang menatap keduanya dengan tatapan takjub, mereka merasa kalau Afnan dan Navisha terlihat sangat serasi.
"Selamat siang, Tuan," sapa ramah Pak Andi, supir yang di tugaskan khusus untuk Afnan.
"Siang, Pak." Afnan membalas ramah sapaan Pak Andi. "Bapak tidak perlu mengantar saya, karena saya mau bawa mobilnya sendiri." Afnan menengadahkan telapak tangannya, meminta kunci mobilnya.
Pak Andi pun memberikan kunci mobil yang sejak tadi ia pegang pada Afnan.
Setelah mengucapkan terima kasih, Afnan langsung menautkan jemarinya dengan jemari Navisha.
Navisha tentu saja terkejut, tapi ia sama sekali tidak menolak sentuhan Afnan, karena bisa ia pastikan kalau ia menolak, maka ia akan menarik banyak perhatian dari para karyawan yang kini sedang berlalu lalang.
"Lepas," lirih Navisha seraya menggeliatkan pergelangan tangan kanannya begitu mereka sudah berada jauh dari keramaian. Navisha berharap kalau Afnan akan melepasnya, tapi bukannya terlepas, cekalan Afnan malah semakin kuat dan itu mengurungkan niat Navisha untuk melepaskannya secara paksa.
"Masuk." Afnan membuka pintu mobilnya untuk Navisha, tentu saja Navisha menurut. Navisha memasuki mobil, duduk tepat di samping kursi kemudi.
Setelah menutup pintu mobil, Afnan bergegas menuju kemudi, melajukan mobil keluar dari area parkir perkantoran, membelah jalanan Ibu Kota yang tampak ramai.
10 menit berlalu dan sejak tadi suasana dalam mobil benar-benar tampak hening, keduanya sama sekali tidak berniat untuk memulai sebuah obrolan.
Afnan berdeham, sekilas melirik Navisha yang memilih untuk mengalihkan pandangannya pada jendela mobil. "Jadi mau makan apa?"
"Terserah," jawab Navisha lirih. Navisha malas untuk mengobrol dengan Afnan, karena itulah ia memilih untuk menjawab dengan singkat pertanyaan Afnan.
Ponsel Afnan yang berada di dekat kendali mobil bergetar.
"Sha, tolong lihat siapa orang yang telepon." Sebenarnya, Afnan sudah tahu siapa orang yang kini menghubunginya, siapa lagi kalau bukan Aqila, putrinya.
Sebenarnya bukan tanpa alasan Afnan mengajak Navisha untuk makan siang di luar, karena Afnan memang sudah merencanakan hal ini. Sejak tadi, Aneth terus menghubunginya dan memberi tahunya kalau Aqila terus merengek, ingin bertemu dengan Navisha, karena itulah ia berniat untuk mempertemukan Navisha dan Aqila di tempat yang sudah ia tentukan sebelumnya.
Mau tak mau, Navisha menuruti perintah Afnan. Navisha meraih ponsel Afnan yang terus bergetar dan tertera nama Mamah di layar ponsel Afnan, itu artinya Aneth yang menghubungi Afnan.
"Tolong angkat, Sha," ujar Afnan sesaat setelah Navisha memberi tahunya kalau Anethlah yang menghubunginya.
Lagi-lagi Navisha menurut, ia lantas menggeser ikon hijau pada layar ponsel Afnan dan menempelkan benda pipih itu tepat di telinga kiri Afnan.
"Daddy, Aqila sudah sampai di restoran. Daddy di mana?" Sang putri bertanya dengan tidak sabaran. Aqila bahkan sama sekali tidak menyapa Afnan, membuat Afnan tertawa, gemas dengan tingkah laku Aqila.
Navisha tentu tidak bisa mendengar suara Aqila, karena Afnan memang sengaja mengecilkan volumenya agar hanya dirinya yang bisa mendengar suara Aqila. Afnan tidak mau Navisha kabur, meskipun ia tidak yakin kalau Navisha akan kabur.
"Iya, Sayang, ini Daddy sampai." Tak terasa, mobil yang Afnan kendarai sudah sampai di restoran tujuan.
Navisha sontak mendongak dan benar saja, kini mobil Afnan sudah sampai di restoran yang sering ia dan Aqila kunjungi.
Sebenarnya Navisha ingin sekali bertanya, tapi ia enggan untuk melakukannya. Begitu sambungan telepon terputus, Navisha kembali meletakan ponsel Afnan pada tempatnya lalu memilih untuk keluar terlebih dahulu dari mobil.
Navisha melangkah menuju restoran tanpa menunggu Afnan.
Afnan berdecak lalu berlari, menyusul Navisha.
"Mommy!" Aqila berteriak histeris begitu melihat siapa orang yang baru saja memasuki restoran. Aqila langsung beranjak menuruni sofa, berlari menghampiri Navisha yang berdiri diam kaku di tempatnya.
Aqila langsung menubruk kaki Navisha, membuat Navisha sedikit terhuyung karena kuatnya dorongan yang Aqila berikan.
Untung saja Navisha punya repleks tubuh yang bagus, jadi ia bisa menyeimbangkannya tubuhnya agar tidak terjungkal.
Aqila merenggangkan pelukannya, lalu mendongak, menatap Navisha dengan mata berbinar.
"I miss you, Mom," ujar Aqila dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya.
Navisha diam tertegun begitu mendengar ucapan dan melihat tatapan mata yang Aqila berikan padanya.
"Ya Tuhan, apa gue sanggup untuk menjauh dari Aqila?" Navisha akhirnya mulai merasa ragu untuk menjaga jarak dengan Aqila.
Pada kenyataannya, Navisha sangat mencintai dan menyayangi Aqila.
"Apa Aqila akan merasa sedih saat gue menjauh?" Pertanyaan tersebut tiba-tiba muncul dalam benak Navisha.
"Aqila tidak akan sedih Navisha, karena sebelum lo masuk ke dalam hidupnya, hidup Aqila baik-baik aja." Hati kecil Navisha berhasil menyadarkan Navisha jika Aqila tidak mungkin merasa sedih jika dirinya pergi menjauh.
Navisha tersenyum, lalu melepas belitan kedua tangan Aqila dari kakinya. Navisha berjongkok tepat di hadapan Aqila, mengecup kening dan pipi chuby Aqila, membuat tawa renyah Aqila lolos.
"Miss you too, Princess," ujar Navisha dengan senyum yang tak kalah manisnya dengan Aqila.
"Kenapa tadi pagi Mommy tidak membangunkan Aqila?" tanya Aqila dengan raut wajah sedih.
Selama hampir 2 bulan ini, Navisha selalu mampir untuk membangunkan Aqila, memandikan Aqila atau menemani balita itu menikmati sarapan, sebelum nantinya berangkat pergi ke kantor.
"Maaf ya, Sayang, tadi pagi Mommy sibuk," ujar Navisha lemah lembut. Sebenarnya Navisha sama sekali tidak keberatan dengan apa yang ia jalani bersama dengan Aqila.
Awalnya Abraham dan Aneth juga merasa tidak enak pada Navisha atas ketergantungan Aqila pada perempuan tersebut. Tapi Navisha berhasil meyakinkan keduanya, sampai pada akhirnya hari-hari selanjutnya antara dirinya dan Aqila berjalan dengan penuh canda tawa. Tapi semua itu lenyap begitu Navisha tahu kalau Aqila adalah anak dari Afnan, pria yang paling ingin Navisha jauhi.
Aqila mengangguk, lalu merentangkan kedua tangannya, sebagai isyarat kalau ia ingin agar Navisha menggendongnya.
Navisha terkekeh dan langsung menggendong Aqila, membawa Aqila dalam pelukannya.
Aqila mengecup pipi kanan dan kiri Navisha, membuat tawa Navisha lolos.
Keduanya benar-benar mengabaikan situasi dalam restoran yang sedang ramai, bahkan mengabaikan Afnan yang sejak tadi berdiri tepat di balik punggung Navisha, memperhatikan interaksi keduanya.
"Aqila kebsini sama siapa?"
"Sama Oma," ujar Aqila seraya menunjuk Aneth yang sedang melambaikan tangan kanannya pada mereka.
Navisha melangkah mendekati Aneth yang menyambut kedatangannya dengan penuh kehangatan.
Afnan mengikuti langkah Navisha, menyapa Aneth dan mereka pun mulai menikmati makan siang dengan penuh canda tawa.
Sebenarnya hanya Aqila dan Navisha yang sejak tadi terus bercanda, karena Afnan lebih banyak diam dan memperhatikan keduanya, sedangkan Aneth hanya sesekali menimpali karena ia tidak ingin menggangu waktu Navisha dengan Aqila.
Saat melihat interaksi antara Navisha dan sang putri, Afnan mulai bertanya-tanya, sebenarnya sudah berapa lama keduanya saling mengenal? Kenapa keduanya terlihat sangat akrab sekali?
Sebelumnya, Aneth sudah memberi tahunya kalau Navisha dan Aqila baru saja akrab ketika mereka pindah rumah, tapi Afnan sama sekali tidak percaya, mengingat Aqila yang begitu manja pada Navisha. Keduanya seperti sudah bertemu jauh sebelum ia memilih untuk pindah rumah. Tapi Afnan tahu kalau sebelum ia pindah ke rumah yang saat ini ia tempati, Navisha dan Aqila sama sekali tidak pernah bertemu.
Akh! Hanya memikirkannya sudah membuat Afnan pusing. Mungkin Afnan tidak akan terlalu pusing jika saja Aqila memang adalah tipe anak yang bisa dengan mudah akrab dengan orang yang baru saja di temuinya. Tapi masalahnya adalah, Aqila itu anak yang sangat pemalu sekaligus pemilih, tapi kenapa itu tidak berlaku untuk Navisha? Padahal pada beberapa anggota keluarganya saja, Aqila belum tentu mau untuk di gendong, apalagi sampai akrab dan memanggil Navisha dengan sebutan Mommy.