Di samping vila adalah halaman cukup luas yang ditanami beberapa pohon nan rindang hingga udara di sana benar-benar sejuk, setidaknya karbondioksida masih terjaga dengan baik di tempat itu, tak ada asap kendaraan yang mengusik seperti di jalan besar. Ada ayunan besi bercat keemasan di sana, beberapa jenis anggrek menempel pada dinding di sisi barisan pohon mangga, jambu batu serta cermai, kesan hijau nan asri benar-benar terasa di tempat itu.
Seorang gadis duduk sendirian seraya hafalkan skrip film yang ia pangku, sebotol softdrink serta kripik kentang turut menemani sorenya yang begitu tenang, besok syuting di hari pertama dan Alaka ingin performanya benar-benar baik—mengingat pesan sutradara beberapa waktu lalu—sebelum mereka semua datang ke Bandung, intinya Alaka dan Rafael harus beradu akting dengan baik, pamerkan chemistry mereka senyata mungkin.
Ayunan bergerak pelan diikuti desau angin dari arah berlawanan—membuat rambut terurai Alaka mulai mengusik wajah pemiliknya yang menunduk hafalkan setiap rangkai dialog dalam kepala, n****+ yang digarap oleh sutradara Ardani Gatra itu cukup tebal, mencapai lima ratus halaman lebih, tapi untungnya si penulis skrip bisa meringkasnya, membuang beberapa adegan yang tak diperlukan. Hanya saja untuk urusan kissing scene memang tak dihilangkan, saat ini saja Alaka langsung mengangkat wajah seraya menyugar rambutnya kala ia temukan kissing scene dalam skrip yang ia baca.
Alaka langsung kehilangan mood kali ini, ia raih sebungkus kripik kentang yang belum dibuka, merobek bagian atas bungkus sebelum mengunyah isinya dengan rakus, sungguh Alaka tak ingin membayangkan apa saja yang terjadi esok hari, dua minggu harus lekas selesai agar ia bisa terlelap dengan nyaman di ranjang empuknya tanpa melihat Rafael lagi.
Ngomong-ngomong soal Rafael, laki-laki itu tak terlihat lagi setelah kepulangannya ke vila bersama Alaka, bahkan setelah Alaka mengoloknya di perjalanan pun Rafael hanya diam, entah merasa tertohok atau memang tak ingin melawan Alaka pun tak tahu.
"Kalau ada adegan kissing scene, skinship ala-ala pelukan gitu kayaknya gue musti mandi kembang tujuh rupa," gumam Alaka begitu yakin, "yang benar aja, emang mau manggil setan." Ia kesal sendiri, bibirnya kembali mengunyah kripik kentang dengan rakus, membayangkan saja sudah kesal setengah mati, semoga saja saat hari itu tiba akan ada ibu peri yang datang membawanya pergi.
Alaka menoleh ke arah sudut vila berjarak tiga meter dari posisinya sekarang usai mendengar suara batuk seseorang, ia dapati Rafael melangkah sempoyongan seraya meraba tembok seperti orang mabuk. Tadinya Alaka tak ingin peduli saat ia rapikan semua barang-barangnya, bersiap pergi, tapi saat Rafael kembali batuk hingga terkapar di rerumputan membuat empati Alaka bergejolak, ia sampai melempar barang-barangnya ketika berlari menghampiri Rafael yang kini berusaha bangkit sendiri.
"Lo kenapa?" Alaka bantu Rafael berdiri, tubuh Rafael terasa panas dingin serta keringat bercucuran, wajahnya cukup pucat. "Lo sakit?"
Rafael menggeleng, ia tersenyum tipis tanggapi seseorang yang kini berdiri di depannya, menyentuh kedua lengan Rafael sekuat tenaga agar tetap berdiri. "Jangan, jangan bilang siapa-siapa, ya." Suara Rafael begitu serak, nyaris tak terdengar.
"Bilang apa? Kalau lo sakit—ya gue harus bilang, lah. Lo mau mati di sini? Gue sih ogah." Bahkan meski rasa perhatiannya telah mencuat pun Alaka tetap judes.
"Nggak, gue nggak sakit." Keringat Rafael semakin bercucuran, ia tarik Alaka hingga posisi mereka berubah, kini gadis itu terkungkung di tembok saat kedua tangan Rafael mengunci posisinya.
"Heh! Lo mau ngapain! Gue udah tolongin barusan, tahu diri dikit dong!"
"Alaka Prita." Suaranya begitu pelan saat menyebut nama Alaka, tatapan Rafael cukup sayu meski begitu meneduhkan, tapi tidak bagi Alaka yang kini rasakan takut saat kedua tangan Rafael menangkup wajahnya—bahkan merapatkan tubuh mereka.
"Rafael, please jangan kayak gini, kalau ada yang lihat nanti dipikir apa." Alaka berusaha mendorongnya, tapi Rafael enggan menyingkir.
"Al—" Ia mereguk bibir Alaka untuk pertama kali, bahkan bukan untuk adegan dalam film, kali ini benar-benar nyata dalam keadaan yang sama-sama sadar. Saat gerakan lembut penuh rasa itu berlangsung, Alaka makin takut setengah mati, tapi sensor motoriknya benar-benar melemah seolah kalah oleh perlakuan gila dari Rafael. Sekuat tenaga gadis itu mendorong Rafael hingga terjerembab pada rerumputan, saat itulah Alaka berlari sekencang mungkin meninggalkan Rafael yang kini terbaring seraya menetralkan desah napasnya.
Alaka berlari tunggang-langgang sampai ia berserobok dengan seseorang dan terjerembab di lantai, gadis itu tak langsung berdiri saat rasakan linglung menyerang, ia merasa kehilangan separuh ingatannya untuk beberapa detik. Galan yang baru ditabrak pun kebingungan perhatikan sikap Alaka, laki-laki itu membungkuk seraya ulurkan tangan, tapi Alaka belum menanggapi ketika jangkarnya langsung menancap pada hal yang tak ingin diingatnya sekitar semenit lalu.
"Al, kenapa?" Galan buka suara, untunglah ia berhasil bangunkan Alaka dari lamunannya. Gadis itu raih tangan Galan dan beranjak, keringat tampak mengucur dari pelipis Alaka. "Kenapa lari-lari kayak gitu, habis lihat setan?"
"Ak-aku habis—" Bibir Alaka gemetar untuk mengakui apa yang baru saja terjadi, ia menoleh perhatikan sekitar, beruntungnya tak ada Rafael di sana. "Ak-aku mau masuk, ya, Kak."
"Al—" Gadis itu sudah melenggang lebih dulu tanpa memberitahu hal sebenarnya pada Galan, nyali Alaka benar-benar ciut untuk mengatakan, antara takut dan malu—dua hal itu mendominasi pikirannya kali ini.
Gadis berambut sebahu itu langsung masuk kamar mandi dan menguncinya rapat-rapat, ia sandarkan punggung pada pintu seraya pejamkan mata sebelum tubuhnya meluruh terduduk di lantai. Tiba-tiba air mata Alaka menetes teringat lagi kejadian tadi, mata teduh Rafael benar-benar menenangkan sampai ia lupa daratan. Kenapa Rafael tiba-tiba melakukan semua itu? Apa karena alasan kissing scene dalam film? Sungguh, Alaka sedikit pun tak pernah mengharapkannya.
Lo emang b******n, Rafael. Lo b******n!
Kedua tangan Alaka terkepal, ia menunduk biarkan air matanya basahi lantai, ia merasa seperti seorang gadis yang tak punya harga diri—terlebih pelakunya Rafael sendiri, laki-laki yang bahkan tak ingin Alaka lihat selamanya.
Alaka beranjak seraya usap air matanya, ia hampiri watafel sebelum putar kran hingga air mengalir, kini wajah basah itu dibasuhnya agar air mata samar, jangan lupa dengan bibir yang sudah direnggut paksa oleh Rafael.
Dasar b******n! Selamanya bakal jadi b******n!
Kebencian Alaka terlihat jelas pada cermin di depannya saat sepasang bola mata itu menatap penuh dendam bayang sendiri, rasa bencinya pada Rafael semakin meningkat drastis, entah ia harus senang atau tidak karena hal itu.
***
Ada jendela di kamar Alaka, ia bahkan baru menyadari kalau jendela itu mengarah langsung pada halaman di sisi vila, lebih tepatnya halaman tempat ayunan besi berada. Alaka baru sadar setelah menggeser tirainya, selama ia tinggal baru kali ini sampai menggeser tirai—sebab mereka tak membutuhkan desau angin alami, setiap ruangan telah difasilitasi AC, untuk urusan sinar matahari serahkan saja pada ventilasi di atas jendela.
Malam semakin pekat saat jarum jam bergerak menemui angka sebelas, tapi Alaka belum tertidur sama sekali meski Rani terlelap begitu tenang, bahkan sesekali mendengkur. Alaka tidak insomnia, ia belum pernah menghadapi hal semacam itu, jika tubuhnya sudah sangat lelah—maka tempel bantal dan terpejam begitu mudah dilakukan, tak perlu berpikir dua kali untuk itu.
Alaka hanya masih terusik atas segala hal yang menimpanya hari ini, di hari pertama dan sekarang—semua begitu menjengkelkan, tak ada kesan menyenangkan yang ia dapat. Bisakah ia bertahan untuk empat belas hari ke depan?
Alaka membuka jendela lebar-lebar, membiarkan desau angin menyapa meski AC kamar juga hidup. Ia duduk di sana, menatap keadaan halaman yang kosong, beberapa orang mungkin sudah terlelap hingga kesunyian merajai.
Ia hanya sebentar melakukan aktivitas sederhana itu, kedua tangannya kembali tarik jendela hingga tertutup sempurna, setelah itu mengunci pengaitnya sebelum tarik tirai hingga suasana di luar kamar benar-benar tak terlihat, tapi saat ia memutar tubuh—terdengar suara seseorang yang membuatnya kembali pada posisi semula, gadis itu tak segan mengintip seseorang yang kini duduk memunggunginya di ayunan besi. Dari postur tubuh Alaka langsung mengenali kalau sosok itu ialah Rafael, mood keingintahuan Alaka langsung pecah, ia tutup lagi tirai.
Namun, suara Rafael yang meninggi benar-benar mengesalkan, Alaka tak ingin berkhianat kalau ia ingin tahu apa yang dilakukan makhluk itu malam-malam sendirian, saat diintip lagi tampak Rafael berbicara dengan seseorang lewat ponselnya, ia tak lagi duduk di ayunan—melainkan berdiri di sisi benda itu seraya sentuh salah satu besi penyangga.
"Papa peduli apa soal urusan El, mau mati langsung atau sekarat dulu Papa nggak perlu pusing-pusing buat mikirin. Kita sama-sama tahu nggak ada jalan tengah buat ini, jadi biarin El lakukan apa pun tanpa perlu dikekang sama Papa. Oke?" Rafael matikan panggilan itu sebelum lempar ponselnya ke rumput dan menendang besi penyangga ayunan di dekatnya, suara denting besi membuat Alaka sampai mengerjap, saat Rafael menoleh—tatapan mereka bertemu, tapi setelahnya Alaka tutup tirai dan melompat ke ranjangnya. Terserah jika Rafael berpikiran buruk tentangnya sekarang, entah menguntit atau sebutan lainnya, Alaka tak ingin peduli apa pun tentang segala hal yang terpaut dengan laki-laki itu. Sampai sekarang Alaka masih menyesal, kenapa ia harus menolongnya?
***