Memasang Jerat Untuk Sang Target?

2319 Words
“Bagaimana, Mas Vino, mau kan, ya?” tanya Asep sekali lagi. Masih penuh dengan kesabaran. Layaknya Orang tua yang tengah membujuk Anak kecil yang susah untuk makan sayur hijau saja dia. Vino mengangguk. Gerakan yang singkat. Tetapi itu sungguh gerakan yang hampir saja membuat Asep berjingkrak gembira dan menandak-nandak saking lega bercampur senang. Dia merasa berhasl menjalankan tugasnya dengan baik. “Yuk, dicek dulu saja, Mas. Sekalian Mas Vino test drive. Kalau masih kurang apa, mumpung saya masih ada di sini, saya uruskan sekalian.” “Oke.” “Terima kasih lho Mas. Saya senang, karena nanti pulangnya bisa membawa kabar gembira ke rumah.” Vino teersenyum tipis. Dia menuruti saja kemauan Asep untuk mengecek interior mobil, menjajal menyetir mobil tersebut beberapa menit, dan kembali lagi ke tempat kost-nya. “Oke semua, Mas Vino?” tanya Asep. “Iya. Terima kasih ya, Pak Asep. Pak Asep boleh pulang sekarang. Tuh, kasihan si Seto nungguin dari tadi, duduk doang di atas jok sepeda motor, nggak ngapa-ngapain begitu. Sebentar lagi bisa jadi patung Perunggu dia.” Asep tertawa. “Waaah...., saya yang berterima kasih, Mas. Serius. Mas kontak-kontak saya ya, kalau perlu untuk pemeliharaan mobilnya. Kalau urusan perpanjang STNK segala nantinya, sudah ada kok di jadwal.” “Oke.” Vino mengacungkan jempolnya. “Jangan lupa jagain Mama aku dan kepentingannya. Awasi Si Jalang itu, jangan kasih dia mendekati area rumah Mamaku. Kalau perlu, kalau dia sampai nekad datang ke kantor, suruh Satpam kantor mengusirnya.” “Mas Vino nih, bisa saja.” “Aku serius, Mbak Tifa sudah aku pesani juga soal ini.” Asep manggut. “Baik, Mas.” Asep sudah hampir beranjak, ketika mendadak dia teringat sesuatu. Dia merasa perlu untuk menyampaikannya kepada Vino. “Mas Vino nggak tahu, ya, rencananya Mbak Tifa itu mau mengundurkan diri?” Vino terperangah. Matanya terbelalak. “Eh! Kenapa? Si Jalang cari gara-gara lagi sama Mbak Tifa? Minta dikasih pelajaran, dia!” Ini Anak kok berangasan.Nggak sesuai sama tampilan fisiknya yang terkesan kemayu, terlalu merawat diri macam Model, pikir Asep. “Enggak kok Mas. Mana mungkin berani? Mbak Linda kan suka ke kantor kalau sempat. Kadang Mbak Linda ajak Lando juga, sama Ibu.” “Terus ada apa?” “Kan Mbak Tifa sudah menikah.” “Tahu. Sudah hampir satu tahun, kan? Saya saja yang nggak bisa datang, karena ogah, kalau harus berjumpa sama Bosnya yang Laki-laki, di pesta pernikahannya. Mama bilang, Mbak Tifa menikah sama salah satu Vendor perusahaan yang konon sudah mendekati Mbak Tifa sejak lama. Duda cerai mati, kan? Dan Anak-anak dari Suaminya itu juga setuju Ayahnya mendekati Mbak Tifa yang dinilai baik,” sahut Vino yang jelas-jelas tak ketinggalan berita. Maklum, walau dirinya adalah Seroang Cowok, sepertinya lantaran bekerja di bidang media, membuatnya jadi terbiasa update dengan perkembangan berita tentang Seseorang tanpa harus menganggap bahwa itu adalah bagian dari ‘ngerumpi’. “Nah, kabarnya Mbak Tifa sudah isi sekarang. Dan sepertinya hamilnya ini agak menyulitkannya. Mbak Tifa kan sempat bed rest. Mungkin ..., eng, maaf, faktor usia juga dan kondisi fisik juga pengaruh ya Mas, meskipun Mbak Tifa diantar jemput sama Suaminya semenjak dia mengandung. Dan karena nggak enak hati, takut pekerjaan terlantar, Mbak Tifa memutuskan untuk mengajukan surat pengunduran diri. Itu kemauan Suaminya juga sih. Dia mengkhawatirkan kesehatan Mbak Tifa dan bayi mereka. Lagi pula tanpa Mbak Tifa harus bekerja juga kebutuhannya dijamin tercukupi kok. Dia kan diijinkan tetap bekerja setelah menikah mungkin karena kesepakatan sebelum memutuskan menerima pinangan Suaminya itu.” “Oo... ngerti, ngerti. Tapi aduh. Jangan sampai Si Jalang itu mendapat celah. Bisa-bisa dia lagi yang tahu-tahu nongol di kantor, atau menyodorkan Temannya atau Siapa untuk menjadi Sekretaris Si Laki-laki b***t itu. Bahaya banget.” Ada yang terasa menyenak di d**a Asep. Dia masih saja tak habis pikir, mengapa Vino masih juga kerap enggan menyebutkan ‘Papa’ kepada Pak Danang. Sepertinya stock rasa benci Vino kepada Sang Papa begitu berlimpah dan tiada kenal kata menipis apalagi habis. “Sepupunya Mbak Tifa, yang rencananya menggantikan tugas Mbak Tifa ke depannya nanti, Mas. Sekitar seminggu terakhir ini sudah dilatih sama Mbak Tifa kok, Mas. Namanya Mbak Yenny.” Vino belum mendengar hal ini disinggung oleh Mamanya maupun Kakaknya melalui telepon. Dia sendiri juga sedang cukup sibuk akhir-akhir ini. Malahan sudah sebulan terakhir tidak bertandang ke rumah walau sesekali masih bertukar kabar sesempatnya. Dia sibuk dengan pekerjaan, dan juga sibuk menempel Klara. “Semoga nggak genit, ya. Saya trauma sama Cewek-cewek genit. Soalnya Bos Laki-lakinya Pak Asep itu mata keranjang. Nggak bisa lihat jidat licin, nggak bisa lihat daun muda.” Asep tertawa kecil. “Enggak lah, Mas. Mbak Yenny itu usianya sudah di atas Mbak Tifa. Dia kerja lagi karena Anak-anaknya sudah besar dan bisa ditinggal bekerja. Dan memang seijin Suaminya juga. Selain buat mengidi waktu, juga buat nambah pos penghasilan. Kan mereka juga butuh tambahan biaya untuk pendidikan Anak-anak mereka, di samping Mbak Yenny juga butuh kesibukan.” “Oooo...” “Tapi Bapak, Ibu sama Mbak Linda sebetulnya masih berharap Mbak Tifa hanya istirahat sementara, sampai mungkin keadaannya stabil, setelah melahirkan, atau..., kapan saja. Pendeknya, Bapak, Ibu sama Mbak Linda bilang, kapan saja Mbak Tifa mau kembali bekerja, tetap ada posisi untuk Mbak Tifa, meski sudah ada Mbak Yenny.” “Bagus itu.” “Saya pulang dulu ya, Mas. Mau saya parkirkan mobilnya di base ment sekarang atau?” “Nggak usah. Nanti langsung saya pakai saja. Biar cepat akrab sama saya. Itu bensinnya sudah diisi penuh nggak, Pak?” “Sudah, Mas.” Hati Asep benar-benar senang, tiada terkira. Dia siap mengabarkan hal ini kepada Pak Danang dan Bu Astri, lengkap dengan tak tik yang telah dilakukannya tadi yang berujung diterimanya pemberian mobil itu. “Oke. Hati-hati di jalan.” “Oke, Mas.” Asep segera naik ke boncengan sepeda motor. Seto mengangguk dan membunyikan klakson. Sepeda motor itu kian menjauh. Vino segera masuk dan bersiul-siul riang. Ada semangat baru yang terpompa. Ada bayangan indah yang bermain-main di pelupuk matanya. Sepertinya semua rencanaku bakalan berjalan lancar, pikir Vino lalu masuk ke dalam kamarnya, siap untuk berganti baju dan berangkat ke kantor. Tanpa harus sarapan saja, pagi ini dia merasa sudah mendapat suntikan energi yang dirasanya lebih dari cukup untuk mendukung kegiatannya sepanjang hari ini. * “Malam amat baru pulang, Bro? Ada meeting mendadak, ya? Terus, gue lihat tadi pas pulang, sepeda motor elo ada di bawah. Gue pikir tadi elo sudah pulang, kok betah amat di kamar nggak keluar-keluar kayak Ande-ande lumut. Ternyata yang lain bilang belum lihat elo. Lampu kamar juga mati. Elo naik apa? Dijemput mobil operasional kantor? Dan eeeeh..., itu muka, berseri-seri banget, seperti baru dapat promosi nih. Atauuuu..., hm! Bahaya ini! Pasang jerat lagi buat Target baru ya, jangan-jangan?” usik Julian ketika Vino memasuki meja makan dan menaruh dua kotak kardus martabak merk ‘Ah Ciu’. Satu adalah martabak manis, satunya lagi martabak telur. “Enggak. Habis makan malam dong, berdua sama ehm ehem..., he he he...” Julian mengernyitkan dahinya. “Makan malamnya pasti spesial dong. Makan malam romantis?” Vino tak segera menjawab. Dia celingukan sebentar. “Si Jono mana? Dia musti dibiasakan nih, makan makanan yang bukan hasil curian. Biar dia makan ini martabak yang belinya harus pakai ngantri panjang,” ujar Vino. “Habis ngobrol panjang lebar sama gue tadi. Kayaknya sesudahnya dia perlu perenungan plus mengejar kerjaan ilustrasinya. Simpan dulu deh di kulkas. Orang sudah pada tidur. Lihat sudah jam berapa!” Vino melihat arlojinya. Memang sudah lebih dari jam setengah satu malam. Tapi dia senang. Banyak sekali yang membuat hatinya senang hari ini. Menunggui sampai Klara usai mengecek acara dan memercayakan kepada Anggota Tim yang ada, lalu mengantarkan Gadis itu pulang sembari memaksa agar Supir sang Gadis mengikuti saja dari belakang. Dan dia sungguh merasakan manfaat yang berlebih dengan duduk di belakang kemudi mobil. Dia melihat Klara dapat duduk nyaman, dia bisa berlagak memasangkan seat belt dan mencari-cari serta memanfaatkan celah untuk dapat menggenggam tangan Gadis itu sembari menyetir. Bahkan saat tiba di lobby apartemen Gadis itu, dia bisa mencuri sebuah ciuman singkat di pipi Gadis itu, yang langsung bersemu merah. Hal yang sulit dilakukan kalau dia mengantarkan Gadis itu dengan sepeda motornya. Vino senyum-senyum kecil membayangkannya kembali. Dia itu...., kalau dari reaksinya yang seperti itu..., apa jangan-jangan belum pernah pacaran, ya? Tapi mana mungkin? Dengan pekerjaannya yang memungkinkan dia bertemu banyak Orang, dengan pesona fisik yang dia punya, otaknya, kebaikan hatinya, masa iya dia belum pernah pacaran? Nggak mungkin! Pikir Vino. “Hei! Kenapa elo senyum m***m begitu? Karena sudah malam jadi itu otak sudah penuh sama pikiran kotor? Memang sih, sebentar lagi pasti bakalan tidur dan mimpi yang pakai ninggalin jejak deh lo.” Vino mendesah enggan. “Apa sih! Memang sudah malam banget sih. Nah, elo sendiri kenapa masih makan jam segini?” “Kelupaan makan karena ngecek banyak laporan tadi. Tahu-tahu berasa lapar. Makanya elo nggak lihat makanan gue? Darurat begini, mie instant sama telur. Sudah malas buat pesan ojek daring. Takut keburu ngantuk.” Vino manggut-manggut. Dia menuangkan segelas air mineral dari dispenser dan menarik kursi, duduk di sebelah Julian yang sedang menikmati makan malamnya yang terlalu terlambat. “Makan malam di mana barusan?” Vino tersenyum penuh arti. Julian tersenyum miring. “Itu senyum mesum.” “Sembarangan.” “Kenyataan. Coba ngaca!” Vino mengibaskan tangan. “Coba tebak, gue makan di mana.” “Pasti nggak jauh dari outlet Martabak Ah Ciu. Yang di mana, itu pertanyaannya?” Vino tertawa. “Gue makan di bazaar. Itu Martabak beli di sana. Martabak Ah Ciu ikut bazaar yang gilaaaaaa...., ramainya...., ngalah-ngalahin pasar malam. Tapi sumpah, keren banget. Dan acaranya jadi terasa berkelas. Siapa dulu dong, yang mengorganisir?” Julian jadi mengerling keji. Ditunjuknya hidung Vino. “Vin, jangan permainkan Cewek itu lho. Serius, elo katanya tahu sendiri profile dia bersih. Jangan elo kotori.” “Siapa yang ngotorin? Enggak, lah. Justru Sebagian Teman gue di kantor , yang tahu kalau gue ketemu lagi sama Yayang Klara, dukung gue kok, untuk pacaran sama dia. Malahan gue ditantang sama mereka. Mau tahu tantangannya? Kalau gue berhasil dekat dan memacari Yayang Klara, gue bakal ditraktir makan siang sebulan penuh sama mereka.” Julian membanting sendoknya dengan kesal. “Jangan keterlaluan, Vin.” Vino tersentak. “Woyyy! Kalem dong! Kenapa elo sewot? Apa jangan-jangan elo juga naksir sama dia?” Julian menggeleng. “Vino, dengerin gue. Elo stop deh, kebiasaan elo yang jelek itu. Berhenti menyakiti hati Cewek-cewek. Mereka itu nggak ada hubungannya dengan Si Santi itu.” Vino menatap kesal pada Julian. “Bisa nggak sih, elo nggak usah sebut nama Si Jalang itu? Sebut saja dia Iblis Betina.” Julian mendengkus. Vino tak ambil pusing. “Gue sudah jadian kok, sama dia.” Pengakuan Vino membuat Julian mencibir. “Tadi dong gue makan bareng sama dia di bazaar itu. Wah, itu Cewek luar biasa otak kreatifnya. Cocok banget sama gue.” Julian tersenyum mencemooh. “Kira-kira itu pujian yang tulus atau seperti biasanya, mau elo manfaatkan?” sindir Julian. “Enggak dimanfaatkan, kok. Tapi diimplementasikan. Konsep dia yang dulu kan digantung begitu saja sama Channel 789 sampai sekarang. Nah, kalau dia berhasil merevisi dengan lebih menarik atau mau mendengarkan saran gue tadi untuk menggagas konsep baru dan segera menawarkannya ke Channel 789, gue yakin sejuta persen, gue lagi yang bakal dipercaya untuk menanganinya kalau sampai gol. Itu artinya, saling menguntungkan. Nama gue juga bakalan naik. Performa kerja gue akan sangat terdongkrak karena idenya dia yang briliant. Hari ini memang hari keberuntungan kok, buat gue. Tadi gue ada dengar selentingan, Mas Nando kemungkinan akan dipromosi sebagai Produser Eksekutif. Dengan begitu, harusnya gue juga bakalan naik dari posisi sebagai Asisten dia, menjadi Produser. Dan gue bisa membuat kualitas pekerjaan gue semakin oke, dengan mengusulkan program baru. Itu gunanya banyak berdiskusi sama Yayang Klara,” urai Vino bangga. Julian berdecak kesal. “Selaluuuuuu saja..., azas manfaat, di kepala elo ini. Jangan permainkan hati Orang, Vin!” Diketuknya kepala Vino dengan buku jarinya sembari menggertakkan giginya. Vino cengar-cengir sembari menghindari potensi Julian menunjukkan ‘hukuman fisik’ yang lainnya lagi. “Siapa yang mempermainkan? Gue bisa lihat, dia juga enjoy kok, saat dia bersama gue. Dia kelihatan nyaman sewaktu ngobrol sama gue. Dia bisa lancar cerita soal Keluarganya, Kakaknya yang selalu bikin dia stress, impiannya dia yang mau dia wujudkan dalam jangka waktu satu tahun, dua tahun, dan seterusnya. Gila, baru sekali ini gue ketemu sama Cewek yang nggak hanya pintar dan cerdas, tapi juga baik hati dan nggak ada pikiran jelek ke Orang. Tapi ingat, bukan naif seperti Mama gue.” “Dan elo tetap menyembunyikan jati diri elo, kan? Elo bertingkah seakan-akan elo memang hanya Salah Satu Pekerja di channel 789? Elo nggak cerita keruwetan Keluarga elo? Dan resikonya buat dia kalau berdekatan sama elo?” Vino tertohok. “Vin, sama seperti yang gue bilang ke Jono, dia bisa berubah untuk memperbaiki diri. Semestinya elo juga. Siapa tahu, Cewek ini yang terbaik buat elo. Makanya, ubah niat buruk elo itu. Elo murnikan niat elo ke dia. Siapa tahu Kalian berdua bisa cocok satu sama lain.” Vino terbungkam. Berhadapan dengan Seorang Julian, memang seringkali membuatnya kehabisan kata-kata untuk menyahuti. Lantaran agak grogi, dia memutar-mutar kunci mobilnya. Julian mengamati kunci itu. Tampak benar itu kunci mobil. Dan dari merk-nya saja, dia tahu kisaran harganya. Diam-diam Julian bertanya-tanya dalam hati selagi mencocokkan merk mobil tersebut dengan mobil yang tadi pagi dilihatnya di depan tempat kost mereka, apakah kali ini Vino mau menerima pemberian dari Orang tuanya? Sebagai Teman lama Vino, dia memang cukup mengenal Pak Asep. Dia juga pernah menyaksikan satu kali, bagaimana Vino menolak mobil yang dikirimkan kepadanya. KIni, jantung Julian berdenyut lebih cepat. Jika saja dalam keadaan biasa, tentunya dia akan senang karena Vino akhirnya menerima pemberian dari Orang tuanya. Tetapi demi mendengar penuturan Vino barusan, dia jadi curiga, Vino juga menggunakan kendaraan tersebut untuk memperlancar pendekatannya dengan Klara. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD