Esoknya. Pagi hari di kelas yang masih sepi.
“Aku tidak menyangka kau terus berkelit perihal hubunganmu dengan Hatsuka Akane. Sebenarnya kalian itu benar-benar pacaran atau tidak?” tanya Ao dengan wajah kesal. Entah apa yang membuatnya kesal. Mungkin perasaan Shuuya. Jika Shuuya kesal. Ia akan merasa lebih kesal.
“Aku dekat dengannya hanya untuk film yang kami bintangi berdua. Itu saja. Semua orang malah salah paham,” terang Shuuya.
Ao menengok ke Iphone miliknya yang menampilkan sebuah video yang membingkai wajah manis model dan bintang film Hatsuka Akane.“Tapi, dia berkata yang sebaliknya. Pantas saja media massa penasaran.”
“Dia memang mengharapkanku,” beritahu Shuuya.
“Sayang sekali,” tatap Ao kecewa.
“Aku sangat sibuk. Mana sempat punya waktu untuk pacaran,” balas Shuuya.
“Kesibukan apa?” tanya Ao. Tekanan yang ia pakai pada pertanyaan itu berbeda dengan ucapan yang biasa ia gunakan.
“Tentu saja pekerjaanku,” jawab Shuuya tenang.
Tiba-tiba sepasang tungkai pemuda bernama Erick Haires memasuki kelas mereka. Pemuda itu menghampiri Shuuya di tempat duduknya. Beberapa anak yang sudah hadir di kelas itu melihat aneh. Bagai melihat pemandangan antara pangeran dan rakyat jelata.
Shuuya terbelalak. Bertemu di khalayak umum menyalahi kontrak yang telah mereka sepakati. Selain itu untuk berhubungan satu sama lain kedua belah pihak wajib menggunakan armband masing-masing. Armband yang melambangkan level kekuatan dari Shinigami. Sementara pada kasus ini seharusnya Erick Haires tidak memiliki hubungan dengan Hashimoto Shuuya. Spontan Shuuya gugup.
Pelan pemuda asing itu berkata, “Aku penggemarmu. Boleh keluar untuk minta foto?” ajaknya ramah.
Dengan alasan profesionalitas akhirnya Shuuya menuruti permintaan Erick. Di balik itu semua Ao mencium intrik mencurigakan dari semua ini. Lalu, ia membaca suatu pesan pada telepon genggamnya. Kemudian menghubungi seseorang.
“Awasi Hashimoto san!” katanya ketus. Berubah dari cara bicaranya selama ini.
Suara di seberang menjawab, “Ha, Hashimoto? Bukankah dia…?”
Ao berkata tajam, “Ini perintah.”
Erick mengajak Shuuya melewati lorong-lorong seolah yang masih sangat sepi. Mengikuti kebiasaan Ao untuk selalu datang pagi.
Shuuya menggunakan armband-nya dengan raut kesal. “Ada apa sih?” tanyanya.
“Aku lelah jika harus begini terus. Aku ingin lebih bebas. Jika kau mengizinkanku melepas wujud manusia ini. Kau bisa berhubungan denganku kapan pun. Kau juga bisa menulis di Death List di mana pun. Meskipun levelku yang tertinggi jika begini terus kau akan semakin tertinggal dari Aspirant lain. Lihat saja daftarmu selama dua tahun ini,” peringat Erick.
“Aahh, berisik! Aku tahu apa yang kulakukan. Aku ingin kau menyelidiki apa itu IQCI. Dan apa hubungannya dengan Ao. Selain itu kau juga harus melakukan sesuatu,” perintah Shuuya.
“Aku jadi semangat jika kau bicara begitu.”
“Dewa Kematian tak akan meninggalkan jejak ketika mencabut nyawa seseorang, bukan? Aku akan semakin sibuk sekarang.”
“I’ll wait your order, my Lord.”
Tidak banyak yang terjadi saat jam pelajaran. Guru menerangkan seperti biasa. Aku tidak harus mendengarkan ucapannya. Ao akan meminjamiku catatannya dan aku tinggal mengulang di rumah. Setiap detik waktuku sangatlah berharga. Terkadang sulit untuk mencegah timbulnya kantung mata karena kurang tidur. Saat di sekolah aku harus memikirkan siapa saja orang disekitarku yang kiranya pantas mati. Mencatat namanya dalam buku catatan yang kusamarkan sebagai catatan pelajaran Bahasa Masa Lalu. Saat di rumah aku akan berkutat dengan internet dan mencari siapa saja manusia di luar sana yang kiranya pantas mati. Di akhir minggu aku akan memeriksa apakah mereka telah memenuhi persyaratan untuk mati. Diantara faktor pertimbangannya adalah perilaku baik (merit) dan buruk (sin) selama hidup. Jika menurut Blank Record mereka belum pantas mati. Aku tak boleh memerintahkan Erick untuk mencabut nyawanya dengan susunan kematian yang telah kurancang dalam Death List. Tapi, meskipun begitu jika menurutku ia pantas mati. Maka aku akan tetap membunuhnya. Aku akan memerintahkan Erick untuk memancing target agar melakukan hal yang akan memenuhi kecukupan syarat dalam Blank Record. Dengan urutan kerja seperti itu aku akan melampaui score para Aspirant (kandidat raja Dewa Kematian) lain meskipun aku tidak harus membunuh terlalu banyak manusia. Dengan kemampuanku menyistematikakan merit and sin secara seimbang. Kematian satu orang saja akan berdampak besar pada kelonjakan score-ku.
Sejak mengenal Ao aku mempelajari sesuatu. Otak itu lebih kuat daripada otot. Sejak itu juga aku menyadari. Bahwa aku memang dilahirkan untuk ini. Bukan menjadi aktor, penyanyi, maupun model. Tapi, menjadi pembawa kedamaian untuk dunia yang mengalami salahnya kehilangan. Sebelum itu tentunya aku harus melenyapkanmu.
Keaven.
Sepulang sekolah.
Ao sahabatku yang terbaik. Temanku yang pertama. Dan satu-satunya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada dunia sampai terjadi sesuatu padanya. Meskipun diriku ini lemah. Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk sesuatu yang berharga dalam hidupku. Karena itulah makna saling memiliki. Aku tak ingin kehilangan lagi. Aku juga tidak ingin orang lain kehilangan.
“Hashimoto san, ada apa?” tanya Ao pada Shuuya yang berjalan di sisinya.
“Kau itu memang tidak bisa apa-apa jika tidak ada aku. Mulai sekarang setiap pulang sekolah aku akan mengantarmu,” jawab Shuuya.
“Hashimoto san, aku rasa tidak perlu. Kau itu selebritis. Penting untuk jaga image,” protes Ao.
Shuuya langsung memegang erat kedua pundak Ao. Menghentikan langkahnya. “Aooo kuuun! Di luar sana ada pembunuhan misterius. Mana bisa aku membiarkanmu?” tanya Shuuya.
Ao menenggak ludahnya. Inilah wujud kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan. Kasih sayang dari seorang keluarga.
“Lagipula aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”
Telepon genggam Ao tiba-tiba berdering. Pertanda sebuah panggilan. Wajahnya sangat gugup saat melihat nama yang tertera pada display.
“Hashimoto san, kita bertemu di rumah. Aku ada telepon penting,” ucapnya sambil berlari menjauh. Shuuya menyipitkan kedua matanya. Ia rasa sejak saat itu Ao menjadi sedikit aneh.
“Wedding, ada apa?” tanya Ao.
“Tujuh orang penumpang pada Shinkansen jurusan Nara ditemukan meninggal karena mati otak. Aku pikir ini ada hubungannya dengan Rieki Shinmei. Kriteria kematiannya sesuai dengan yang dikatakan oleh Mazeltov. Kita harus mengadakan rapat sekarang,” terang seseorang yang dipanggil Wedding itu.
Ao menundukkan kepalanya. “Sekarang tidak bisa.”
“Jangan bercanda! Kau…sangat dibutuhkan.”
“Tapi… Hashimoto san menungguku.”
“Memang dia sepenting itu untukmu.”
“Untuk perintah tadi pagi… tarik kembali. Lanjutkan besok. Selain itu beritahu pada divisi satu hingga divisi tujuh bahwa mungkin aku akan sibuk dalam dua hari ini. Siapkan laporannya. Akan aku periksa lusa.”
“O, oii!!!”
Tit.
Ao menghela nafasnya lega. Mereka bisa memanggilnya kapan pun. Tapi, tidak dengan waktunya bersama Hashimoto.
Dari balik pohon yang tidak jauh dengan posisi Ao. Shuuya menguping penuh kecurigaan. Pasti ada yang Ao sembunyikan darinya. Bagaimana ini?
Namun, sebagaimanapun obsesinya untuk memenangkan seleksi ini. Ia tak akan sampai hati mengintip hati Ao. Kepercayaannya pada Ao melebihi kepercayaannya pada dirinya sendiri. Ia sangat takut kehilangan lagi.
Shuuya melangkah dengan tenang memasuki sebuah kamar apartemen kecil.
“Selamat datang, Hashimoto san. Aku sudah siapkan cemilan untuk kedatanganmu. Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Ao.
Shuuya tidak merespon hangat sambutan Ao. Ekspresinya mengeruh. “Cepat katakan padaku. Siapa kau sebenarnya?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.
Ia tunjuk dagunya sendiri. “Aku…?”
“Siapa orang yang menelponmu tadi?” tanya Shuuya lagi.
Apa dia sudah mengikuti aku? “Wedding Nehl. Hanya teman lamaku. Ada apa?”
“Apa hubunganmu dengan para Rieki Shinmei? Apa hubunganmu dengan IQCI?” tanya Shuuya lagi dan lagi.
“Sudah aku bilang kan kalau aku ini hanya suruhan. Aku tidak tahu apa pun soal alasan di balik perintah itu. Aku ini hanya boneka untuk mereka,” jawab Ao.
Shuuya merasa Ao memiliki alasan sendiri yang buatnya sampai tak kuasa ceritakan semua yang sesungguhnya. Maka ia berkata, “Aku akan berusaha untuk cari tahu semua sendiri. Kau tenang saja.”
Shuuya meninggalkan Ao. Ao melihat Shuuya yang semakin menjauh dari jendela kamarnya.
“Jangan. Jangan lakukan hal itu, Nii san!”