chapter 03

943 Words
Berada pada titik terburuk saat apa yang kamu inginkan tidak tercapai. Kehilangan keberanian, mimpi, bahkan semua hal yang sudah tercatat rapi pada kisah berlabel masa depan. Di mana puzzle itu siap kamu susun, namun datang badai menyapu meja milikmu. Setiap kepingannya hilang, bahkan tempat untuk menaruh satu bagian pun sudah tidak ada. Lenyap. Katanya, bermimpilah setinggi langit. Berusaha dengan keraslah untuk menggapainya. Bagaimana jika kamu sedang berada di posisi seperti Inge yang kehilangan semuanya? Semuanya yang semula kamu anggap mimpi. Yang pantas kamu kejar, Pantas kamu perjuangkan, Pantas kamu dedikasikan sebagai hal utama mengapa kamu hidup di dunia ini. Tidak ada lagi celotehan bahagia seputar mimpi. Jangankan untuk meraihnya, keinginan itu saja bahkan terhempas hilang. Tersapu rasa menyakitkan yang disebut kehilangan. Dua hal yang menurut Inge terbaik sebelum dunia menjungkir balikan semuanya: Sang Papa, dan berenang. Inge hanya terfokus pada dua hal itu. Berlatih dengan giat di dalam kolam air biru tenang untuk membahagiakan Papanya. Membahagiakan Papanya lewat piagam-piagam itu, menjadi juara pertama dalam semua lomba renang. Semula, semuanya tampak sempurna. Bahkan Inge bisa melakukan hobi terbaiknya sambil berbahagia bersama sang Papa. Dulu, Inge seperti mudah menaruh dunia di bawah kakinya. Kini, ia bahkan tidak ingin membuka mata. Sesaknya terasa lagi jika tahu semua mimpinya sudah hilang tak tersisa. "Kenapa kamu nggak ambil saya saja malam itu?" Inge mendengkus ketika membaca sebuah koran yang membahas tentang kecelakaan maut tiga bulan lalu. "Tuhan, kenapa kamu membiarkan saya hidup tapi diri saya mati?" Berjalan lunglai, gadis yang masih memakai seragam lengkapnya itu menelusuri kamarnya yang berantakan. Menbuang tas gendong berwarna hitam ke atas tempat tidur, sedangkan dirinya melangkah ke kamar mandi. Inge memenuhi bath up dengan air dingin sampai terisi penuh. Jari telunjuknya menelusuri genangan air yang mulai beranjak naik. Bersenandung lagu sedih, amat sedih sehingga siapa saja yang mendengarnya akan paham dari lirik yang terucap. Tanpa membuka seluruh pakaiannya, Inge naik ke bath up. Menenggelamkan diri, merasakan dinginnya air pada seluruh tubuhnya. Kepalanya perlahan turun sehingga wajah cantiknya yang sudah memilih berhenti untuk tersenyum itu saat ini terbasuh air. Inge menahan napas, sengaja membiarkan air mulai masuk ke dalam paru-parunya lewat mulut. Mencoba mengakhiri hidup? Ah, Inge bahkan lupa berapa kali percobaan itu sudah ia lakukan. Sayangnya Tuhan begitu kejam padanya. Tuhan masih terus dan ingin melihat Inge hidup tanpa apa pun. Tuhan tidak semudah itu membuat Inge bertemu Papanya. Tok! Tok! Ketukan pada pintu kamar membuat Inge tersadar untuk menaikan wajahnya pada permukaan. Lihat, sekeras apa pun ia mencoba hilang dari dunia ini, Tuhan masih tetap tidak mengizinkan. Ironis. "Inge lagi mandi, Ma!" Inge berteriak, turun dari bath up untuk mengambil handuk yang ia pakai mengeringkan tubuh kuyupnya. "Setelah selesai, temui Mama di meja makan, ya," sahut Mama dari balik pintu. Inge hanya menjawab 'Iya', lalu buru-buru melangkah menuju lemari untuk mengambil baju santai. Sempat menyisir rambutnya sebelum keluar dari kamar untuk menemui sang Mama. "Ada apa, Ma?" tanya Inge setelah ia duduk di hadapan orang tua tunggalnya. Delima, Mamanya tampak begitu risau. Wanita berumur empat puluh tahun itu menunjukan sebuah surat kepada Inge yang mengambilnya dengan dahi mengkerut. "Rumah kita disita?" Inge langsung menatap Delima tidak percaya. "Kok bisa, Ma?" Delima sudah terisak, ia juga tidak tahu harus menjelaskan dari mana. Semua fasilitas mewah yang ditinggalkan suaminya itu sebeneranya harus sudah ditarik semenjak dua bulan lalu. Namun sekuat tenaga Delima menutupinya dari Inge karena ia tahu persis putri semata wayangnya itu tidak bisa hidup tanpa semua fasilitas mewah yang ada. "Ini alasan kenapa credit Inge juga nggak bisa dipake?" tanya gadis itu dengan suara rendah. Delima mengangguk dengan ekpresi sedih dan merasa bersalah. "Maafkan Mama, Sayang. Maaf, karena kita udah nggak punya apa-apa lagi." Inge memijat pelipisnya, suara decitan kursi yang terdorong ke belakang menandakan bahwa ia baru saja menerima sebuah kabar buruk. "Mobil kamu bukan Mama servis, Nak. Tapi sudah diambil bank. Maafkan Mama yang sembunyiin ini semua dari Inge." Delima semakin kehilangan kata-kata. Hatinya sama retak seperti Inge dan ia merasa gagal menjadi ibu ketika melihat pelupuk mata anaknya mulai mengeluarkan genangan. Inge butuh waktu. Inge butuh suasana sepi sendirian, sehingga ia langsung berlari ke kamarnya. Menutup pintu dengan keras, mengunci itu agar Mamanya tidak bisa masuk. "BELUM PUAS?!!" Berteriak sekuat tenaga adalah hal yang pertama kali Inge lakukan. Ia juga sudah membanting benda apa saja yang terdengar nyaring ketika terjatuh pada lantai. "BELUM PUAS NGAMBIL PAPA DAN SEMUA MIMPI-MIMPI GUE?! SEKARANG APA LAGI, TUHAN?! BELUM CUKUP BIKIN GUE MENDERITA?!" Prang!! Sebuah miniatur piala yang Inge dapat ketika dirinya menjadi juara berenang olimpiade se-Jakarta dua tahun lalu dilemparkan dengan sekuat tenaga olehnya. Inge terus berteriak, membiarkan rasa sakitnya menjalar lewat air mata. Ia menarik ujung rambutnya dengan kencang, mungkin lebih baik jika helaiannya terlepas dari kepalanya. Dengan tangan bergetar menahan amarah, gadis itu mengambil pecahan miniatur piala. Menatapnya dengan tawa getir, dan tanpa aba-aba menggoreskannya langsung pada segurat hijau yang berada pada lengannya. Cairan merah kental nan pekat itu menyambut Inge yang terduduk lemas masih dengan isakan. "Inge! Inge buka pintunya!" Sayup-sayup Inge mendengar pintu kamarnya diketuk keras. Suara Delima terngiang di telinga Inge. Begitu pilu, bercampur khawatir nan menyedihkan. Inge hanya menatap sedih cairan merah yang baginya terasa keluar begitu indah. Berbisik pada keheningan dirinya sendiri, harapan hidupnya kembali hilang. "Pa, jemput Inge, Pa...." * Yang terlihat kuat, bisa saja lukanya lebih berat. Yang terlihat tangguh, mungkin saja ia ingin mengeluh, meluruh, serta ingin ditanya apakah sudah lelah? Yang terlihat begitu bahagia, mungkin saja menyimpan luka teramat lama. Yang terlihat bersemangat, bisa saja ia tak punya apa-apa lagi untuk ia jadikan acuan bangkit. Yang terlihat seperti tidak tersentuh, mungkin saja ia sedang menyimpan masalahnya rapat-rapat. Jika kamu ingin melihat seberapa sedih ia menangis, lihatlah seberapa bahagia ia tersenyum. Eccedentesiast.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD