Apa yang nampak sebagai suatu kemurahan hati, terkadang sebenarnya tak lain dari pada ambisi yang terselubung. Orang seperti ini, bersedia mengadaikan kebahagiaan sejati, demi untuk mengejar keuntungan yang lebih besar. Tidak ada kepuasan dari kata syukur dan memiliki. Keinginannya adalah merampas dan merampok.
Setelah subuh menjelang, pak Adi memutuskan untuk meninggalkan Kalila di dalam kamarnya. Ia ingin mengangkat takbir dan menghadap kepada sang Pencipta. Ia berjanji, setelah kewajibannya usai, ia akan kembali ke pintu kamar nona kesayangannya tersebut.
Gerak gerik pak Adi selalu dipantau oleh Elo. Ia memang harus keluar dari kamar ini dengan selamat, tanpa kepergok oleh siapa pun, agar bisa mengulang rencananya yang lebih sempurna.
Masih berada di bawah ranjang, Elo mendengarkan dengan seksama setiap detil bunyi yang tercipta dari gerakan membuka kunci dan pintu. Setelah yakin bahwa pintu utama lah yang dibuka, Elo langsung menggunakan kesempatan dan waktu sempit tersebut untuk keluar dari dalam kamar Kalila.
Sangking terburu-buru, Elo menabrak kursi di mana pak Adi duduk semalaman untuk menemani Kalila. Sudut tempat duduk tersebut bergeser dan Elo tidak memperdulikannya. Kemudian, dengan langkah cepat setengah berlari, Elo menuju ke dalam kamarnya, lalu berbaring di samping Rania.
Wanita lumpuh tersebut membuka matanya secara tidak sengaja. Namun, satu hal yang ia sadari. Yaitu, suaminya baru saja masuk ke dalam kamar mereka dan entah dari mana. Sayangnya, belum ada kecurigaan sedikit pun di hati Rania. Sebab, selama ini Elo tak pernah memperlihatkan gelagat busuk nan mencurigakan.
Setibanya di dalam kamar, Elo langsung tidur sangat nyenyak karena ia memang menjaga mata semalam suntuk, demi bisa melihat kesempatan untuk keluar dari kamar Kalila.
Sekitar pukul 07.30 WIB, Kalila terbangun. Saat ini, pak Adi masih di depan pintu kamar nona kesayangannya itu. Dahinya tampak tertekuk, dan hatinya mulai mengusik. Semua tentang posisi kursi di mana ia duduk semalaman untuk menjaga Kalila.
Laki-laki yang satu ini sangat teliti dan ia dapat mengetahui jika ada yang tidak beres, sesaat setelah ia meninggalkan kamar ini untuk shalat subuh. Hanya saja, pak Adi tidak berani untuk mengatakan apa pun karena tak memiliki bukti ataupun saksi.
"Pak!" sapa Kalila sambil menegakkan tubuhnya.
"Saya, Non," jawab pak Adi, langsung berdiri dan mendekati perempuan yang biasa ia gendong saat masih kecil dulu.
Kalila menarik selimut untuk menutupi dadanya. "Bapak masih di sini?"
"Sesuai janji, Non," jawabnya sambil memaksakan senyum.
"Makasih ya, Pak. Malam ini, aku tidurnya jadi nyenyak banget." Kalila tersenyum dengan wajah cerah. Tampak sekali tidak ada kebohongan di dalam tatapannya tersebut.
"Alhamdulillah kalau begitu, Non." Pak Adi menunduk. "Kalau ada apa-apa, kapan pun, di mana pun, telepon saja! Bapak selalu siap untuk membantu Non Lila, sama seperti dulu."
Kalila menunduk, sambil tersenyum lebar. "Maaf untuk segalanya ya, Pak!" Wanita berlesung pipi dalam itu menghela napas panjang. "Aku ... aku sudah mengabaikan Pak Adi. Padahal aku tahu, sejak dulu Bapak tidak pernah berubah."
"Non Lila ... ."
"Senyum itu, kasih sayang, kepedulian, perhatian, dan semuanya ... makasih ya, Pak."
"Non sendiri sudah tahu kan jawabannya?" Pak Adi kembali terbayang akan putrinya yang seumuran dengan Kalila.
Gadis mungil itu mengalami kecelakaan hebat saat pulang ke kampung halaman. Bukan hanya itu saja, bahkan istri pak Adi juga telah tiada, saat itu juga. Sejak kejadian naas tersebut, pak Adi menjalankan hidupnya yang suram dengan senyum dari bibir Kalila. Usia keduanya hampir berdekatan. Saat itu, Kalila berumur sembilan tahun, sementara putri pak Adi sepuluh tahun.
Bagi pak Adi, Kalila adalah cahaya hidupnya. Sementara menurut Kalila, pak Adi adalah orang kepercayaan yang selalu dapat diandalkan dan penuh kasih sayang. Pak Adi seperti ayah kedua bagi Kalila. Tetapi, setelah tragedi naas yang berulang terjadi di dalam hidup, Kalila berubah drastis dan ia tidak lagi banyak bicara. Bahkan, Kalila tidak lagi mampu mencerna perasaan orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Wanita cantik ini, lebih sering mengurung diri di dalam kamarnya. Ia mulai tidak suka berbincang-bincang. Padahal, dulu dia adalah gadis yang ceria, banyak bicara, dan penuh senyuman. Ketika Kalila menarik kedua sisi bibirnya dan melengkung, lubang kecil di kedua pipinya pun langsung memaniskan suasana.
"Kalau begitu, Bapak pamit dulu! Mau ke pos jaga. Non Kalila nggak apa-apa kalau ditinggal sendirian?"
Kalila tersenyum cerah, seraya mengangguk kecil dalam jumlah yang banyak. "Iya, Pak. Kalila juga mau mandi dan jalan-jalan. Mumpung masih punya waktu, menjelang papa pulang dan bertanya kembali soal pekerjaan," gerutunya tampak malas.
"Maaf, Non. Tapi kalau menurut Bapak ya, sebaiknya memang Non Lila bantuin tuan besar. Kasihan Non, sudah sangat tua dan butuh banyak istirahat. Selain itu, saya sudah berulang kali melihat beliau memegang dadaa kirinya."
"Benar itu, Pak?"
"Bapak bisa bohong kepada semua orang. Tapi tidak kepada Non Lila."
"Iya, Lila tahu itu. Hmmm." Kalila menghela napas dalam. "Aku akan memikirkannya kembali. Makasih lagi ya, Pak."
"Sama-sama, Non. Kalau begitu, Bapak tak pamit ya."
"Iya, Pak." Kalila mengantar langkah pak Adi saat keluar dari kamarnya, dengan sorot mata tampak teduh. Kemudian, ia membayangkan masa kecil hingga remaja dulu, ketika bersama papa, mama, Rania, dan juga pak Adi. Mereka adalah orang-orang yang begitu dekat dengan dirinya. Tetapi seolah terabaikan, saat ini.
Setelah cukup dengan semua ingatan indah masa lalu, Kalila memutuskan untuk membersihkan diri. Ia mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dan berusaha untuk tersenyum.
Sekitar pukul 09.00 WIB. Kalila yang ingin refreshing sebelum menjawab pertanyaan dari papanya esok hari, bergegas keluar dari rumah mewah ini, tanpa ingi menyapa Tania, apalagi Elo. Untuk itu, ia langsung pergi tanpa berpamitan.
Saat ini, Kalila yang sudah sangat cuek dengan hidupnya, tidak dapat merasakan situasi berbeda dan langgang di rumahnya. Padahal, biasanya ada tukang kebun yang bersih-bersih pada pukul segini, atau tercium aroma masakan yang wangi dari dapur. Namun sayangnya, Ia benar-benar tidak mengetahui, bahwa hanya ada dirinya, pak Adi, Rania, dan Elo sajalah di rumah tersebut.
"Non, hati-hati!"
"Iya, Pak. Sampai jumpa lagi." Kalila mengangkat tangan kanannya, sebagai ucapan salam.
Perjalanan mencari kebahagiaan pun dilakoni perempuan cantik berkulit putih, mulus ini. Ia berharap, akan menemukan senyumnya di suatu tempat, meskipun hanya sesaat.
Sementara di sisi Ken. Pria tinggi, tegap yang memiliki rahang tegas tersebut, memutuskan untuk melakukan aktivitas rutin di kantornya. Ia berusaha untuk melupakan kemarahan dan kembali bekerja dengan baik, sesuai dengan harapan mendiang kakaknya.
Tanpa terasa, jam makan siang menyapa pria tampan yang selalu menyikat rambutnya ke samping kanan itu. Rasa malas kembali menghantui, hingga Ken memutuskan untuk kembali merogoh isi tasnya untuk menikmati beberapa cemilan, sisa almarhum kakaknya.
Ken menatap tiga jenis makanan ringan yang dipenuhi dengan coklat. Makanan ini ia temukan di meja kerja sang kakak dan itu cukup membuatnya tersenyum hari ini. Walau begitu, lebih banyak helaan napas panjang, dari pada tawa. Tak dapat dipungkiri, Ken benar-benar merasa kehilangan satu-satunya kerabat yang masih tersisa.
"Ken!"
"Ndan!" Ken berdiri demi menghargai atasannya.
"Duduk saja!" pinta pria usia sekitar 45 tahun yang memang sengaja menyambangi Ken siang ini.
"Siap, Ndan."
Komandan menghela napas panjang. Ia juga tampak terluka atas kematian kakaknya Ken. Sebab, dia adalah orang kepercayaan sekaligus tulang punggung di dalam penyelidikan besar. Bagi sang komandan, kakaknya Ken adalah senjata hidup yang fleksibel dan bisa diandalkan.
"Misi terakhir yang dramatis. Bukan hanya kamu, tapi saya juga begitu kehilangan. Sejak dia pergi, saya bekerja seorang diri. Mungkin, kamu tidak bisa memahami isi hati saya. Namun satu hal yang harus kamu ketahui. Kehilangan abangmu, sama dengan kehilangan sebelah otak, mata, tangan, dan kaki saya," papar komandan dengan mata memerah. "Sekarang, saya tidak memiliki sebagian dari diri saya lagi."
"Ndan ... ." Ken menahan kolam kecil di dalam matanya yang sudah terbentuknya dengan sendirinya.
"Begitu berharganya dia bagi saya, hingga sampai detik ini, saya tidak bisa bekerja. Jadi, saya sangat paham dengan hatimu."
"Siap!"
"Jangan mengabaikan kesehatanmu! Bisa-bisa, dia akan marah dan menghantuk kepala saya, jika tidak mengingatkan kamu siang ini. Sebab, saya tahu. Sudah berapa lama kamu tidak makan, Ken."
"Siap, salah."
Komandan menepuk pundak Ken berulang. "Pekerjaan kita ini memang sangat beresiko. Sama seperti meletakkan nyawa di ujung peluru. Tapi, dia pergi dengan rasa hormat. Makanya, kita yang ditinggalkan, juga harus menghormatinya dengan melakukan apa saja yang dipesankan olehnya. Jangan membuatnya menderita lagi, Ken! Abangmu sudah tenang, bahagia, dan terhormat di sana." Komandan meninggalkan Ken sambil menyeka beberapa tetes air matanya.
"Siap, Ndan."
Setelah hanya tinggal seorang diri, Ken terdiam sejenak di dalam ruangan yang berisikan enam orang. Tanpa sengaja, ia melihat ke arah tas kerja yang dibawa. Di sana, tampak kilauan kecil dan seolah memanggilnya.
Tanpa sengaja, Ken kembali diingatkan tentang pencariannya terhadap Kalila. Ia pun bergegas untuk keluar ruangan, dan menyusuri jalanan utama kota, di mana dirinya sempat menemukan wanita cantik yang ternyata merupakan jodohnya.
Hanya berbekalkan bros baju milik Kalila, Ken mendatangi orang-orang dan bertanya. Entah dari mana ide itu muncul, yang jelas laki-laki tinggi, tegap itu berhasil mendapatkan titik terang atas usahanya.
"Ini real, original. Aku rasa, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat membelinya. Sebab, harganya sendiri berkisar antara 13 sampai 15 juta," ujar salah satu wanita yang Ken temui di deretan jalan utama restoran, di mana ia bertemu dengan Kalila, sebelumnya.
"Hmmm." Ken tampak semakin penasaran, dan memijat dahi.
"Tidak jauh dari tempat ini, ada toko yang menjual aksesoris sekelas ini. Kalau Anda mengikuti jalan utama, sebuah gedung berkelas dengan simbol huruf C besar, akan menyambut Anda di ujung sana. Coba saja!" sarannya karena melihat Ken sudah lelah.
"Benarkah?"
"Iya, tak jauh dari sini." Wanita berambut ikal tersebut, menunjuk arah sisi lain jalanan yang tampak cukup jauh, jika dengan berjalan kaki.
"Terima kasih," kata Ken sambil tersenyum.
Ken berjalan dengan cepat, meninggalkan kendaraannya di areal parkir khusus. Sangking cepatnya ia melangkah, rambutnya seperti terbang dan terjatuh dengan cepatnya.
Setelah kurang lebih lima belas menit, Ken pun tiba di toko yang disebutkan oleh perempuan asing, tempat dirinya bertanya. Seketika, senyum Ken mengembang. Ia pun berharap, agar segera berjumpa dengan wanita yang bisa membuatnya menerima sentuhan dari orang lain.
Sementara di kediaman tuan Husain, Elo sudah mengobrak-abrik isi kepalanya agar mendapatkan taktik, supaya bisa mencapai kesuksesannya malam ini. Ia sama sekali tidak bisa beristirahat dengan tenang, sebelum mendapatkan Kalila.
Rencana pertama, ia akan menyingkirkan pak Adi dengan cara memintanya untuk tetap berjaga di sepanjang hari. Semua agar pak tua kelelahan dan mengantuk, mulai sore menjelang malam nanti. Dengan begitu, ia tidak akan menjadi penghalang bagi rencana Elo untuk bergerak bebas membawa Kalila dan Rania.
Strategi kedua, Elo berencana untuk membawa Rania menginap di hotel malam ini. Semua itu, demi memancing Kalila agar keluar dari rumah. Dan yang ketiga, Elo akan memisahkan Rania dan Kalila setelah keduanya terlelap, serta dipengaruhi obat khusus.
Terakhir, Elo akan memindahkan Rania ke kamar yang berbeda, lalu menikmati tubuh Kalila dengan brutalnya. Semua sudah dipersiapkan dengan matang dan Elo percaya bahwa kali ini ia akan berhasil.
Bersambung.
Bagaimana malam ini, akankah Elo berhasil? Lanjut bacanya ya, jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku, makasih.