chapter 01

1533 Words
Dua pasang bola mata itu beradu pandangan. Sorotnya saling menajam bagai sebilah pedang Goblin yang meminta dicabut oleh pengantinnya. Ah, atau dia memang berada dalam drama Korea fenomenal itu dan menjadi seorang Eun Tak si jiwa yang hilang? Teruslah berkhayal, Inge bodoh... Namun mata orang itu, terus mencoba mengintimidasinya. Mengolok-olok lewat kelopak yang seharusnya sudah menutup dan tak terbuka lagi sejak dua bulan yang lalu. "Inge..." Gadis itu menemukan sinyal dari otak agar menyuruhnya menggebrak meja, namun masih ia tahan. Kewajibannya menghentikan perdebatan pada pikiran sendiri. Meski suara itu mulai mengganggunya. "Inge... makan tomatnya, Inge..." "Inge, tomatnya seger lho..." "Inge, saya tahu kamu mendengar saya." "Inge!! Inge!! Inge!!" "Diem!" Suara Inge yang sudah tidak bisa ditahan lagi membuat seorang ibu yang tengah merebus kentang menghentikan aktifitasnya. Melirik, "Inge ngomong sama Mama?" tanyanya. "Bukan." Inge lantas menggeleng sambil tersenyum tipis, sadar keceplosan. "Ngomong sama lalat, Ma." "Saya lalat, Nge?" Suara itu terdengar lagi. Ketika sang Mama sudah kembali pada pekerjaannya, Inge mendelik pada satu makhluk di hadapannya. Wajah pucat itu sungguh mengganggu mata Inge. Seorang hantu perempuan memakai gaun pengantin berwarna putih mencoba mengobrol dengan Inge... "Lo diem, deh!" Inge menggeram, telunjuknya ia simpan di depan bibir. "Masih sore udah berkeliaran!" Makhluk yang dapat Inge lihat namun orang lain tidak bisa itu terkekeh pada Inge. Siku tangannya ditaruh di atas meja makan karena jari-jarinya memangku kedua pipi pucatnya. "Saya bosan, Inge. Saya ikut kamu, ya?" Inge langsung menolak, menggeleng keras. "Nggak! Udah deh, sono lo lenyap atau gue tusuk---" Gadis itu mengambil garpu, menunjukannya pada si hantu, dan bagai asap terhempas kipas besar, dia langsung menghilang bersama udara senja. "Di mana-mana tuh manusia yang takut sama hantu, ini malah ada hantu takut diancam." Gadis itu kembali menaruh garpunya, berpindah pada sepotong paha ayam yang harus segera ia habiskan agar segera pergi menemui orang yang ia sayang. Inge berhasil menyelesaikan makan sorenya, menaruh piring kotor pada tempat cucian lalu menyalami tangan kanan Mamanya untuk pamit. Ketika Inge membuka pintu utama dan melangkah menyelusuri trotoar, senja kali ini terlihat tak seredup biasanya pada bulan Desember. Mungkin langit sedikit bosan menangis sehingga memilih tersenyum sebentar bersama mentari sebelum bola besar berwarna oranye itu pulang untuk berganti tugas dengan dewi malam. Kaki mungilnya menapaki sebuah jalan kecil yang dihiasi batu nisan berbagai nama pemilik di sekelilingnya. Ada beberapa orang yang duduk terdiam setelah memberi sebuket bunga. Mungkin mereka merindukan seseorang yang terlebih dahulu menemui Tuhan. Sama seperti Inge, ia pun sedang merindukan seseorang maka dari itu ia mengunjunginya. "Sore, Papa..." Ada senyum ikhlas dari bibir gadis itu. Dia berjongkok di hadapan sebuah gundukan tanah, membersihkan beberapa potongan daun terikhlas yang harus mengucapkan salam perpisahan pada tangkai. Helai-helai gugur itu datangnya dari pohon setengah besar di sebelah pengistirahatan sang Ayah. "Pa, Inge sama Mama baik-baik aja. Jangan khawatir, okay?" adunya, selalu. "Papa harus bahagia di surga Tuhan." Inge hanya butuh sepuluh menit sebelum senja berganti, setelah itu ia akan pergi dari sana. Membawa rindunya kembali pulang. Menekan sesak, menghadapai kenyataaan. Ketika Inge berjalan melangkah meninggalkan pekarangan makam, ia melewati sebuah nisan seseorang. Riyanti Jamemma. Inge mengalihkan pandangan dari nisan, lalu bertemu sosok menyebalkan yang selalu mengganggunya. "Inge, kali-kali kunjungi kuburan saya dong!" katanya. Inge berdecak, membawa jari telunjuknya pada nisan. "Ini rumah lo, kapan mau balik ke akhirat, Riyanti?" "Ah! Kamu menyebut nama saya, Nge! Kita teman?" "OGAAAAH!" Inge melanjutkan perjalanan dan untung saja hantu yang satu itu tidak membuntutinya. Ada beberapa makhluk seperti Riyanti di sini, melambaikan tangan pada Inge. Mengajak bercanda. Gadis itu hanya tersenyum kikuk karena tak ingin disebut aneh oleh pengunjung lain yang masih berstatus manusia. Mengenai ini, Inge punya penjelasan. Lima bulan yang lalu ia mengalami kecelakan cukup parah karena mobil yang dikendarai oleh papanya menabrak pembatas jalan. Papanya meninggal di tempat, sedangkan Inge harus kehilangan semua keberaniannya. Setelah kecelakaan itu, dokter memberi tahu bahwa ia kehilangan kemampuan mengenali warna biru. Namun tak ada yang tahu bahwa sekarang Inge malah bisa mengenali mana hantu, mana manusia. Awalnya menyeramkan, namun Inge mulai terbiasa. Lagi pula, hantu-hantu itu berwajah bak manusia normal, bedanya kaki mereka tidak menapak walau terkadang berjalan seperti manusia pada umumnya. Bahkan Riyanti kadang-kadang hanya menunjukan kepala, badannya tertempel pada tembok. Untung saja hantu yang satu itu wajahnya cantik. Apabila Inge menjadi seperti Eun Tak yang bisa melihat hantu, namun setelah itu bertemu siluman tampan nan kaya raya, pasti hidupnya akan subur makmur. Menikah, bahagia selamanya. Sayangnya, Inge tak percaya pada hal-hal seperti itu. Inge menyumpahi happy ending, dan cinta. Baginya, dua hal itu adalah sampah. ❄ "Ingesti Gloria..." Dua buah headseat yang menyumpal pada telinga itu terpaksa harus dilepaskan walau enggan. Berhadapan dengan singa lapar nampaknya menjadi kegiatan rutin seorang Inge. Gadis itu nampak cuek, duduk di bangku paling pojok mendengarkan musik EDM sampai aktivitas serunya itu harus terganggu panggilan dari the king of BP. "Ikut saya!" "Baik, Pak," jawab Inge malas-malasan. Mejanya ditendang Shaen, sahabatnya, yang langsung meminta penjelasan. "Harusnya gue, b**o, yang dipanggil!" "Lo ngapain?" Inge sudah bangkit berdiri, siap mengikuti pak Giri---BP baru karena BP senior SMA Mahardika sudah tiada. "Mainin bel," jawab Shaen. Dan dengan napas santai tanpa putus-putus, Inge berseru, "Gue bikin tiga anak cowok kelas 12 masuk UKS karena mimisan." "Oke, lo emang pantes dipanggil." Inge terkekeh, melangkah keluar kelas yang sedang free karena ini jam terakhir. Siap-siap disidang, Nge... Langsung masuk tanpa mengetuk, itu yang dilakukan Inge. Ada tiga korban yang hidungnya dicocok kapas sedang duduk di hadapan Pak Giri. Ketiga curut itu ketakutan ketika pandangan mereka bertemu Inge. "Pak, aduh, ngapain Inge-nya dipanggil? Kita nggak pa-pa, Pak! Suer!" kata seorang cowok yang mulai panik bercampur ngeri. Pak Giri berdeham, meminta agar Inge segera menempati satu kursi kosong yang sudah disiapkan. Atmosfir berubah menjadi mencekam. Lima puluh persen kekuasaan Pak Giri, lima puluh persen lagi bad girl-nya Inge. "Konsekuensi adu jotos di Mahardika adalah?" Pak Giri memancing, kumis tebalnya naik-turun. Mereka menjawab serentak, "Membersihkan toilet dan makan siang bersama di kantin selama satu minggu dengan orang yang diajak berantem. Serta membayar denda sebanyak lima puluh ribu dikali per-tonjok." "Pintar. Nah, Inge, lima puluh ribu kali berapa uang denda yang harus kamu bayar?" sindir Pak Giri dengan kejam. "Dikali tiga, seratus lima puluh ribu," jawab gadis itu. Sialan. "Uangnya harus diserahkan besok dan sekarang kalian selamat membersihkan toilet, jangan lupa nanti makan siang bersama di kantin, ya." Mereka bubar setelah Pak Giri memberikan ultimatum. Inge sempat mendelik sadis kepada ketiga korbannya yang sudah ngacir duluan menuju toilet khusus cowok. Gadis itu menghela napas, memikirkan toilet yang harus ia bersihkan juga. Tidak kotor sih, namun tetap saja malas. Inge sudah seperti akan perang dengan kuman. Tangan kanannya memegang pel, tangan kirinya memegang ember. Lengan seragam sekolahnya sudah ia lipat sehingga bisepnya yang tak seberapa itu terlihat. "Astaga, males banget gue. Tahu gitu ditonjoknya di luar Mahardika aja biar gue nggak kena hukum!" Meski mengomel, Inge tetap mengerjakan hukumannya sampai ia mendengar sebuah tangis yang amat pilu. Hantu? Sepertinya bukan. Suara itu datang dari bilik paling ujung toilet. Dengan langkah mengendap, Inge mencoba menggapai pintu. Ketika ia dorong sedikit, ternyata tak dikunci. Brak! Pintu itu terbuka sepenuhnya gara-gara Inge, dan ia melihat seorang anak cowok di toilet khusus cewek. Tolong garis bawahi: sedang menangis tersedu-sedu. Duduk di toilet, menghabiskan gulungan tisu yang seharusnya dipakai setelah boker. "Maxon?" Dahi Inge sukses mengkerut, tak paham pada apa yang ia lihat. "Lo ngapain, Max? Nangis? Di sini?" Anak cowok yang menjadi tersangka itu melanjutkan acara menangisnya. Seragam putih berlambang yayasan SMA Mahardika pada kantung dan juga tertempel nama Anaresh Maxon di bagian kiri seragam itu terguncang hebat. Karena si pemilik menangis kejer. "Lo ngapa dah, Onta?" Inge jadi takut bahwa Maxon kesurupan. Ia tak pernah melihat cowok menangis dengan se-lebay ini. Inge mencoba menghampiri salah satu the most wanted di sekolahnya ini. Inge tahu bahwa Maxon aneh dan indigo namun tak percaya bahwa ternyata Maxon lebih dari itu. Selembar foto seorang gadis yang berciuman dengan seorang pria lebih dewasa terselip antara jari-jari Maxon. Foto itu hampir basah karena mendapatkan hujaman bertubi-tubi dari air mata Maxon. "Pacar gue selingkuh, Nge. Sakit banget," adu cowok itu. Tangan kanannya menghajar d**a dengan gerakan cepat, napasnya tak beraturan. "Gue sayang sama dia nggak pake alasan. Ini yang gue dapet?" Bingung. Jujur, Inge bingung. "Max, lo... yang sabar---" Maxon langsung mendekap Inge erat sebelum gadis itu berhasil melanjutkan ucapannya, tak membiarkan Inge terlepas. Jika di posisi sedang tidak seserius ini, pasti Inge sudah membuat wajah Maxon babak belur namun kali ini Inge memilih mengusap lembut punggung cowok itu. "Sakit banget, Nge," adu Maxon lagi. "..." "Rasanya kaya patah, ketika tahu orang yang sangat gue percaya ternyata malah jadi yang paling hebat memberi luka." "..." Inge tak bisa menjawab. "Sakit banget, Nge..." Inge tak bisa berurusan dengan patah hati seseorang. Itu bersifat pribadi, mutlak. Pelukan itu terlepas secara perlahan. Maxon sudah tak menangis walau napasnya masih belum teratur. "Cowok nggak boleh nangis," kata Inge. Ia menggeleng, menepuk bahu Maxon. "Apalagi lo termasuk ke dalam cowok idola di sekolah terkutuk ini. Lo bisa dapetin yang lain, Max. Cewek-cewek ngantri pengen jadi pacar lo." "..." "..." Hening, sampai Maxon bertanya dengan suara sendu, "Inge, lo pernah jatuh cinta?" Binar Inge yang memang tak seberapa itu seketika semakin redup. "Maksud lo, keadaan di mana orang bisa jadi sebodoh lo, Max?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD