Chapter 2 : POV Keenan Jeremy

997 Words
Halo, Aku Keenan Jeremy. Seperti namanya, Keenan Jeremy memiliki arti cerdas dan bisa di andalkan. Nama pemberian dari Ibuku tercinta. Aku memang menyayangi ibuku, hormat padanya dan berbakti kepadanya sebagaimana mestinya. Saking penurutnya jadi anak, bahkan urusan percintaan pun aku rela melepasnya karena nasihat dan larangan dari Ibu. Alasannya singkat. "Katanya jangan pacaran kalau masih sekolah. Kalau ada apa-apa kamu mau kasih makan anak orang apa?" "Lagian pacaran dalam islam itu di larang. Memangnya kamu mau, berbuat dosa terus?" Kalau sudah begitu, aku bisa apa? Saat itu aku hanya mengangguk patuh. Tetapi sebenarnya hatiku terluka. Bayangin aja, masa sekolah SMA menurutku adalah masa-masanya indah yang namanya kasmaran apalagi jatuh cinta. Tiap hari ketemu doi, rasanya begitu semangat setiap turun sekolah. Bahkan yang awalnya bosan banget belajar dan ketemu guru, malah berubah sebaliknya. Semua karena dia. Rissa... 10 tahun tidak bertemu dengannya. Kini takdir kembali mempertemukan kami. Dalam keadaan canggung. Tegang. Dan tidak biasa. Biar bagaimana pun secara tidak langsung dulunya kami pernah bersama, punya masalalu, dan berakhir punya kenangan masing-masing. Nama arti Jeremy seharusnya bisa diandalkan dalam hal apapun. Termasuk urusan pekerjaan, Karir, dan lainnya. Tetapi tidak urusan asmara. Aku gagal dalam melakukannya. Bahkan 10 tahun yang lalu aku sengaja mematahkan hatinya di saat kami sedang sayang-sayangnya. Aku tahu saat itu tidak mudah buatnya. Tapi aku bisa apa ketika akan di cap anak tidak baik bila tidak mematuhi aturan agama? Apalagi melanggar nasihat Ibuku. "Jadi bagaimana, kamu bisa mulai bekerja besok?" "Bisa Pak." "Kalau begitu besok kamu masuk sift malam. Jam kerja dari pukul 3 sore sampai jam 10 malam tutup toko. Tetapi sebelum pulang, kamu harus beres-beres semuanya sampai selesai. Agar tidak merepotkan anak-anak yang bekerja sift pagi." "Baik, Pak." "Ada pertanyaan?" "Tidak." "Oke. Kalau begitu sudah selesai." Aku menatap Rissa berdiri dan dia mengangguk hormat padaku. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan yang sama. Setelah kepergiannya, aku menatap pintu didepan mataku. Tempat dimana dia berdiri karena terkejut melihat pria masalalu yang pernah membuatnya terluka. Setelah itu aku kembali membuka berkas lamaran kerja miliknya. Hanya ada ijazah SMA dan tidak ada ijazah kuliah yang dia lampirkan. Berarti, apakah dia tidak kuliah? Kalau iya, kenapa? Bukankah dia siswi yang cerdas? Kenapa juga dia tidak mengambil program beasiswa? Aku langsung menggeleng cepat. Tidak baik aku bertanya-tanya seolah-olah ingin tahu urusan hidupnya. Aku tidak boleh bersikap seperti ini. Sejak awal mengetahui lamaran atas nama dia dan melihat pas fotonya, mestinya aku sadar apa yang aku lakukan ini adalah murni menerimanya sebagai karyawan atas dasar sikap profesional dalam pekerjaan. Apalagi karyawanku baru saja resign. Mencari pengganti karyawan tidak semudah yang di kira. Karena kita tidak pernah tahu apakah mereka akan serius bekerja atau hanya sekedar main-main. Suara adzan ashar di ponselku berkumandang. Sudah waktunya aku sholat. Akhirnya aku berdiri dan bergegas mengambil air wudhu. Berharap setelah sholat nanti hatiku yang sekarang ini sedang campur aduk habis ketemu mantan bisa berubah menjadi tenang setenang air. **** Keesokan harinya.. Seperti biasa, sudah menjadi aktivitasku sehari-hari di toko kue ini. Padahal sebelumnya aku menjalani aktivitas biasa-biasa aja. Tetapi kenapa semuanya terasa berbeda setelah mengetahui dia masuk kerja hari ini? Masa iya cuma karena dia mantan lalu semuanya terasa aneh. Padahal semua itu hanya masalalu. Bukankah seharusnya masalalu itu terus tertinggal dan kita harus menatap ke depan? Kita sudah hidup berjalan masing-masing dan aku harus sadar akan hal itu. Aku mengecek jam di pergelangan tanganku. Jam sudah 10 menit lagi jam 3 sore. Kenapa dia belum juga datang? Jangan bilang dia... Pintu terbuka pelan. Secara refleks aku menoleh ke arah sana. Yang di pikirkan akhirnya datang juga. Aku bernapas lega. Aku pikir dia akan main-main. Ternyata tidak. Baik kalau begitu, saatnya fokus. Aku berjalan ke arahnya sambil memberikan apron berwarna tosca padanya dan tak lupa name tag bertuliskan Rissa. "Ini milikmu. Harus dipakai saat bekerja. Jangan sampai hilang." "Baik." "Jadi pekerjaan pertamamu setiap datang harus bersih-bersih dulu ya. Menyapu, ngepel, setelah itu dilanjutkan lagi sambil lap meja di area outdoor. Kalau ada pelanggan pulang setelah makan kue disini, kamu harus cepat membereskannya. Jangan di biarkan lama agar pengunjung bisa mendapatkan tempat." "Baik, Pak." "Ada pertanyaan?" "Tidak, Pak." "Kamu bisa bertanya langsung sama senior disini kalau ada yang kurang jelas. Dia ada di kasir. Dia juga akan membimbing kamu selama masa training bekerja, namanya Clara." "Baik." Setelah itu aku pergi meninggalkannya dan memasuki ruanganku sendiri. Cuma ngasih tahu hal-hal penting selama 3 menit dapatnya malah tegang. Sumpah, rasanya canggung banget kalau ketemu mantan. Mungkin karena dulunya aku punya rasa bersalah sama dia makanya jadi begini. Wanita sebaik dia emang nggak pantas di sakitin. Yang ada sekarang aku malah segan sama dia. Tiba-tiba pintu terketuk pelan. Aku menyuruh si pengetuk itu masuk. Astaga, ternyata Rissa. "Pak?" "Ada yang mau di tanyain?" Dengan canggung dia melangkah mendekat sampai didepan meja kerjaku. "Maaf Pak sebelumnya. Sebenarnya saya mau ngomong. Tapi jujur, saya juga nggak enak." Aku mengerutkan dahiku dengan bingung. Tidak mengerti maksudnya dia itu apa. Tapi kalau di lihat dari raut wajahnya, seperti ada sesuatu yang mengganggu. Dan aku nggak bohong kedua matanya memerah seperti mau menahan air mata. "Ada apa?" "Saya izin pulang bisa? Ada masalah Pak." "Ini hari pertama kamu masuk bekerja. Kamu sudah berani untuk pulang? Bahkan saya yakin kamu pasti belum selesai menyapu atau mengepel lantai." Aku mulai emosi. Paling kesal sama karyawan modelan begini. Dari kemarin sudah banyak yang masuk kerja itu main-main. Selalu saja ada alasan. Masa iya aku harus mentolerir keadaan terus menerus dan tidak tegas? Apalagi situasinya ini hari pertama dia bekerja. Apa karena kita ini pernah menjadi mantan lalu seenaknya dia boleh mendapatkan izin dari aku? "Saya tidak perduli. Ini jam kerja. Tolong sikap profesionalnya dan jangan menggabungkan urusan pribadi." "Tapi, Pak-" "Jangan harap karena kita pernah jadi masalalu lalu seenaknya kamu meminta izin sama saya!" Dan akhirnya tanpa sengaja emosionalku meluap... **** Makjleb nggak tuh, baru pertama ketemu setelah 10 tahun lamanya malah gini situasinya ? Jangan lupa nantikan chapter selanjutnya insya Allah besok ? Tolong vote nya ya, Terima ksih ✨ With love, Lia Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD