Om Brewok

2420 Words
Hari terasa berjalan sangat lama ketika Panji berada di Tumimbal. Berkali-kali ia mengecek ponsel berharap hari segera berganti, namun yang ia dapatkan hanya waktu yang bergulir detik demi detik. Setelah beberapa kali mengecek ponsel, barulah Panji menyadari jika tidak ada jaringan telepon dan internet yang menjangkau Tumimbal. Padahal Panji menggunakan penyedia layanan seluler berplat merah yang memiliki jangkauan wilayah paling luas di Indonesia, namun tetap ia tidak mendapatkan sinyal di sini. “Cih, pantas aja orang TU itu bilang gak boleh pakai ponsel di sini! Orang sinyal aja ilang-ilangan!” gerutu Panji sambil mengayun-ayunkan ponselnya di udara, berharap ia mendapatkan jaringan internet yang berakhir dengan usahanya yang sia-sia. Tidak lama kemudian, telepon kabel yang ada di kamar Panji berdering. Kali ini ia tidak terkejut, karena suara telepon itu tidak terlalu keras. Meski begitu, Panji masih cukup takut untuk asal mengangkatnya. “Gimana kalau yang nelepon itu setan? Gimana kalau pas diangkat malah kedengeran suara ketawa yang kenceng?” batin Panji yang ketakutan. Setelah ditunggu beberapa saat, dering telepon itu tidak kunjung berhenti, membuat Panji mau tidak mau harus mengangkatnya. Panji berjalan dari tempatnya dengan tangan yang masih gemetar, ia tidak siap dengan semua kejutan mengerikan yang didapatkan di Tumimbal. “Halo,” ucap Panji singkat ketika mengangkat telepon. “Selamat sore, Pak Panji, ini saya dari katering mau menginformasikan untuk masakan makan malam hari ini kita ada nasi goreng kambing, lalapan ayam, sama sate babi. Kira-kira Pak Panji mau dibawakan menu apa hari ini?” “Padahal Tumimbal ini sekolah internasional, tapi menu makanannya lokal banget. Yaudah lah daripada gak ada makanan!” batin Panji yang tidak terima dengan menu yang disediakan oleh Tumimbal. “Saya mau nasi goreng kambing aja, Bu, makasih,” jawab Panji singkat. Salam penutup yang ramah juga diucapkan oleh staf katering, sebelum akhirnya sambungan telepon terputus. “Gila ya? Rasanya kayak raja dilayanin gini!” seru Panji sambil melompat kembali ke atas tempat tidur. “Tapi gabut juga kalau ga ada sinyal gini. Aku harus cari hiburan apa, ya?” gerutunya sambil menggulir layar ponsel yang tidak mendapatkan jaringan internet. Tidak lama kemudian, staf katering mengetuk pintu kamar, mengantar makanan lengkap dengan minuman hangat untuk menemani malam. Staf itu berpesan agar meninggalkan piring kotor di luar pintu agar nantinya mudah dibersihkan. Hari berganti, inilah hari di mana Panji harus menunaikan kewajiban mengajar di Tumimbal sebagai guru BK. Mungkin untuk sekelas guru BK, mengajar bukanlah kata yang tepat, karena BK tidak bertanggung jawab terhadap kelas dan mata pelajaran tertentu, melainkan terhadap seluruh siswa secara umum. BK bertanggung jawab untuk membantu siswa memecahkan masalah, sebagai konselor psikologi, meningkatkan prestasi, dan juga membantu siswa mengembangkan diri. Sebagai guru BK, Panji tidak harus masuk ke kelas-kelas untuk memberikan materi, ia cukup berada di ruangannya dan mengawasi siswa. Setidaknya, itulah yang biasa ia lakukan di sekolah tempat ia mengabdi terdahulu. Pagi ini langit cukup cerah, namun suasana menyeramkan yang pekat masih sangat terasa di Tumimbal. Di dalam ruangannya, Panji mencoba melihat data para siswa sekaligus laporan kenakalan yang tertulis di sana, agar Panji bisa lebih dekat kepada para peserta didik dan tahu bagaimana cara mengatasi mereka. Sayangnya, Panji kembali dikejutkan dengan banyaknya laporan kenakalan. Mulai dari pencurian, pemukulan, bahkan sampai perkosaan dan pembunuhan. Anehnya lagi, semua siswa yang melakukan tindakan yang masuk ke dalam kategori kriminal itu sekarang masih berkeliaran bebas di dalam sekolah. Biasanya, siswa-siswa dengan tingkat kenakalan tertentu akan dikeluarkan dari sekolah. “Kok parah banget sih murid-murid di sini? Kenapa malah ga ada yang lapor polisi coba?” keluh Panji sambil tetap membolak-balik lembar laporan siswa di tangannya. Tidak lama setelah itu, terdengar suara seseorang mengetuk pintu ruangan Panji. “Masuk!” teriak Panji dari dalam. Pintu pun terbuka. Panji mengangkat kepala, melihat siapa gerangan yang memasuki ruangannya di pagi-pagi buta seperti ini. “Sibuk, Pak Panji?” sapa Jonathan yang mengunjungi sahabat lamanya di ruang kerja. Panji ingin mengabaikan Jonathan, tetapi ia ingat jika Jonathan adalah atasannya di Tumimbal, sehingga Panji harus berbicara sopan terhadapnya. Meski begitu, rasa sakit hati dan kemarahan yang ia rasakan tidak bisa begitu saja disembunyikan. Tetapi, Panji masih tetap ingin bersikap profesional karena ia tidak ingin memperburuk keadaan. “Selamat pagi, Pak Jonathan,” sahut Panji sambil menunduk pelan, namun matanya kembali fokus ke lembaran laporan siswa di tangannya, karena ia ingin memberikan kesan bahwa dirinya tengah sibuk dan tidak bisa diganggu saat ini. Panji berharap, Jonathan segera enyah dari hadapannya. “Pak Panji, saya ingin meminta maaf perihal kemarin. Saya tahu, Pak Panji merasa dipermainkan oleh kontrak di Tumimbal. Tetapi itu semua kita lakukan karena kita sangat-sangat membutuhkan bantuan dari Pak Panji.” Jonathan melirik apa yang sedang Panji lakukan, lalu sedikit menyeringai ketika mengetahui jika Panji tengah memeriksa laporan kenakalan siswa. Panji yang sedang menunduk, tidak bisa melihat dengan jelas jika tatapan Jonathan terhadapnya telah berbeda. “Laporan kenakalan itu adalah bukti jika sekolah ini sangat membutuhkan bantuan Pak Panji. Terutama anak-anak tingkat pertama. Mereka terlihat seperti preman yang tidak bisa diatur. Pagi ini, saya minta Pak Panji ikut saya untuk menyapa mereka.” “Sekarang, Pak Jo?” Panji mengangkat kepala, menatap Jonathan yang duduk di depannya. “Ya, mari,” jawab Jonathan sambil beranjak dari kursi. Panji pun segera berdiri, mengikuti Jonathan yang hendak meninggalkan ruangannya. Panji mendahului langkah Jonathan, membukakan pintu untuk kepala sekolah Tumimbal tersebut dan mempersilakannya keluar terlebih dahulu. Bagaimanapun, membukakan pintu adalah tata krama dasar yang harus diterapkan untuk bersikap kepada atasan. Panji berjalan di belakang Jonathan. Tidak jauh dari ruangan BK, Panji menemui koridor angker yang berhasil membuatnya menjerit seperti anak kecil kemarin. Tidak, hari ini Panji tidak akan melewati koridor itu. Ia hanya memandang sambil berlalu. Tetapi di dalam pikirannya, Panji masih terbayang betapa mengerikannya koridor tersebut. Tidak jauh ia berjalan, suara sayup-sayup murid yang berisik mulai terdengar. Semakin dekat Panji dengan sumber suara tersebut, semakin terdengar umpatan kotor yang keluar dari mulut siswa yang ada di sana. Ruang kelas bertuliskan “Tingkat Pertama” menjadi sumber kegaduhan itu berasal. Kelas itulah tujuan dari Jonathan dan Panji hari ini. Perlahan, Jonathan membuka pintu ruang kelas tersebut. Suasana yang sebelumnya ramai, berubah menjadi hening ketika Jonathan memasuki ruang kelas tersebut. Panji yang mengikuti langkah Jonathan di belakangnya merasa heran, sebegitu besarnya pengaruh Jonathan terhadap para siswa. “Selamat pagi, Anak-anak!” seru Jonathan dengan senyum hangat yang entah kenapa tampak mengerikan di mata Panji. “Selamat pagi, Pak Jo!” sahut para siswa serentak. “Hari ini kita kedatangan guru baru. Beliau adalah Pak Panji yang akan mengisi materi pelajaran budi pekerti di kelas kalian,” terang Jonathan sambil menunjuk Panji yang berdiri di sampingnya. “Selamat pagi, Pak Panji!” sapa para murid serentak. Panji yang awalnya memperhatikan Jonathan berbicara, hendak menjawab sambutan dari para siswa di depannya. Ia menoleh ke arah para siswa di depannya. Seketika, jantung Panji terasa akan berhenti melihat bagaimana para siswa menatapnya.Tatapan jijik, ingin membunuh, serta tatapan benci dan dendam yang amat besar ia tangkap dari mata para siswa di depannya. Lagi-lagi Panji bergidik ngeri. Namun kali ini bukan karena penampakan hantu, melainkan karena tatapan para siswa. “Ayolah, Panjul, kamu udah biasa ngadepin siswa badung! Kali ini bisa lah!” batin Panji menguatkan diri. Ia tidak ingin terlihat takut di hadapan para siswa, atau wibawanya akan hancur di hari pertama. Panji menarik nafas panjang, “Selamat pagi, Anak-anak! Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan saya, ya?” ucap Panji sambil tersenyum, mengikuti Jonathan. “Baiklah kalau begitu, saya tinggal dulu. Mari, Pak Panji.” Jonathan menepuk pelan bahu Panji sebelum ia meninggalkan ruang kelas. Namun di balik pintu, Jonathan sempat menyeringai tipis. Entah apa maksud dari seringai yang terlihat seperti orang yang mengumpankan temannya ke dalam kolam berisi predator tersebut, namun sepertinya Jonathan sangat senang melihat Panji mau mengajar di tingkat pertama. “Perkenalkan, Anak-an…” Panji menghentikan kalimatnya begitu melihat bagaimana cara para siswa menatapnya. Satu siswa yang duduk di bangku paling belakang, tiba-tiba berdiri dan berjalan ke depan dengan santai. “Oalah, kita dapet guru cupu, gaes! Hahaha!” Ia berteriak sambil melotot kepada Panji. Para siswa yang mendengar kalimat itu, serentak ikut tertawa dan bertepuk tangan, seakan menemukan mainan baru. Panji kembali menarik nafas panjang, lalu balas menatap siswa itu dengan seringai yang tiba-tiba muncul dari bibirnya. Siswa yang berjalan ke depan itu terlihat sedikit berbeda dibandingkan siswa-siswi yang lain. Badannya terlihat tegap berisi, tangannya berbulu lebat, wajahnya penuh dengan kumis dan jenggot yang tidak dicukur. Dibanding pelajar, siswa satu ini lebih terlihat seperti om-om preman pasar yang iseng ikut sekolah dengan keponakannya. Panji tidak menjawab pertanyaan dari om-om tersebut. Ia hanya menatap seluruh kelas yang menertawakannya seakan Panji adalah badut ulang tahun di ruangan ini. Om-om berseragam SMA itu melangkah semakin dekat, hingga akhirnya jarak Panji dan siswa brewok itu hanya tersisa kurang dari satu meter. Om-om brewok itu sedikit menunduk, lalu menatap mata Panji dari bawah, menyusuri tubuh Panji dari ujung kaki ke ujung kepala. Setelah itu, om-om brewok memutar kepala, menatap ke arah teman-teman sekelasnya. “Guru baru kita punya burung kecil, hahaha!” Tidak tahan dengan perkataan om-om brewok, Panji pun mulai naik pitam. “Hei, jaga mulutmu!” seru Panji, yang justru disambut dengan gelak tawa yang semakin keras dari seluruh isi kelas. Jonathan yang mendengar suara dari para siswa tingkat pertama yang mengolok-olok Panji, hanya bisa tersenyum sambil berjalan kembali ke ruangannya. “Aku harap kamu bisa memenuhi ekspektasiku, Panji. Aku berharap banyak ke kamu!” ucapnya pelan. Jonathan dan Tumimbal tidak sembarangan dalam merekrut calon guru yang akan mengisi posisi kosong di sekolah internasional tersebut. Para direksi pasti melihat rekam jejak serta kemampuan calon guru, disesuaikan dengan keadaan para siswa yang mengenyam pendidikan di Tumimbal. Jika sejak awal dirasa tidak akan memenuhi harapan, maka calon guru tersebut tidak akan dipanggil. Jonathan merekomendasikan Panji kepada pihak Tumimbal karena Jonathan tahu bagaimana kepribadian Panji. Ia selalu bisa berbaur dan menaklukkan murid-murid nakal di sekolah tempat ia mengabdi terdahulu. Bahkan pihak Tumimbal sudah melakukan pengintaian secara langsung dan menilai jika Panji memang layak untuk mengisi posisi kosong di Tumimbal. Namun satu hal yang mungkin di luar kuasa Panji adalah, siswa-siswi di Tumimbal sangat berbeda jika dibandingkan dengan para murid di luar sana. Kenakalan yang dibuat oleh siswa di sini, hampir mustahil untuk dikendalikan. Tetapi Jonahan percaya, Panji pasti bisa mengatasi para murid. “Wah, wah, guru baru kita rupanya berani nih, gaes. Hajar gak nih?” ucap om brewok sambil berdiri perlahan. Tinggi om brewok yang setara dengan Panji, membuat mereka berdua berdiri sejajar. Om brewok dan Panji saling tatap dengan serius. Baik om brewok maupun Panji, saling memberikan tatapan meremehkan satu sama lain. “Kamu bosnya di sini, ya?” sahut Panji sambil melipat tangan ke depan. “Mau hajar saya, kan? Silakan!” tantang Panji sambil membuka kedua tangan. Mendengar ucapan meremehkan dari gurunya, membuat om brewok ikut naik pitam. Dahinya berkerut, giginya gemeretak, dan tangannya mengepal keras. Ia siap memberikan pelajaran kepada guru yang sudah kurang ajar di kelas yang selama ini damai di bawah kekuasaannya. Sontak, om brewok maju dan mencengkram kerah baju Panji, mengancam ingin memukul sambil melotot. Panji masih membiarkan om brewok bertindak sesuka hati, ia justru tersenyum melihat aksi menggelikan di depannya. “Woi!” Om brewok menoleh ke belakang, ke arah teman-temannya yang seketika langsung berdiri. “Kayaknya ni guru culun perlu dikasih pelajaran gaes!” ucap om brewok yang langsung disambut gelak tawa oleh murid-murid yang lain. Panji mengawasi anak-anak yang mendekat ke arahnya, sekitar enam hingga tujuh siswa tampak ingin bertarung melawannya, termasuk satu perempuan yang memiliki tatapan tengil. “Hahhh!” Om brewok mengayunkan tangan, hendak memukul Panji tepat di wajah. Namun sayang, bukannya segera menyerang, om brewok justru berteriak yang membuat serangannya terbaca. Dengan santai, Panji menampar pipi om brewok, membuat kepalanya berputar. TIdak berhenti di situ, om brewok semakin marah karena rupanya Panji berani melawan. Ia kembali menatap Panji sambil melotot, “kurang ajar!” Om brewok kembali berteriak. Seketika Panji segera menendang biji om brewok dengan keras, membuatnya tersungkur sambil mengaduh. Kali ini, om brewok tidak sanggup lagi berdiri karena perutnya mual. Semoga saja masa depan om brewok masih bisa diselamatkan. Melihat om brewok tumbang, membuat anak-anak lain semakin geram terhadap Panji. Murid-murid yang lain segera mengepalkan tangan, hendak memukul Panji bersamaan. Dengan cekatan, Panji melompat ke atas meja, kemudian menendang kepala satu persatu murid yang melawannya. Murid-murid itu terpelanting menerima hentakan tendangan dari gurunya tersebut. Mereka mengaduh di lantai, memegangi kepala mereka yang terasa pusing. Sekarang hanya tersisa satu murid perempuan yang berdiri di barisan paling belakang, menyaksikan kawan-kawannya yang sudah tumbang di tangan Panji. Tapi sepertinya, perempuan ini tidak gentar melihat Panji mampu mengalahkan beberapa orang sekaligus. Perempuan itu merogoh sesuatu di kantong. Panji memperhatikan dengan seksama, lalu matanya terbelalak ketika mengetahui jika murid perempuan itu mengambil pisau lipat. “Hahhh!” Perempuan itu berlari menuju ke arah Panji dengan berteriak sambil mengayunkan pisau di tangannya dengan sembarangan. Dari atas meja, Panji mencoba menghindari pisau yang menargetkan kakinya itu dengan melompat, lalu ia menginjak telapak tangan murid perempuan yang berayun tepat di atas meja. Dengan santai, Panji mengambil pisau lipat itu dari tangan muridnya. “Pisau ini Bapak sita, ya? Kayaknya bahaya banget kalau kamu pegang ini,” ucap Panji dengan santai sambil melipat pisau itu dan memasukkannya ke saku baju. Sejenak kemudian, Panji melepaskan tangan murid yang ia injak. Perempuan itu segera melangkah mundur, dengan air mata yang mulai menggenang di kelopak mata. Dengan santai, Panji turun perlahan dan duduk di atas meja yang ia gunakan untuk berpijak sebelumnya. Ia memandang murid-murid di kelasnya dengan tatapan meremehkan, tidak pandang mereka lelaki maupun perempuan. Di antara semua murid, om brewok lah yang menjadi pusat perhatian Panji, karena om brewok tidak terlihat seperti anak SMA pada umumnya. Murid-murid yang tersungkur di lantai, sepertinya adalah pentolan di kelas ini, sementara siswa yang lain hanyalah figuran atau kacung. Panji berjalan mendekati om brewok perlahan, lalu berjongkok ketika ia tiba di atas om brewok. “Setelah ini, kamu ikut ke ruang BK, ya?” ucap Panji dengan santai. “Untuk murid-murid lain yang luka, segera ke ruang UKS! Murid yang sehat, kalian bantu temen kalian yang kurang ajar ini!” Panji pun berdiri dan kembali duduk di meja guru, sementara murid-murid yang ketakutan berbondong-bondon membantu teman mereka yang kesakitan. Murid-murid yang melawan Panji memberikan tatapan sinis kepada guru BK tersebut. Mereka sepertinya tidak terima jika harus kalah hanya dari satu orang guru yang tampak tidak terlalu hebat. Panji tersenyum kecut melihat pemandangan miris di depannya. Ia tahu, murid-muridnya sedang menaruh dendam. Tetapi sebagai guru BK yang terbiasa dengan konflik, Panji sudah siap menghadapi mereka kapanpun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD