Pertemuan Yang Tidak Disengaja (2)

3158 Words
Yang ditanya kembali memamerkan senyum mautnya pada Klara. Nyaris Gadis itu terbelit oleh daya magisnya. Tindakan refleks Klara adalah menahan napas. Cowok ini sungguh berbahaya, bisik hati Klara, memperingati Gadis itu untuk bersikap waspada. Betul sekali bisikan hati Klara, sebab pada kenyataannya, Cowok tersebut sukses mengaduk-aduk perasaannya. Sejauh itu tingkat berbahaya-nya. “Tentu saja kenal, Bu. Saya Vino. Ibu mungkin lupa, ya. Maklum, saya ini hanya Pegawai kecil,” ucap Cowok itu dengan mimik muka lucu. Klara sampai tergelitik. Hampir saja dia terlupa dengan urusan bagasinya. Dan memang percuma, sebab bagasinya memang kian menjauh. Klara mencoba mengingat-ingat sesaat. “Ooooh! Kamu yang dari Perusahaan Media ‘Channel 789’ kan ya? Maaf, nggak langsung mengenali, tadi. Ah, setahu saya kamu kan Orang kepercayaannya Pemilik Stasiun Teve itu. Janganlah bilang diri kamu Pegawai kecil segala,” kata Klara setelah dapat mengingat dengan baik di mana dirinya bertemu dengan Vino. Sekelumit momen itu melintas begitu saja di pikiran Klara. ... “Presentasinya menarik, Bu Klara. Konsep acara yang digagas juga unik dan rasanya akan disukai Publik. Nanti selanjutnya, apabila memang kita bisa cocok bekerja sama di sejumlah event, yang akan berhubungan dengan Perusahaan Ibu adalah Pak Vino. Dia yang akan mewakili perusahaan ini,” kata Pak Johan Hardiman, Sang Pemilik Stasiun televisi yang belum lama berdiri namun diprediksi dapat segera mendapatkan segmen Pemirsa sendiri itu. Sasaran utamanya memang Kaum muda serts mereka yang berjiwa muda serta berpikir out of the box. Golongan yang mungkin belum sepenuhnya terjawab kebutuhan menonton tayangan bermanfaat nya, dari sekian banyak channel teve yang sudah mengudara selama ini. Adapun faktor penyebabnya antara lain adalah keberanian Channel 789 untuk menayangkan sejumlah program yang anti mainstream. Selain itu, mereka juga berani mempekerjakan Talent yang tengah naik daun. Dan dikarenakan bagian kreatif mereka juga jumlahnya belum seberapa, merkea berani untuk menggandeng event organizer seperti perusahaan Klara, untuk bekerja sama dengan mereka. Waktu yang terbatas menyebabkan Klara hanya dapat berbincang sejenak dengan Vino yang diperkenalkan oleh Pak Johan. Klara tidak tahu saja, bahwa Vino mengamati dirinya dengan takjub selama dirinya melakukan presentasi. Vino mengakui dalam hati, bahwa Klara, dalam usia yang diperkirakannya sebaya dengannya, adalah Pengusaha muda yang berani mengambil resiko. Vino tahu, jenis pekerjaan yang ditawarkan oleh Sang Bos kepada perusahaan Klara, tentunya bukan jenis pekerjaan utama. Dan itu membuatnya otomatis memberikan nilai tambah bagi Klara. Sekaligus, terselipnya sebuah keinginan untuk tahu, sebenarnya sampai di mana kemampuan Seorang Klara? Namun sayang seribu sayang, dikarenakan sesuatu dan lain hal, proyek yang digagas langsung oleh Salah Satu Putra Pak Johan tersebut terpaksa ditangguhkan untuk batas waktu yang belum ditentukan. Dan sampai beberapa bulan berlalu, belum ada perkembangan lanjutan. Klara juga sudah tidak terlalu mengharapkan karena tak mau kecewa. Lagi pula, Klara dan Timnya punya banyak Prospek lain untuk ditindaklanjuti. Jadi tak mungkin mnghabiskan waktu percuma hanya dengan berfokus menunggu kabar yang belum pasti. ... “Kenyataan kok Bu. Saya kan masih bekerja di perusahaan Orang. Beda sama Ibu yang sudah memiliki usaha sendiri. Wah, tapi saya tersanjung Ibu masih mengingat saya. Padahal saya hanya Salah satu Peserta rapat. Sementara kalau Ibu dengan segala reputasi Ibu, sudah pasti gampang diingat,” ucap Vino lancar. “Ah, kamu ini terlalu memuji. Perusahaan saya masih kecil. Ibarat bayi, baru mau belajar merangkak.” “Nggak Bu, itu kenyataan. Ibu memang pribadi yang mengesankan,” kata Vino. Sekali lagi hati Klara tersanjung. Aneh. Biasanya dia paling tak suka yang namanya lip serivice. Namun dia merasa Vino berbeda. Kata-kata Vino terdengar demikian tulus dan tidak dibuat-buat. “Ibu lagi buru-buru, ya?” tanya Vino kemudian. Klara menepuk jidatnya. “Aaah! Iya. Bagasi saya.” Teringat bagasi yang belum kunjung didapatkannya, Klara langsung mengarahkan pandangannya ke atas roda berjalan. Vino paham dan bereaksi. “Kelihatannya itu dia. Baru saja keluar. Saya ambilkan, ya. Ibu tunggu saja di sini.” Vino segera bergerak ke arah yang berlawanan dengan laju roda berjalan. Klara bergumam lirih, “Kok bisa-bisanya dia ingat koperku? Padahal kan dia melihatnya sekilas saja. Dia ini istimewa. Tapi yang bikin aku canggung itu karena dia panggil aku Ibu. Kesannya aku tua sekali.” Tak lama kemudian, terlihat Vino menghampiri Klara dengan menyeret dua koper sekaligus. Rupanya, kopernya dan koper Klara keluar secara berurutan. Klara menatap dengan sorot mata takjub. “Lho, jadi kita itu..., satu pesawat, tadi?” “Sepertinya begitu.” “Terima kasih banyak ya. Maaf saya sedang terburu-buru. Saya harus langsung keluar sekarang. Dan saya..., ya ampun! Saking panik saya malah belum telepon Supir saya!” kata Klara. “Silakan telepon saja sambil keluar. Ini saya bawakan saja. Nggak masalah.” “Apa nggak ngerepotin kamu jadinya?” “Sama sekali nggak ngerepotin. Santai saja.” Klara kembali menggelengkan kepala, gemas dengan dirinya sendiri, menyadari dia belum menyalakan telepo genggamnya semenjak tadi. Akibatnya, begitu telepon genggamnya menyala, begitu banyak notifikasi pesan masuk dan panggilan tak terjawab. Ada yang dari Supirnya, tetapi sebagian besar dari Irene. Klara segera menghubungi Sang Supir. Untung saja segera bersambut. “Hallo Pak, Bapak parkir di mana?” tanya Klara langsung. “Ibu di mana? Saya saja yang datangi Ibu sekarang Ibu di gate berapa?” Klara melayangkan pandangan ke sekitarnya. Dia lantas menyebut posisinya yang berada tak jauh dari tempat Para Penumpang menunggu armada taksi. “Baik, saya segera ke sana. Mohon ditunggu, Bu Klara.” “Ya, terima kasih.” Klara segera menuju tempat yang ia sebutkan kepada Sang Supir barusan. “Terima kasih ya, Pak Vino, atas bantuannya.” Vino tertawa kecil. “Kok jadi panggil saya Pak Vino, sih? Wah..., itu agak.. canggung dengarnya.” “Ya karena kamu panggil saya Bu Klara. Makanya panggil pakai nama saja.” Vino berpikir sesaat. “Oke, oke, kalau begitu, sungguhan nggak keberatan kalau saya panggil nama saja?” “Sangat tidak keberatan,” sahut Klara yakin. "Hm. Baiklah," sahut Vino ringan,lalu mengarahkan pandangan matanya ke arah lain. “Mobilnya warna apa, Klara? Biar saya lihat dari jauh. Biar enggak kelamaan berhenti di depan situ. Nanti dikomplain, pula.” “Nah, begitu, kalau panggil Klara lebih enak di telinga. Warna mobilnya biru metalik.” Tak urung, kali ini Klara tersenyum. Tak dihiraukannya telepon genggamnya yang berbunyi. Tanpa harus mengeceknya, dia tahu itu pasti panggilan telepon dari Irene. Dan dia sedang tak ingin sedikit momen pengalih rasa gelisahnya ini terusik. Sangat tidak mau. “Klara, telepon genggamnya bunyi. Barangkali itu dari Supirnya Klara,” kata Vino. “Oh, bukan. Supir saya nggak bakalan berulang-ulang telepon. Nggak pernah.” Vino manggut-manggut. “Itu di belakang sana ada mobil warna biru metalik. Mobil kamu bukan?” tanya Vino. Klara setengah berjinjit agar dapat memandang sejauh mungkin. Vino yang mengerling padanya tersenyum geli. “Sudah, nggak apa. Nanti saja kalau mendekat.” “Ngomong-ngomong, kamu kalau ada urusan jangan jadi tertahan karena urusan saya, lho.” “Oh, enggak. Enggak. Lagi santai, ini,” tepis Vino. Dan Vino tertawa kecil. Telepon genggam Klara kembali berbunyi. Klara melirik dengan enggan ke arah layarnya. Benar sekali perkiraannya, yang menghubunginya adalah Irene. “Sebaiknya diterima saja panggilan teleponnya,” saran Vino. “Nggak. Ini dari Kakakku. Cerewetnya minta ampun. Nanti yang ada malah aku nggak nyadar mobilku sudah di dekatku.” Vino menatap takjub. Dia jelas merasa senang karena 'dicurhati' dengan akrab begini. “Eh? Kenapa kok kamu seperti itu cara ngelihatnya ke aku? Ada yang salah sama perkataanku?” tanya Klara. Vino menggeleng. “Boleh jujur nggak?” tanyanya kemudian. “Boleh dong. Harus, malahan.” “Ngobrol sama Klara begini kok nyaman ya. Wah..., semoga saja kerja sama antara Channel 789 dengan perusahaan Klara dapat terealisasi dalam waktu dekat.” “Amin.” Klara langsung menyadari sesuatu. “Bisa nggak, ngomongnya aku - kamu saja? Rasanya agak aneh kalau dengar kamu menyebut diri kamu dengan kata ‘saya’. Kelihatannya formal sekali. Lagi pula, ini kan di luar urusan pekerjaan.” Vino tertawa tanpa suara. Sebetulnya hal itu yang tadi sempat membuat dirinya takjub, yaitu lantaran Klara telah ber ‘aku - kamu’ dengannya. “Wah. Dengan senang hati. Semoga nggak merasa kalau saya kurang ajar, ya karena menyebut Klara dengan ‘kamu’?” Klara mengibaskan tangannya. “Kamu ngomong pakai kata ‘saya’ lagi.” Vino tertawa lepas. “Perlu pembiasaan sepertinya. Dan otak ini belum sinkron sama mulut.” Klara tertawa geli. Vino juga. Mereka bak Teman lama yang sedang reuni saja. Akrab. “Ngomong-ngomong, nomor teleponnya belum ganti kan, Klara?” “Belum. Kenapa memangnya?” “Boleh dihubungi nggak, nanti?” “Kenapa nggak boleh?” Vino tergeragap, tak menyangka jawaban Klara seringan itu. “Eng..., kan bukan urusan pekerjaan. Belum ada kelanjutan,soalnya.” Klara langsung tersipu. Dia paham, ucapan Vino barusan amat tendensius. Menjurus ke hubungan pribadi. Karenanya untuk 'mencari aman', Dia hanya mengangguk kecil agar suasana menjadi netral. Tidak terkesan sombong, tetapi juga tak memberikan gambaran seolah dirinya begitu mengharap untuk ditelepon oleh Vino dalam konteks hubungan pribadi. “Nah, ini dia mobil yang tadi aku lihat dari jauh.” “Itu mobilku.” “Wah! Bisa pas begitu. Oke, ayo aku bantu,” kata Vino sigap. Kendaraan tersebut segera merapat. Sang Pengemudi rupanya telah melihat Klara dari jauh. “Kamu naik apa, Vin?” tanya Klara ketika Vino membukakan pintu mobil untuknya, mendahului Sang Supir. Akhirnya, Sang Supir mengambil inisiatif untuk memasukkan koper Klara ke dalam bagasi mobil. “Ada Supir kantor. Nanti sebentar aku telepon. Setelah kamu jalan.” “Lho, jadi kamu pergi ke luar kota urusan pekerjaan?” “Kira-kira seperti itu.” “Oke, terima kasih. Aku langsung, ya.” “Silakan. Semoga lancar perjalanan nya, ya. Nanti aku telepon, ya.” Klara mengangguk dan menutup pintu mobil setelah melambaikan tangan pada Vino. “Kita langsung ke apartemen ya Bu?” tanya Sang Supir yang telah kembali duduk di belakang kemudi. “Iya. Eh, enggak.” "Maksud Ibu?" Sang Supir bingung dan menoleh ke belakang. Klara melihat arlojinya. Rasanya dia kembali mendapat serangan panik. Selingan indah pertemuan dan percakapan dengan Vino barusan, seolah terelemininasi dalam sekejap. “Ke... pemakaman, Pak.” “Hah? Maaf, bagaimana, Bu?” Klara langsung menyadari kesalahannya. Dia belum menyebutkan secara lengkap dan jelas. Maka disebutkannya nama kompleks pemakaman tersebut. “Bapak tahu lokasinya kan?” “Tahu, Bu.” “Kalau begitu, tolong Bapak cari jalan yang tersingkat dan yang tidak terlalu macet.” “Baik, Bu.” “Mau saya lihat di gps, Pak?” Sang Supir tampak agak sungkan. “Saya saja yang nyalakan gps-nya. Nanti kan Bapak tinggal dengar.” “Baik, Bu.” Baru saja Klara hendak menyalakan gps di telepon genggamnya, Irene kembali menelepon. Kali ini, jarinya tak sengaja menggulir tanda telepon berwarna hijau. “Rara! Kamu ini! Kenapa dari tadi nggak diangkat sih, teleponnya? Ini kita sudah sampai di kuburan. Sudah mau mulai prosesi tahu nggak!” “Gimana mau angkat, Kak! Tadi itu bagasiku sampai terlewat. Terus aku juga harus fokus, supaya mobil yang jemput aku nggak kelewat juga.” “Ampun deh kamu ini. Biangnya ceroboh. Kamu sudah sampai mana sekarang?” Klara mengembuskan napas panjang. Sampai-sampai menyerupai sebuasan dengkusan sebal. “Terserah Kak Irene saja eh. Jangan bikin aku makin stress. Ini aku sudah dalam perjalanan ke sana.” “Aku tahu. Tepatnya di sana, Ra!” “Di jalan tol.” “Ya jalan tol yang mana? Yang jelas dong! ” Andai mungkin, ingin rasanya Klara mengerang kesal. “Hhhh! Baru saja meninggalkan bandara. Puas, Kak?” ujar Klara dengan menekan suaranya agar tak mengganggu konsentrasi Supirnya. “Kamu lelet amat sih Ra! Kamu sengaja ya, supaya nggak menghadiri pemakaman ini? Kamu sengaja mengulur waktu, kan?” “Kak, jangan sembarangan menuduh aku ya! Marahin tuh maskapainya, marahin yang bikin delay jadwal penerbangannya. Terus marahin yang lama keluarin bagasinya. Sudah ya Kak, katanya prosesinya sudah mau mulai. Apa nggak sebaiknya Kak Irene mempersiapkan diri juga bukan malahan sibuk mengomeli aku?” Irene merasa tertohok. Dia tak segera menapatkan kata-kata paling tepat untuk kembali menyerang Sang Adik. “Kamu itu...! Ya sudah, usahakan bisa cepat sampai ke sini, ya.” “Daagh.” Klara menutup pembicaraan dengan rasa dongkol yang menggumpal di d**a. Memangnya jalanan ini punyaku apa, dan memangnya aku yang menyetir, jadinya bisa menentukan cepat atau lambatnya sampai ke sana? protes Klara dalam hati. Dia tak tahu saja, apa yang barusan itu belum seberapa dibandingkan dengan yang akan dihadapinya ke depan. * $ $ Lucy Liestiyo $ $ Fan Page B!telucy
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD