Mengapa ia meneteskan air mata? Apa ada hal yang cukup memancing kesedihan dari buku yang judulnya saja sudah susah dibaca menggunakan lidah orang Jepang itu?
“Ao kun, apa gerangan yang terjadi padamu? Apa ada anak yang habis mengganggumu? Katakan saja padaku dan akan aku hajar orang itu,” tanya Shuuya dengan raut khawatir. Ao sendiri adalah teman atau bahkan sahabatnya yang paling berharga. Satu-satunya orang yang bisa ia percaya di dunia. Tak enak sekali melihat orang yang punya posisi seperti itu tengah bermuram durja tanpa mengetahui apa yang jadi alasannya.
Ao berusaha menjawab dengan gelengan kepala lemah. Anak remaja polos itu menjawab, “Sama sekali tidak ada… Shuuya kun. Kau tidak perlu merasa khawatir.”
“Kalau begitu… masalah hal yang terjadi kemarin itu… apa maksudmu?” tanya Shuuya pada akhirnya. Tak kuat lagi menahan semua pertanyaan hanya dalam gejolak d**a yang tak jelas rimbanya. Mungkin apa yang ia rasakan sekarang ini sama dengan apa yang habis dirasakan oleh para wartawan barusan atau bahkan khalayak ramai yang penasaran dengan kisah cintanya di luar sana. Perasaan ingin sekali mengetahui sesuatu, tapi di saat sama harus dihadapkan pada fakta bahwa tidak bisa mengetahui apa pun itu yang ingin diketahui.
“Aku mohon, Hashimoto san. Lupakan saja semua yang sudah terjadi kemarin. Itu bukan sesuatu yang harus mendapat atensi atau perhatianmu. Apa pun itu. Hapus saja semua peristiwanya dari dalam kepalamu,” pohon Ao pelan. Kali itu ia sampai memanggil Shuuya menggunakan nama keluarganya untuk menunjukkan rasa tidak enak dan sikap formalitas yang lebih tinggi. Agar paling tidak aktor muda di hadapannya paham betapa seriusnya ia dengan permintaannya.
“Bagaimana kau pikir aku bisa lupakan semua itu semudah membalikkan telapak tangan? Kau sendiri lho, sahabat sekaligus orang yang paling aku percaya di dunia ini, telah menuduhku sebagai seorang Rieki Shinmei. Rieki Shinmei... apa, siapa atau bagaimana mereka bisa ada saja aku tidak tau. Jika kabar tidak jelas seperti ini sampai beredar di kalangan media… aku tak tahu apa yang akan terjadi atau apa yang harus aku lakukan untuk menangani masalah yang akan timbul selanjutnya tau,” balas Shuuya sedikit menaikkan oktaf suara. Namun, tetap menjaga agar tak terdengar oleh siswa lain yang saat itu ada di dalam kelas. Sampai terdengar bisa makin runyam masalah yang menimpa hidupnya.
“Tenang saja, Hashimoto san. Tak akan ada informasi dari IQCI yang bocor ke dunia luar. Aku bisa menjamin hal itu,” beritahu Ao berusaha menenangkan. Walau ia sendiri tak bisa rasakan ketenangan yang sama.
“Aku sangat kecewa padamu, Ao kun. Padahal aku pikir kita sahabat yang bisa saling terbuka tidak peduli apa pun masalahnya. Tapi, ternyata saat ini kau tengah sembunyikan suatu hal yang sebesar dariku dan kau bahkan enggan beri penjelasan apa pun soal itu,” ungkap Shuuya, ”Aku juga belum bisa sepenuhnya percaya. Dari sekian banyak orang yang ada di dunia… kenapa harus kau? Kenapa harus kau yang menuduhku dengan tuduhan yang begitu k**i?” tanya Shuuya dengan tatapan yang sangat sedih. Tatapan yang biasa ia gunakan saat memerankan karakter lelaki menyedihkan yang hanya akan menangis kala menghadapi suatu hal berat. Itu sama sekali bukan gayanya. Tapi, yang namanya hidup memang kadang-kadang menuntut hal berbeda dari kebiasaan.
Tanpa mereka sadari. Dari balik pintu kelas yang separuhnya terbuat dari kaca. Sepasang mata dengan sorot tidak suka tengah mengamati serius dengan curiga.
“Hei, daripada bicarakan hal tak menyenangkan seperti itu bagaimana jika kau katakan saja yang sebenarnya padaku? Soal gosip itu, dengan si model cantik,” tanya Ao sok merubah intonasi bicaranya jadi semangat dan lebih b*******h. Ia tutup sampul buku di atas meja.
Shuuya bergeming. Ao menelan ludah. Kembali menatap buku di atas meja. Ia sangat menyesal. Entah menyesali apa. Atau, apakah benar-benar harus ada yang mereka sesali dalam situasi seperti ini?
ꝆĐꞰ
Sepulang sekolah para awak media masih setia berjaga di depan pintu gerbang. Menunggu sang bintang muncul. Tidak peduli harus menghadapi penolakan keras dari pihak keamanan sekolah. Pendapatan mereka semua bulan ini ditentukan oleh statement apa pun yang meluncur dari bibir indah seorang Hashimoto Shuuya.
“s**l,” umpat Shuuya melihat wartawan yang masih setia menungguinya.
Di lorong yang mulai sepi. Shuuya melangkah dengan hati-hati. Sampai seseorang muncul di depannya. Shuuya hampir membuat suara geraman kesal karena melihat wajah santai orang itu.
Keduanya pun beranjak ke belakang sekolah yang pasti sudah tidak ada orang lain.
ꝆĐꞰ
Di belakang sekolah.
“Bagaimana bisa aku menghabisi nyawanya? Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk melawannya,” buka Shuuya kesal. Rasanya seluruh dunia saat ini tengah mengepungnya dengan masalah bertubi-tubi.
“Jangan tanyakan itu padaku, Shuuya san. Tugasku hanya mencabut nyawa mansuia yang kau perintahkan,” balas lawan bicaranya.
Shuuya menggigit bagian bawah bibirnya kesal. “Sejak yang ia ucapkan kemarin itu aku terus saja membayangkan bahwa dia akan jadi penghalang utama untuk semua. Penghalang paling besar menuju impianku yang bersih suci demi alam semesta. Impian untuk ciptakan kematian ideal bagi para manusia. Sungguh menyedihkan sekali.”
“Selain itu… jangan sebut dirimu sebagai seorang pembunuh, Shuuya san. Itu tidak tepat dan tidak pantas. Yang kau lakukan saat ini merupakan perintah Ia yang memiliki alam semesta. Selama kau mematuhi seluruh aturan main maka tak diragukan lagi kau akan mampu jadi pemenang dari semua ini,” nasihat seseorang itu. Ia melanjutkan, “Jangan bersikap atau menunjukkan gelagat orang yang lemah. Kau bukan lagi seorang manusia saat ini,” peringatnya lagi, dengan lebih dalam dan serius.
“Erick, kau harus membimbing aku. Takhta sebagai King of the God of the Death tak boleh jatuh pada manusia yang tidak tepat,” tekad Shuuya seraya menatap kedua bola mata tajam yang Erick tunjukkan.
Pemuda dengan rambut berwarna pirang alami yang tampak cocok dengan kontur wajah ala kaukasian-nya itu berlutut di hadapan Shuuya lantas berkata, “Yes, my Lord.” Namun, setelah itu wajahnya malah menyiratkan keraguan yang tak bisa ditepis. Berbanding terbalik dengan penampilan yang klimis. “Akan tetapi…”
“Ada apa?” tanya Shuuya curiga.
“Sebaiknya kau segera menyelamatkan orang itu,” jawab Erick.
“Siapa?” tanya Shuuya dengan tatapan sedikit curiga.
…aku akan hancur tanpamu. Begitu juga denganmu yang bukan siapa pun tanpa aku…