3. About Him

1290 Words
"Waah jadi ini wanita cantik yang selalu kau ceritakan pada Bunda, Nak? Hai! Ayolah jangan menunduk. Perkenalkan dirimu!" Apa tadi? Bercerita apa saja si dokter tampan ini pada ibunya? Apa dia tau perihal wajah palsuku ini? Ahh sudahlah! Jangan mempermalukan dirimu sendiri, Sharen. "Selamat siang, Buk! Namaku Shar__," "Claudia Prillyameca, Bun!" Apa? Seenaknya saja dia mengubah namaku. Aku memandangnya tajam. Dia membalas tatapanku dengan penuh ketegasan. Apa yang dipikirkannya? "Nama yang cantik seperti orangnya." "Jagoan aku mana, Bun?" Jagoan? Siapa? "Daddy!!!" Tiba-tiba suara anak kecil memenuhi ruangan ini. Kusapu pandangan, dan aku menemukan anak sekitar 4 tahun-an, menghampiri Gestazh dengan ceria. Daddy? Dokter tampan ini sudah memiliki anak? Oh aku tak menyangka. Dan benar saja, anaknya sangat mirip dengan Gestazh. Duplikasi. "Hai, Tante!" Hah? Dia menyapaku? Waah, aku suka anak kecil. "Hai, sayang. Siapa namamu?" Dia mengedipkan matanya lucu dengan genit. Ayah dan anak sama saja, huh! "Namaku, Leska Bagaskala Hamisan." Uhhh lucu sekali. Bahkan berkata saja dia belum jelas. "Bukan Leska Bagaskala Hamisan, Hero! Tapi, Rezka Bagaskara Hamizan!" Dokter Gestazh meralatnya. "Susah, Daddy. Aku gak bica," ucapnya. Ah, Hero! Menggemaskan! "Hero panggilan sayang dariku dan ibunya untuknya," bisik Dokter Gestazh yang berhasil membuatku tak berkutik. "Maklum, Claudia. Cucu Ibu masih kecil. Empat bulan lagi, menginjak 4 tahun." Oh ternyata dugaanku salah. Aku tersenyum pada Ibu dari Dokter Gestazh dan nenek dari Rezka. Oiya, tadi Dokter Gestazh bilang ada dua manusia berharga yang ia punya di rumah ini. Siapa? Ibunya dan anaknya? Lalu istrinya? Seperti dapat membaca pikiranku, Gestazh dengan cepat menusukku dengan tatapan tajamnya. Aku jadi takut. "Begini, Bun. Bunda sudah tau sendiri perihal Audi ini. Panggil saja dia Audi. Dia pasienku yang ditemukan dalam kebakaran itu. Dia lupa semuanya. Dia tak ingat siapa keluarganya. Namanya pun aku dapatkan dari identitas diri yang kebetulan ada di tas selempangnya yang aman dari api." Apa yang dia bilang? Kenapa dia menyuruh ibunya untuk memanggilku Audi? Siapa Audi? Dan yang membuatku terheran-heran, mengapa dia membohongi ibunya tentang persoalan ingatanku? Banyak pertanyaan menunggumu, Dokter! Samar-samar Gestazh mengangguk seperti mengiyakan apa yang aku pikirkan. Baiklah, ada gunanya juga kemampuan luar biasanya itu. "Untung saja wajahmu selamat ya. Sayang jika wajah cantikmu terbakar. Bahkan banyak sekali yang mengidamkan wajah sepertimu," ucap Ibu Lita dengan senyum mengembang. Jadi, dia tak mengetahui persoalan operasi untuk wajahku? Uhhh, semakin saja aku takut dikucilkan jika semua orang tau wajahku yang sebenarnya itu jelek. "Teruskan ceritamu, Nak!" Bu Lita memerintahkan Gestazh untuk melanjutkan. "Aku ingin Bunda mengizinkan dia untuk tinggal di sini. Aku tak bisa menentukan sampai kapannya, yang pasti dalam jangka waktu lama. Selama aku mengumpulkan kesiapan untuk kembali ke rumahku." Rumahnya? Ini kan rumahnya? Oh, Tuhan, terhitung banyak pertanyaan. "Bunda sangat-sangat mengizinkan! Bahkan bunda berdoa agar kau takkan kembali ke rumahmu. Tinggallah di sini, Nak. Rumah sebesar ini butuh penghuni yang ramai pula. Masa bunda sendiri? Jika kau di  sini, otomatis Rezka juga di sini. Ditambah lagi si cantik Audi yang akan menambah keramaian. Ya Tuhan, aku mohon. Semoga anakku yang tersisa satu-satunya takkan siap kembali ke rumahnya!" Wanita paruh baya di depanku memang terlihat mempunyai selera humor yang tinggi. Dokter Gestazh terkekeh melihat tingkah bundanya itu. Lucu sekali. "Benarkah, Bunda?" Dokter Gestazh membantuku untuk meyakinkan ucapan Bu Lita. "Iya. Bunda mengizinkan!" Ahh aku senang sekali. Terima kasih, Tuhan! "Terima kasih, Bu! Aku tak tau harus membalasnya seperti apa. Yang pasti aku akan membantu segala keperluan rumah. Jika perlu, pekerjakan saja aku di sini." "Sekejam itukah wajahku? Tidak! Cukup temani bunda saja di rumah. Dan gantikan sosok ibu untuk Rezka. Anak ini! Kapan akan mencari pengganti Naura, hah? Wanita busuk dengan beribu muka itu tak pantas kau ingat-ingat terus. Lupakan dia, Nak! Dia sendiri yang memilih, biar karma saja yang membalasnya." Gestazh tampak terdiam tak menampik. Naura? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Haaaah? Apa Naura yang ini sama dengan yang itu? Apalagi ini? Tiba-tiba beribu pertanyaan yang bersirobok dalam otakku kandas ketika tangisan Rezka menggema dari arah dapur. Semua tampak panik. Kita semua dengan sesegera mungkin berlari ke dapur. Memastikan keadaan Rezka baik-baik saja. "Astaga, Rezka! Apa yang terjadi, Hero?!" Gestazh tampak khawatir dan cepat-cepat memangku Rezka dalam pangkuannya. Tangis Rezka masih sangat keras. Bagaimana tidak? Dia ditemukan dalam keadaan berbaring di lantai. Aku yakin kepalanya terkena benturan, syukurnya tak sampai terluka. Tunggu dulu, siapa anak kecil itu? Ya, di sana ada anak kecil berambut panjang membawa boneka, mengumpat di balik kulkas. Apa dia yang mendorong Rezka? "Pak Dokter! Itu!" Aku menunjuk anak kecil itu pada Dokter Gestazh. Dia tampak mengernyit tak mengerti dengan apa yang aku maksud. Hei, kenapa dia tak melihatnya? Aku memandangnya geram. Kualihkan kembali tatapanku ke balik kulkas. Hah? Kemana anak kecil itu? Apa itu?! Apa itu?! Tidak mungkin! Ahhh sejak kapan aku bisa melihat!? Apa benar ini bukan mimpi? Tidak mungkin, pasti ada yang salah dengan penglihatanku. Tapi jelas-jelas barusan aku lihat anak itu dengan mata telanjangku. "Kau baik-baik saja. Apa yang kau lihat?" tanya Gestazh di tengah kebisingan tangis Rezka yang masih menggema. Ia masih menangis dalam pangkuan Bu Lita yang mencoba menengkannya. "Tidak." Sebaiknya nanti saja aku ceritakan padanya. Lagipula, aku masih meragukan penglihatanku barusan. Aku harus meyakinkannya terlebih dahulu. *** Aku terdiam mematung. Enggan untuk mengucapkan apapun walau hanya sekata. Seluruh anggota tubuhku bahkan masih belum menerima dengan keadaanku yang seperti ini. Aku masih berpikir sejak kapan aku bisa 'melihat' jika memang yang barusan memanglah nyata, bukan mimpi. "Sharen? Kenapa kau diam saja dari tadi?" Dokter Gestazh datang dengan Rezka dalam pangkuannya. Setelah capek menangis, Rezka tertidur dalam pelukan ayahnya. Terkadang, aku masih bertanya-tanya kemana ibunya? "Tidur?" Menghiraukan pertanyaanya, aku malah mengalihkannya pada Rezka. Aku merasa kasihan pada Gestazh, di sisi lain aku merasa salut padanya. Lelaki sejati yang two in one, bisa berperan sebagai ayah sekaligus sebagai ibu. Bonusnya, dia seorang dokter. Wanita mana yang tak terpikat? "Boleh aku menggendongnya? Biar aku juga yang menidurkannya. Kau tinggal menunjukkan di mana kamarnya. Bersihkan dirimu dulu, habis operasi langsung ke sini kan?" Ya, sebelum datang ke rumahnya, aku menunggu dia mengoperasi anak kecil yang tak sengaja menelan jarum. Ada-ada saja. "Baiklah. Ini!" Dia mengangkat sedikit tubuh Rezka dan memindahkannya pada pangkuanku. Mengurusi anak bukanlah hal berat buatku. Walaupun aku tak memiliki anak, aku sangat menyukai malaikat kecil menggemaskan seperti mereka. "Aku mandi dulu. Jika kau mau mandi, kamarmu tepat ada di samping kamarku, di sana!" Jari telunjuknya terarah ke arah kanan di lantai dua. Di sana terdapat dua pintu menjulang tinggi yang berjarak tak terlalu jauh. "Lalu Rezka? Kamarnya di mana?" "Rezka di sini tidur denganku selama ini. Dia terkadang menangis di tengah malam jika tak ada yang memeluknya. Itupun harus orang yang dekat dengannya, tak bisa sembarang orang."Aku mengangguk paham. Melihatnya yang mulai menjauh dariku, aku tak berniat untuk membalas ucapannya. Sebaiknya aku tidurkan dulu si jagoan ini. Ah, Rezka, menggemaskan sekali. Aku tersenyum menatap wajah polosnya. Wiih, benar-benar duplikat Gestazh. "Permisi, kamarnya Dokter Gestazh yang mana ya?" Aku bertanya pada salah satu asisten rumah tangga yang kebetulan sedang mengepel ruangan atas. Ya walaupun tadi Gestazh menunjukkan ruangannya, ternyata tetap saja aku merasa bingung tentang yang mana kamarnya dan yang mana kamarku. Tapi ada yang aneh, kenapa wanita ini memandangku seperti itu? Terkesan sinis. "Siapa kau?" Apa pembantu di sini tak tau sopan santun? "Maaf, aku hanya bertanya. Jika kau tak mau menjawab tidak apa-apa," ucapku di tengah kegeraman. Segeram-geramnya aku, tetap saja tak bisa marah. Aku coba maklum, bisa saja dia sedang kedatangan tamu bulanan. "Kau jangan mendekati Tuan Gestazh, Nyonya penggoda. Aku laporkan kau pada istrinya!" Hah? Kenapa dia berpikiran seperti itu. Sudahlah! Dibandingkan aku harus sakit hati karena menanggapi ucapannya, lebih baik aku cari sendiri. "Wah jawaban yang indah Nyonya__," Aku melirik nametag-nya sekilas. "Veliza, maaf w*************a ini menganggumu!" Dia mengaga tak percaya akan responku. Menyulut emosi sekali, lebih baik aku cepat-cepat tidurkan Rezka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD