Ternyata ada baiknya juga kalau akhirnya ending ku bersama si Boss tidak sejalan. Ngebayangin punya mertua macam orang tuanya si Boss dengan sifatnya yang begitu aja, rasanya nggak banget. Bagaimana kalau beneran jadi mantunya?
Bisa-bisa malah mati muda aku.
Dasar nenek tua nggak sopan. Omongannya ramah sekali di dengar. Aku pikir di usianya yang makin sepuh bukannya bijak malah sebaliknya. Mentang-mentang aku ini orang biasa, nggak solehah solehah amat. Tapi malah semudah itu dia ngerendahin orang. Padahal sejatinya menilai seseorang itu berawal dari sifatnya dulu. Dia baik atau tidak.
Aku menghela napas. Malam ini benar-benar melelahkan. Tidak hanya fisik yang baru saja selesai beraktivitas bekerja. Tetapi pikiranku yang terus terpusat pada putraku.
Aku khawatir sama Azhar. Apalagi dia baru saja pulih setelah di opname. Belum lagi harus minum obat rawat jalan dan pola makannya yang harus teratur.
Tanpa banyak pikir panjang aku pun menuju parkiran motor. Aku harus kerumah si b******k itu! Ini demi keselamatan Azhar.
"Rissa!"
Aku menghentikan langkahku. Menoleh kebelakang dan lagi-lagi si pembawa masalah kebatinan itu datang.
"Apa sih?"
"Kamu mau kemana?"
"Berak!"
"Ih, kok gitu?"
"Ya pulang lah."
"Tapi Ris-"
"Boss! Asal anda tahu ya, jam kerja saya itu sudah selesai. Jadi apapun alasan anda saat ini, saya menolaknya!"
"Saya cuma mau bilang minta maaf atas nama Bunda saya. Karena beliau sudah ngomong yang enggak-enggak sama kamu."
"Emang saya perduli?"
"Saya tahu kamu pasti nggak perduli-"
"Kalau sudah tahu yaudah! Saya aja capek sama hidup saya sendiri apalagi dengerin omongan orang?!"
Setelah itu aku pun langsung pergi. Masa bodoh dengan situasinya. Toh juga saat ini bukan jam kerja. Jadi nggak perlu lagi lah aku bersikap profesional didepan dia apalagi orang itu mantan.
Aku langsung tancap gas mengendarai motorku yang bulan depan cicilan kreditnya akan lunas. Dengan cepat sambil hati-hati aku mengendarai motorku menuju kediaman si b******k itu dengan memasuki wilayah perumahan elit.
Ck! Dalam hati aku mendecak sebal.
Tinggal di perumahan elit tapi jiwanya bener-bener pelit!
Bayangin aja, sudah 2 bulan kami pisah ranjang tanpa nafkah dan tanggung jawab seperti siksaan yang menyakitkan. Aku pikir cerita firaun itu hanya sejarah yang pernah aku baca. Rupanya titisannya berwujud manusia macam Ansel pun nongol. Dzolimnya nggak ketulungan!
Akhirnya aku berhenti tepat di depan rumahnya. Aku memarkirkan motorku dan mengetuk nyaring pintu pagar yang berdiri megah di hadapanku.
"Mbak Rissa?"
"Pak! Tolong izinkan saya masuk."
"Aduh, maaf mbak. Saya nggak berani. Ini perintah Mas Ansel langsung kalau Mbak nggak boleh masuk."
"Tapi saya istrinya Pak! Ada anak saya di dalam. Saya cuma mau ketemu anak saya. Tolong.."
"Maaf Mbak. Maaf banget. Saya nggak berani. Bisa-bisa saya di pecat-"
"Awas Pak ada anjing!"
"HAH MANA?"
BUG!
Detik itu juga aku menendang tulang keringnya. Dia mengaduh kesakitan dan aku pun langsung memasuki pagar itu. Sesampainya disana aku berlari menuju halaman samping. Dalam hati aku merasa kesal. Rumah kok segede gamban. Bikin capek kaki manusia aja buat keliling.
"Mbak! Mbak! Mbak sum! Tolong buka pintunya."
Aku menggedor pintu bagian belakang akses menuju dapur. Aku yakin Mbak Sum bisa membantuku. Satu-satunya orang di rumah ini yang pro ke aku sejak dulu cuma Mbak Sum.
Pintu terbuka lebar. Mbak Sum keluar dengan wajahnya yang mengantuk tetapi ikutan khawatir.
"Ibu Rissa?"
"Mbak, saya mau masuk. Ada Azhar didalam. Saya-"
"Kalau mau cari Azhar, ngapain bikin heboh satu rumah?"
Tiba-tiba si b******k itu datang menghampiri kami. Dia memakai kemeja hitam lengan panjang yang di gulung Setengah hingga kesiku. Sementara dua kancing bagian atasnya terbuka lebar. Dia memang tampan. Pria bertubuh athletis seperti gambaran cowok-cowok w*****d. Tetapi karena dia b***t, pesonya langsung pudar di pandanganku.
Aku melihat Ansel memberi perintah melalui tatapannya agar Mbak Sum masuk ke dalam kamarnya. Setelah Mbak sum masuk, dia memajukan langkahnya ke hadapanku.
"Mana Azhar?" tanyaku marah.
Bukannya menjawab, si brengksek ini malah menarik pinggulku. Aku berusaha untuk mendorongnya. Dia mendekatkan wajahnya tepat di samping leherku. Seketika aku merasa jijik dan juga ketakutan.
"Lepas!"
"Ternyata gini aroma orang miskin yang baru saja pulang bekerja. Kamu sudah putuskan apa jawabanmu?"
Aku mendorong tubuhnya. Tetapi si b******k ini malah memegang kedua lenganku dengan kuat. Aku berusaha menahan sakit. Lebih baik aku kesakitan daripada tidak bisa membawa anakku pulang.
"Aku mau bekerja atau tidak. Itu hak aku! Jadi jangan bersikap seolah-olah kamu ini pengekang atas diriku. Kamu nggak berhak, Ansel!"
Dia tersenyum sinis. Bahkan memegang tengkuk belakangku. Aku memalingkan wajahku kesamping. Tidak ingin menatap matanya dengan jarak wajah sedekat ini.
"Siapa bilang aku tidak berhak? Aku masih berhak atas dirimu!" bisiknya pelan.
"b******n!"
PLAK!
Dengan keras aku menamparnya. Napasku sampai tersenggal-senggal. Dengan gesture tubuhnya yang santai sambil memegang pipinya bekas tamparanku, tiba-tiba dia langsung menarikku.
"Ansel! Lepaskan!"
"Ini akibatnya kalau kamu meremehkanku!"
"Lepas!"
Aku semakin ketakutan. Apalagi dia membawaku masuk kedalam rumah dan menuju lift. Dengan kasar dia mendorongku menuju dinding lift. Sekarang aku merasa terpojok. Dia mengekang tubuhku.
Seketika hatiku terluka. Tanpa sengaja aku mencium aroma parfum yang dia pakai. Aroma maskulin soft yang pernah aku pilihkan untuknya. Aku pikir saat itu dia benar-benar mencintaiku sampai-sampai aku berhasil melupakan Keenan. Tetapi kenyataanya, semua itu hanyalah tipuan yang menyakitkan.
"Lepaskan aku, aku ingin Azhar."
"Tidak semudah itu."
Pintu lift terbuka. Dia langsung menarik tanganku dengan kasar bahkan tanpa diduga dia memasukkanku ke dalam kamarnya. Pikiranku semakin Tidak-tidak.
"Apa yang kamu lakukan!"
"Ini hukuman buat kamu!"
Aku mencoba lari tetapi semudah itu dia menangkap tubuhku dan mendorongku paksa ke atas tempat tidur. Dan lagi, bayangan masalalu karena pernah bersamanya di kamar ini kembali terlintas.
Aku berusaha untuk bangun dan beranjak pergi. Aku sudah tidak tahan dengan semua situasi ini. Bahkan aku sendiri ketakutan.
"Azhar pasti senang kalau Ayah dan Ibunya bersama di kamar ini."
"Kamu mau apa?!"
"Memberimu pilihan."
"ANSEL!"
"Tidur bersama suamimu yang tampan ini atau berhenti bekerja sama mantan kamu! Kalau kamu milih bekerja, maka aku tidak akan pernah menyerahkan Azhar padamu."
Dia tertawa meledek ke arahku. Tiba-tiba dia mencengkram leherku. Aku memejamkan kedua mataku dengan kuat. Berusaha untuk tidak menangis.
"Ini akibatnya kalau kamu berani melawanku. Wanita rendahan sepertimu tidak perlu terlihat sok kuat."
"Bangs*!"
Plak!
Saat itu juga air mata mengalir di pipiku. Ansel baru saja menamparku. Ini pertama kalinya aku di tampar oleh seorang pria. Bahkan Ayahku sendiri aja tidak pernah menamparku.
"Kalau kamu tidak bisa menjawab, maka aku yang akan memutuskannya."
Detik itu juga Ansel melepaskan baju yang aku pakai. Menyentuh tubuhku dengan paksa. Aku memejamkan kedua mataku. Menangis dengan isakkan pedih.
Di saat yang sama, aku teringat Keenan karena sosoknya yang pernah baik apalagi tidak pernah menamparku.
Meskipun dia hanya seorang mantan....
****
Rissa kalau di sakitin sama cowok langsung teringat mantan yang dulunya pernah baik sama dia ?
Makasih ya sudah baca. Sehat selalu buat kaliannn ?
With Love, Lia
Instagram : lia_rezaa_vahlefii