Kompleks Apartemen

2532 Words
“Pak Panji, silakan duduk.” Seorang wanita paruh baya yang merupakan staf tata usaha mempersilakan Panji duduk, sementara ia merapikan beberapa dokumen di meja. Tanpa menjawab perkataan dari staf tata usaha, Panji segera mengambil tempat duduk dan menunggu instruksi selanjutnya. Ada satu pertanyaan yang berputar di dalam pikiran Panji, yaitu tentang perkataan dari Pak Nyoman. Ketika Panji dipanggil ke ruang tata usaha, Pak Nyoman langsung ketakutan karena khawatir nama baiknya akan rusak. Panji penasaran, seketat itukah peraturan di tempat ini? Apakah benar perkataan dari Pak Nyoman bahwa gerak gerik dari semua orang di Tumimbal benar-benar diawasi? Rasanya cukup aneh. Kenapa harus diawasi sebegitu ketatnya? Bukankah sekolah internasional biasanya memiliki peraturan yang fleksibel dan tidak menyiksa? “Pak Panji… Pak Panji!” “Ah iya, Bu, maaf,” jawab Panji terkejut. Rupanya lagi-lagi Panji terhanyut ke dalam lamunan. Sejak ia keluar dari ruang kepala sekolah, Panji memang sering merenung dan melamun. Keanehan-keanehan yang ada di Tumimbal, membuat rasa penasaran di pikiran Panji menggeliat. “Saya akan menjelaskan sistem yang ada Tumimbal International School, ya, Pak. Karena Bapak belum pernah mengajar di sini sebelumnya.” Panji pun mendengar penjelasan dari staf tata usaha dengan seksama. Tumimbal International School, sekolah yang berada di kaki Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, merupakan sekolah dengan sistem asrama yang diterapkan tidak hanya kepada para murid, tetapi juga para guru. Jadi, baik itu Jonathan yang merupakan kepala sekolah, staf tata usaha yang ada di hadapan Panji sekarang, dan juga guru-guru yang lain, semua tinggal di dalam sekolah. Tidak ada satupun yang pergi meninggalkan sekolah tanpa izin, kecuali Pak Nyoman yang merupakan pegawai, atau kasarnya pesuruh umum, yang merupakan warga sekitar Tumimbal. Pak Nyoman memiliki hak khusus untuk bisa keluar masuk Tumimbal karena ia memiliki banyak tugas dan kewajiban. Pak Nyoman secara umum adalah petugas keamanan, petugas kebersihan, dan juga sopir. Dedikasi dan loyalitas tinggi yang dimilikinya membuat Pak Nyoman akhirnya mendapatkan hak khusus untuk keluar masuk Tumimbal. Selain itu, Tumimbal menerapkan sistem jam malam, di mana siswa dan guru tidak ada yang boleh berkeliaran di atas jam 10 malam. Mendengar perkataan itu, membuat Panji menggerutu di dalam kepala, “gimana mau berkeliaran, orang siang-siang aja banyak setan gini!” Setelah itu staf tata usaha menjelaskan jika penggunaan ponsel tidak diperkenankan di dalam lingkungan sekolah, demi menjaga suasana Tumimbal tetap kondusif. Sistem asrama yang diterapkan di dalam sekolah cukup ketat. Orang tua murid sudah memasrahkan anak-anak mereka kepada pihak sekolah agar dididik dan dirawat dengan baik. Para orang tua bahkan rela membayar mahal, agar anak-anak didik di tumimbal bisa lulus dengan predikat terbaik. Panji sedikit menggerutu tentang penggunaan ponsel. Jika peraturan itu hanya diterapkan kepada para murid, mungkin tidak masalah. Tapi jika peraturan itu juga diterapkan kepada para guru, bukankah itu terlalu berlebihan? Staf tata usaha juga menjelaskan jika Tumimbal diawasi oleh CCTV selama 24 jam. Jika ada tindakan mencurigakan baik yang dilakukan oleh murid maupun guru, maka saat itu juga akan ditindak. Bagi para guru yang sudah menandatangani kontrak, tidak diperkenankan untuk mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir. Mendengar kalimat itu, membuat Panji sebenarnya ingin membantah. Panji tidak merasa pernah menandatangani perjanjian dengan Tumimbal, tetapi tiba-tiba surat kontrak bertanda tangan lengkap dengan materai muncul di hadapannya. Tapi sebelum Panji membuka mulut, ia kembali berpikir. Sepertinya percuma jika ia protes di sini, karena staf tata usaha yang ada di depannya adalah salah satu dari pegawai Tumimbal. Protesnya tidak akan didengarkan. “Setelah ini, Pak Panji akan saya antar ke kamar.” Tanpa menunggu jawaban dari Panji, staf tata usaha tersebut berdiri dan berjalan keluar dari ruangannya, diikuti oleh Panji yang tanpa diperintah pun sudah paham jika ia harus mengikutinya. Panji dan staf tata usaha tersebut kembali menyusuri koridor kosong panjang di mana Panji lagi-lagi merasa diawasi dari berbagai sudut. Dan lagi, Panji merasa sangat aneh dengan sikap dari staf tata usaha yang terlihat tidak melihat keanehan yang ada di sekolah ini. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Panji dan staf tata usaha dihadang oleh sosok perempuan yang mengenakan seragam tumimbal. Tapi, Panji menyadari jika perempuan itu bukanlah murid di Tumimbal. Karena ketika Panji menyusuri dari bawah ke atas, bagian tubuh dari perempuan tersebut hanya sampai bawah leher. Maksudnya, perempuan itu tidak memiliki kepala. Terdapat luka terbuka yang membusuk di tempat di mana seharusnya kepalanya berada. Bukan hanya busuk, bahkan ulat dan belatung terlihat menggeliat di sana, membuat Panji ingin muntah dibuatnya. Namun aneh, tetap saja aneh. Staf tata usaha yang berjalan di depan Panji seakan tidak bisa melihat sosok perempuan tersebut. Ia berjalan santai seakan tidak ada apapun di sana. Bahkan staf tata usaha tersebut secara sengaja menabrak sosok tanpa kepala tersebut, tetapi tidak ada benturan yang terjadi. Sosok itu benar-benar seperti tidak terlihat dan menembus badan staf tata usaha. Panji yang berjalan di belakangnya tidak bisa asal mengabaikan penampakan tersebut, tetapi ia juga tidak ingin dikuasai rasa takut meskipun jantungnya terasa akan copot saat ini. “Please ikut nembus… ikut nembus… ikut nembus…” gerutu Panji pelan saat ia juga berjalan melewati sosok tersebut. Panji menarik nafas panjang sambil memejamkan mata ketika ia berjalan melewati sosok tersebut. Rasanya, ia seperti melewati tabir udara tipis yang menahannya untuk melangkah maju. Setelah berhasil melewati tabir itu, Panji kembali membuka mata. “Ah! Bangke!” Panji mundur beberapa langkah, tersandung kakinya sendiri dan tersungkur. Ia kembali harus menutup mata sambil mengayun-ayunkan tangan ke depan. “Pergi! Jangan muncul di hadapanku mulu deh, b*****t!” Bagaimana bisa Panji tidak terkejut? Saat membuka mata, tiba-tiba tepat di hadapannya muncul sosok kepala tanpa badan yang tersenyum sambil melotot. Tatapan matanya tampak seperti seorang psikopat gila yang tengah melihat calon korbannya. Sosok itu tersenyum sambil meneteskan air liur busuk dari sudut bibirnya. Melihat Panji yang tersungkur, membuat sosok kepala itu menjadi senang. Ia tertawa terbahak-bahak, suaranya bahkan sampai membuat telinga Panji sakit. Panji tetap menutup mata, ia tidak berani melihat apapun yang sedang menghadang di depannya. Bahkan sekarang ia harus menutup telinga, tidak kuat mendengar pekikan yang sanggup membuat lantai bergetar. “Pak Panji!” “Argh!” Panji merasakan seseorang menepuk pundaknya pelan. Ia masih tidak berani membuka mata, terlalu takut untuk melihat sesuatu di depannya. “Pak Panji, tenanglah! Enggak apa-apa, itu cuma potongan kepala yang bahkan gak bisa menyentuh, jangan takut!” ucap staf tata usaha lembut, sambil mengelus punggung Panji. “Mau tenang gimana? Itu ada setan!” seru Panji sambil tetap menutup mata. “Kalo Pak Panji takut, setannya tambah seneng! Makanya jangan takut, Pak. Gapapa, ada saya, kok,” jawab staf tata usaha. Panji membuka mata perlahan, matanya kembali terfokus kepada sosok kepala tanpa badan yang sedang menatapnya dari balik punggung staf tata usaha. Rasanya ingin pingsan, bagaimana mungkin staf tata usaha itu bisa menanggapi penampakan mengerikan ini dengan santai? Sekolah ini benar-benar aneh, semua staf yang bekerja di sini tidak waras! “Ayo ikut saya! Jalan aja pelan-pelan kayak gak ada apa-apa” Staf tata usaha mengulurkan tangan, membantu Panji berdiri. “Jangan dilihat!” seru staf tata usaha, memperingatkan Panji agar mengabaikan penampakan di depannya. Dengan langkah gemetar, akhirnya Panji mencoba mengabaikan penampakan tersebut. Tetapi, seberapa keras pun usaha Panji untuk tidak memperhatikan sosok kepala tersebut, sudut matanya tetap saja bisa menyaksikan dengan jelas air liur yang menetes dengan deras dari sudut bibir sosok tersebut. Panji mencoba melihat ke bawah, ke arah di mana air liur itu menetes. Mata Panji terbelalak ketika melihat air liur itu menghilang beberapa sentimeter sebelum menyentuh lantai. “Lupain, lupain, lupain, lupain!” gerutu Panji pelan ketika ia berjalan melewati sosok kepala itu, melanjutkan langkahnya menuju ke kamar yang akan ia gunakan selama mengajar di Tumimbal. Perjalanan yang terasa panjang karena Tumimbal International School yang cukup luas, akhirnya berakhir ketika Panji dan staf tata usaha tiba di kompleks apartemen yang masih berada di gedung yang sama dengan bangunan sekolah. Tidak banyak kamar yang ada di kompleks apartemen tersebut, hanya ada beberapa kamar yang masing-masing sudah memiliki penghuni. Panji mencoba menenangkan diri setelah bertemu dengan sosok mengerikan di koridor dengan menengok ke kanan dan kiri, membaca satu persatu nama pemilik ruangan yang tertulis di sana. Seperti yang dikatakan staf tata usaha, Panji harus mencob beradaptasi dengan tidak menghiraukan penampakan yang muncul. Ada satu nama yang menarik perhatian Panji di antara nama-nama yang ada di deretan pintu kamar apartemen, yaitu ketika ia melewati kamar bertuliskan Jonathan Liu. Membaca namanya, membuat Panji kembali merasakan sakit hati. Ia merasa dijebak dan dipermainkan dengan kontrak yang diberikan. Bagaimanapun, Panji harus mencari jalan untuk memperoleh keadilan di sini. Apakah ia harus membuat onar? Ataukah ia harus merusak ekspektasi pihak Tumimbal terhadapnya? “Ini kamarnya, Pak Panji.” Staf tata usaha berhenti tepat di depan pintu kamar bertuliskan “Panji Baskara.” “Ini kuncinya, jangan sampai hilang.” Staf tata usaha memberikan satu lembar kartu kepada Panji. Dengan heran dan terkejut, Panji menerima kartu tersebut. Ia tidak menyangka, fasilitas yang diberikan oleh Tumimbal tidak main-main. Kamar yang disediakan pun menggunakan kunci pintar yang sangat modern. “Saya tinggal dulu, Pak. Hari ini, silakan istirahat. Besok Bapak sudah mulai aktif di ruang BK, ya?” Staf tata usaha mengangguk pelan, lalu pergi meninggalkan Panji sendirian di kompleks apartemen yang sepi. “Hiiih…” Panji kembali bergidik ngeri ketika mengingat jika saat ini ia sedang sendirian. Panji segera memindai kartu pintar di tangannya, lalu segera masuk ke dalam kamarnya. Setidaknya, seharusnya ia merasa aman di dalam kamarnya sendiri. Setelah memasuki kamar, Panji kembali dikejutkan dengan mewahnya fasilitas yang ia terima. Panji perlahan melangkahkan kakinya semakin jauh ke dalam kamar, mengagumi keindahan yang ia saksikan di sana. Kasur yang empuk, pendingin ruangan yang mewah, serta desain ruangan yang tampak modern. Panji kembali melangkah memasuki pintu menuju kamar mandi di dalam kamarnya. “Wah gila, bisa betah rebahan sambil ngocok aku nih kalo di sini!” Mata Panji terbelalak melihat mewahnya kamar mandi yang disediakan untuknya. Shower yang lengkap dengan pemanas air, bathtub yang tampak nyaman, serta perlengkapan mandi yang lengkap membuat Panji merasa dimanusiakan di sini. Setidaknya, meskipun ia dipermainkan oleh kontrak, Panji masih mendapat fasilitas yang lebih dari layak. Panji kembali berjalan keluar dari kamar mandi, memeriksa isi lemari yang ada di kamarnya. Panji kembali terkejut dengan pakaian miliknya yang sudah tertata rapi di dalam lemari. “Anjing! Tasku diobrak-abrik!” Panji memeriksa dengan rinci semua barang di dalam lemari. Mulai dari pakaian, perlengkapan perawatan, hingga dokumen-dokumen yang ia bawa. Beruntung, semua dokumen tidak ada yang hilang. Namun Panji tidak berhenti sampai di situ. Ia kembali memeriksa barang esensial yang selalu ia bawa ke mana-mana. “Ponsel, ada. Kartu pintu, ada. Dom…” Panji kembali menggerayangi tubuhnya, mencari barang penting yang seharusnya ada di sana. “Bangke, dompetku ke mana lagi? Ah!” Panji mengobrak-abrik kembali isi lemarinya, namun tidak bisa menemukan dompet miliknya di manapun. Lagi, tidak mungkin Panji dengan ceroboh menjatuhkan dompet yang sangat berharga. Di dalam dompet itu, ada kartu pengenal, lisensi mengemudi, serta kartu debit yang berisi uang dengan jumlah yang lumayan. Uang tunai yang ada di dalamnya sebenarnya tidak seberapa, karena Panji tidak terbiasa membawa uang dalam jumlah yang besar. Tapi, kartu-kartu penting yang ada di dalamnya lah yang lebih ia cari, karena akan rumit jika harus mengurus kartu itu kembali. Membuat surat kehilangan di kepolisian saja, membutuhkan uang pelicin. Hahhh, konyol kadang negeri ini. Saat masih sibuk mencari keberadaan dompetnya yang tiba-tiba menghilang, tiba-tiba Panji mendengar seseorang mengetuk pintu kamar. Panji sedikit gemetar ketika mendengarnya, karena ia takut saat pintu itu dibuka, sosok yang ada di baliknya adalah penampakan tidak jelas yang memenuhi sekolah ini. Panji mencoba memberanikan diri meski tubuhnya mulai gemetar. Ia menarik nafas panjang, agar suaranya tidak terdengar bergetar. “Siapa?!” Panji sedikit berteriak. Ia tidak ingin membuka pintu sebelum mengetahui siapa orang yang ada di balik pintu. “Saya, Pak, Yuni!” Panji menghela nafas lega ketika mendengar jawaban dari luar. Rupanya Yuni datang mengunjunginya. Tunggu, Yuni? Untuk apa Yuni mengunjungi Panji? Aneh! Panji ragu, apakah ia harus membuka pintu untuk Yuni atau tidak? Jika memang benar itu Yuni, Panji merasa tidak masalah. Apalagi jika Yuni bisa diajak melakukan sesuatu yang menyenangkan di dalam kamar. Tapi jika itu bukan Yuni, bagaimana? “Ada perlu apa, Yun?” Panji memastikan jika orang yang ada di balik pintu benar-benar Yuni. “Anu, Pak, saya mau balikin dompet!” teriak Yuni dari luar. Perkataan Yuni membuat Panji yakin jika orang yang di luar benar-benar muridnya. Tapi, kenapa kebetulan ini terasa sangat janggal? Saat Panji kehilangan ponsel, orang yang mengembalikan ponsel itu adalah Yuni. Saat Panji kehilangan dompet, lagi-lagi orang yang menemukan dompet itu adalah Yuni. Hanya ada satu cara untuk membuktikan, yaitu menanyakan hal itu langsung kepada orang yang bersangkutan. Panji segera berlari dan membuka pintu. Terlihat Yuni di baliknya menyambut Panji dengan senyum lembut yang meneduhkan hati. “Pak Panji,” sapa Yuni melihat Panji yang tampak panik. Panji berusaha bersikap biasa saja dan menyembunyikan kepanikan di wajahnya. “Ini, Pak.” Yuni segera menyerahkan dompet di tangannya kepada Panji. “Tadi dompet Bapak jatuh di koridor. Lain kali hati-hati ya, Pak, udah dua kali loh Bapak jatuhin barang-barang penting,” ucap Yuni sambil tersenyum manis. Panji segera mengambil dompet miliknya, memeriksa apakah ada barang yang hilang atau tidak. Setelah diperiksa, sepertinya tidak ada apapun yang berkurang, termasuk uang dua ratus ribu yang tersisa karena uang tunainya habis dibuat bersenang-senang dengan Bli Gung semalam. Panji menatap Yuni dengan heran, “terima kasih, Yun.” Tetapi Panji masih ingin memberikan apresiasi karena Yuni mengembalikan dompetnya secara utuh. Ia mengambil uang seratus ribu, hendak diberikan kepada Yuni sebagai bentuk terima kasih. Tapi ketika ia hendak mengulurkan uangnya kepada Yuni, gadis itu secara halus menolak pemberian Panji dengan senyum manis yang tidak luntur dari wajahnya. “Maaf, Pak, bukannya saya gak mau nerima. Tapi duit kayak gitu gak berharga di sekolah ini, Pak,” ucap Yuni sambil mendorong tangan Panji menjauh dari badannya. Panji pun terkejut, saat ini ia merasa seperti sedang berada di dunia lain. “Aneh banget deh, bagian bumi mana yang nganggep duit itu ga berguna?” batin Panji. Dengan terpaksa, Panji mengembalikan lagi uang miliknya ke dalam dompet dan memasukkan dompetnya ke saku. Kali ini, Panji memastikan dompetnya tidak menghilang lagi. “Kalau gitu, saya permisi dulu, Pak.” Yuni membungkuk pelan, lalu melangkah cepat meninggalkan Panji. Sedetik kemudian, Panji baru tersadar jika Yuni berkeliaran di luar ketika jam pelajaran sedang berlangsung. Bahkan, setelah Panji keluar dari ruang kepala sekolah, Yuni adalah satu-satunya murid yang ia lihat. Panji segera melangkah keluar dari kamar, “Yun!” Yuni menghentikan langkah lalu berbalik menatap Panji. “Kok kamu berkeliaran di jam pelajaran gini?” Panji berteriak dari ujung pintu kamar, karena jaraknya dengan Yuni cukup jauh. “Hehehe, gabut soalnya, Pak,” jawab Yuni sebelum kemudian ia kembali berbalik dan berlalu. Panji hanya bisa menghela nafas. Rupanya, di sekolah internasional sekalipun, ada siswa-siswa nakal yang butuh bimbingan darinya. Tidak salah jika sekolah ini membutuhkan guru BK. Baru hari pertama Panji ada di sekolah ini, ia sudah dihadapkan dengan pekerjaan rumah yang cukup besar. Yuni, remaja ramah dengan wajah keibuan yang sikap lembut yang bahkan dekat dengan para guru, rupanya senang membolos hanya karena bosan. Panji pun masuk dan mengunci pintunya dari dalam. Sepertinya hari pertama Panji bekerja besok, ia harus mengobrol dengan Yuni secara pribadi, jika ia kembali menemukan Yuni berkeliaran pada jam pelajaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD