“Untuk saat ini aku belum bisa putuskan. Aku akan datang setelah semuanya kuputuskan dengan pasti.” ujar Shoera, ia butuh waktu untuk memikirkan gagasan Elang memintanya membuka hati menerima kembali pria itu dalam kehidupan mereka.
“Aku tunggu, Sho.” Elang tersenyum hangat. “Aaa ..Shoera, boleh aku tahu tempat tinggal kalian sekarang?” tanya Elang, sebenarnya hanya memastikan. Sebelumnya Elang sudah mendengar dari Azura bahwa mereka akan tinggal dengan wanita itu.
“Kontrakan aku yang lama diratakan dengan tanah. Jadi untuk sementara kami akan tinggal bersama Azura.” ujar Shoera.
“Sho,”
“Iya?”
“Kali ini tolong menerima niat baikku.”
Shoera terdiam sejenak memikirkan apa maksud ucapan Elang.
“Sudah kukatakan bahwa aku butuh waktu untuk memikirkannya,”
“Maksudku bukan masalah itu, Sho.”
“Lalu masalah apa?”
“Aku punya unit apartemen, sangat jarang aku tempati. Kesana jika ada masalah dengan Vivian. Kalau kau tidak keberatan, tinggallah disana bersama Sky. “ ucapnya, berharap Shoera menerima.
Shoera mengulum bibir, “untuk sekarang aku tidak dapat menerima apapun darimu, Elang. Sky setuju pulang ke kost an Azura. Pun, dia belum bertemu denganmu.” Shoera kembali menolak niat baik Elang.
Elang mengangguk paham. “K-kapan aku bisa menemui Sky?”tanya Elang terbata.
“Nanti aku akan coba membicarakanmu padanya.”
“Baiklah,” ‘Semoga Sky dapat menerimaku kembali.’ harap Elang dalam benaknya. Ia mengangguk seraya tersenyum pada wanita di depan matanya itu.
***
Rigel keluar dari ruangan dokter setelah menyerahkan rambut dan kuku milik Sky untuk dilakukan tes DNA. Bukan tanpa alasan Rigel melakukan itu. Dulu, dia dan Shoera bukan pasangan kekasih yang dapat mengendalikan diri dari nafsu daging. Rigel kerap mencecap manisnya tubuh Shoera. Menyentuh wanita itu dengan hati dan nafsunya.
Rigel masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin mobil. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran jok sambil menghela nafas panjang. Pikirannya terbawah jauh pada kisahnya bersama Shoera, tepat ketika ia menyentuh wanita itu untuk pertama kalinya.
“Bagaimana kalau aku hamil, El?” tanya Shoera menahan pria di atasnya supaya berhenti mencumbunya.
“Bukankah itu malah bagus?”
“Eh?”
“Dengan begitu kita bisa menikah.” ucap Rigel, mata sayunya menatap kekasihnya penuh damba.
“Tapi, kita masih kuliah. Dan Ibumu belum juga menerimaku.” Shoera menatap Rigel dengan tatapan sedih.
Rigel menyingkir dari tubuh Shoera dan berbaring di sisi wanita itu. Diam menatap langit-langit kamar. Sedikit kecewa, pada penolakan Shoera.
“El,” bisik Shoera.
“Umm?”
“Kau pasti marah?”
“Seharusnya kau menolak dari awal. Bahkan kita tidak mengenakan pakaian lagi.” ujar Rigel merapikan selimut menutup tubuh telanjangnya.
“Tolong pahami ketakutanku El. Perbedaan status kita sangat jauh. Bagai burung di langit dan ikan di dasar laut. Untuk bersama sangat sulit. Tidak ada lagi yang namanya cinderella di dunia ini El. Selain itu aku takut kau bosan dan mencampakkan aku,” Shoera melirih menyampaikan keraguan hatinya.
Rigel berdecak, menopang kepala dengan tangan kiri menghadap Shoera. “Kau meragukanku? Apa aku terlihat seperti pria b******k yang hanya ingin mempermainkanmu?” tanya Rigel, satu tangannya terulur menyentuh anak rambut di kening Shoera.
Shoera bergerak menghadap pria, tatapannya penuh kesedihan.
“Kalau kau mencintaiku berikan aku kepercayaanmu dan buang keraguanmu. Aku berjanji akan menjagamu sepenuh hatiku. Untuk status kita yang katamu jauh berbeda, aku akan berusaha mengikis jarak itu supaya tiada batas. ” sambungnya, menatap Shoera lembut dan mendalam.
Shoera mengangguk, hatinya lumer bagaikan lelehan madu. Lelaki itu beringsut merapatkan diri, naik ke atas tubuh kekasihnya. Mata mereka saling beradu memancarkan perasaan cinta. Rigel mengecup ujung hidung Shoera dan perlahan merambat ke bibir dan menekannya lama. Memisahkan kelopak bawah dan atas memijatnya lembut dan lambat.
Shoera merasakan bahwa ada ribuan kupu-kupu menggelitik di perutnya ketika Rigel memanjakan rongga mulutnya dengan belaian dan gigit-gigitan kecil. Pria itu berhasil meledakkan buih-buih cinta di dalam dirinya. Shoera membawa sepasang tangannya melingkari leher Rigel, memainkan jemarinya disana. Ia turut menggerakkan bibirnya membalas ciuman Rigel yang begitu menggoda.
Hati Rigel bersorak bahagia, merasakan tubuh Shoera merespon dengan baik. Ia semakin liar melumat dan mengulum bibir Shoera., mencecap dan menghisap lidah wanitanya itu seperti permen. Rigel menarik pelan bibirnya. Memberikan kesempatan untuk Shoera mengambil nafas. Sementara bibirnya telah berpindah menghisap kulit leher Shoera dan tak lupa menandainya dengan gigitan kecil.
Gelenyar di tubuhnya menggelitik seluruh tubuhnya ketika tangannya menyentuh puncak gundukan Shoera yang mengeras. Tangannya meraba dua gundukan Shoera yang mengencang. Gundukan itu menantang untuk dimanjakan oleh lidahnya lantas ia memainkan benda kenyal itu dengan lidahnya, menjilat dan mengitari puncak pink milik kekasihnya.
Shoera mengerang, seluruh tubuhnya terbakar oleh gairah. Gelenyar panas terkumpul pada pusat tubuhnya dan siap meledak.
“Kau milikku Shoera. Selamanya.” bisik Rigel menatap mata Shoera. Keduanya telah terbakar api gairah. Shoera mengangguk, memasrahkan dirinya untuk menerima pria itu memilikinya seutuhnya.
Rigel mengusap belakang kepala berdecak kesal, kenapa mengingat bagian kenangan itu. Tubuhnya sekarang bahkan menegang, merindukan kehangatan yang sering didapatkannya dari Shoera. Rigel menggelengkan kepala, membuang wajah Shoera dari kepalanya.
“Pengganggu.” ia menggeram dan mendesah panjang, kemudian menjalankan mobilnya keluar dari area rumah sakit.
***
“Ada keperluan apa Rigel ke rumah sakit ini?” pertanyaan itu terlontarkan oleh Kalani pada dirinya sendiri. Setelah mengetahui putranya masuk ke rumah sakit itu. “apa dia sakit? Tapi tidak mungkin.” Ia bergelut pada dirinya sendiri, Rigel bukan seseorang yang mengabaikan kesehatan tubuhnya. Selama yang ia tahu putranya itu sangat menjaga kesehatannya.
Kalani kemudian menghubungi anak lelakinya itu dan selalu saja hasilnya mengecewakan. Rigel mengabaikannya. Kalani menggeram kesal., melempar ponselnya pada jok disampingnya. Membawa tatapannya pada jalanan macet dari jendela mobil yang dikemudikan sopirnya. Ia kemudian meraih ponselnya untuk menghubungi Aro.
“Tante?” sapa Aro dari ujung telepon.
“Dimana Rigel?”
“Rigel sedang berada di luar kantor, tante.”
“Di luar?lebih tepatnya dimana?” tanya Kalani.
“Saya tidak mengetahui jelas kemana perginya Rigel. Yang pasti Rigel keluar kantor karena ada urusan pekerjaan.” ujar Aro menjelaskan dari ujung telepon.
Kalani menarik sudut bibirnya,” Bukankah agenda Rigel kau yang menyiapkan?” tanyanya.
“B-benar tante, tap__”
“Aro, hari ini aku melihatnya masuk ke rumah sakit. Kau yakin tidak ada sesuatu yang terjadi padanya?" Selidik Kalani.
Aro menjauhkan ponselnya dari telinga dan Ia menengadahkan kepalanya sambil memutar otaknya mencari alasan yang tepat.
“Aah…. hahaha, aku ingat tante. Rigel memang ada jadwal kesana. Menemui dokternya. Rigel mengatakan bahwa akhir-akhir ini dia mengalami gangguan tidur,” kata Elang mencoba menyakinkan Kalani.
“Kau yakin hanya itu alasan dia ke rumah sakit?” Kalani ragu.
“Yakin tante, nanti akan saya sampaikan pada Rigel untuk menghubungi tante secepatnya.”
“Tidak perlu. Baiklah, saya akhiri panggilan ini.” kata Kalani lalu memutus sambungan teleponnya.
“Pulang ke rumah Pak,” perintahnya pada sang sopirnya.
"Baik Nyonya."