bc

Everywhen

book_age16+
273
FOLLOW
2.4K
READ
family
goodgirl
powerful
drama
twisted
sweet
bxg
enimies to lovers
first love
friendship
like
intro-logo
Blurb

"Drama di dalam drama."

Young Adult - Romance.

Alaka tak pernah menyukai Rafael, dari ujung kaki hingga kepala serta segala tingkah lakunya, tapi sebuah judul film harus mempertemukan mereka, membuat kehidupan Alaka seperti melangkah di kerak neraka. Debat dan debat, egois dengan pendirian masing-masing, belum lagi scene film yang seringkali membuat Alaka naik darah.

Bandung yang Alaka pikir akan membuat pikirannya tentram setelah melakoni Ujian Nasional tiba-tiba berubah menjadi kota yang paling tak ingin Alaka jamah selama dua minggu ke depan.

@aprilwriters

chap-preview
Free preview
1. Katanya, membangun chemistry?
Udara di Bandung terasa makin dingin usai hujan deras mengguyur sejak sore tadi, lantas sekarang waktu telah menunjukan pukul delapan malam meski rintik sisa masih terus saja menetes, memperlihatkan jalanan basah, belum lagi kubangan air yang tercipta dari lubang-lubang di jalan—membuat siapa saja akan marah jika terkena cipratannya, tapi beberapa orang mungkin lebih senang menghabiskan waktu di rumah yang terasa hangat saat secangkir kopi menemani. Namun, sepertinya dingin udara Bandung malam ini takkan mampu menandingi dinginnya sikap sepasang manusia yang duduk di bawah atap mobil, bukan karena keduanya sama-sama introvert, hanya saja lebih pada pemahaman di benak masing-masing. Alaka tak pernah menyukai Rafael Wijaya—si aktor tampan berusia dua puluh tahun yang namanya melejit dalam dua tahun terakhir setelah membintangi sekitar empat film layar lebar, belum lagi beberapa drama pada aplikasi yang episodenya hanya dibatasi sekitar tiga belas chapter. Sedangkan Rafael memang baru mengenal Alaka meski gadis yang baru kelar melakoni Ujian Nasional SMA-nya itu telah menjadi aktris remaja selama enam tahun terakhir, tapi baru kali ini keduanya dipertemukan dalam satu judul film. AC sama sekali tak dinyalakan, bahkan jendela sisi kanan dan kiri juga sengaja dibuka, belum lagi embusan asap rokok menguar dari bibir Rafael. Sedangkan Alaka memilih bersidekap seraya menyandarkan punggung dan menatap keadaan dari area jalan besar yang mereka lewati, mereka lebih seperti bisu bertemu bisu. Suara ponsel Alaka terdengar, gadis itu membenarkan posisi duduknya seraya merogoh ponsel dari saku sweater putih yang ia kenakan, rambut lurus sebahunya sebagian dicepol dan menyisakan sedikit di balik tengkuk, ia tampak menggemaskan jika saja wajah terlipat itu disingkirkan. "Eum, ya, apa?" Alaka buka suara. "Lagi di jalan kok, nggak usah tanya aja—bikin gue makin kesal, lo, Mbak." Panggilan Alaka akhiri sepihak, satu hal yang paling tak pernah Alaka inginkan kenapa harus benar-benar terjadi di Bandung, kota yang paling ia sukai, tanah kelahirannya. Duduk di sebelah Rafael tak masuk pada daftar keinginan Alaka, atau malah masuk blacklist, tapi mungkin mereka harus terus melakoninya selama beberapa hari ke depan berkat perintah dari sutradara, keduanya kaku, harus membangun chemistry lebih dulu agar karakter yang mereka perankan lebih menjiwai. Bagaimana tidak kaku kalau keduanya sama-sama menolak untuk mengerti? Alaka duduk seperti posisi pertama, menatap jalanan yang sepi akibat guyuran hujan, tapi beberapa toko serta warung tenda biru di tepi jalan tampak buka, menguarkan aroma nikmat yang membuat isi perut Alaka bergejolak, ditambah ia yang sama sekali belum makan sejak tiba di Bandung pukul tiga, lalu baru terbangun saat maghrib—jika saja suara adzan tak terdengar. Gadis itu menatap layar ponsel, mengetik sebuah pesan untuk Rani—managernya. Kalau gue tahu peran cowoknya si Rafael, gue nggak bakal pernah ikut casting hari itu. Sebesar apa dosa gue sampai harus satu film sama dia :( Alaka mendesah, ia lirik sejenak laki-laki yang masih menyesap batang rokoknya, terlihat menjengkelkan meski hanya diam. Terkadang kalau orang sudah benci, apa saja tingkah lakunya pasti terlihat buruk, menarik napas saja salah. Alaka berdeham, hanya memecah keheningan mereka saja, tapi tak ada tanggapan dari manusia di sebelahnya, ia sampai meremas ponsel rasakan kesal yang kian membuncah. Ponsel berdering, gadis itu buru-buru membuka chat masuk dari Rani. Iya gue juga nggak ngerti, mana kalian bakal jadi pasangan lagi di film, jangan-jangan jodoh kalian :v "Hih! Gila!" Saking kesalnya Alaka sampai menghentak kaki beberapa kali, membuat sosok di sebelahnya menoleh dengan ekspresi datar, gadis itu langsung diam dan mengalihkan pandang. Sialan lo, Mbak. Awas aja kalau gue udah di vila nanti, habis lo! Kepala Alaka terasa mendidih, benar-benar menahan emosi yang tak bisa diluapkannya, belum lagi manusia di sebelah seperti santai saja dengan urusannya. Oke, Alaka juga tak ingin peduli. Ini dari tadi cuma muter-muter doang, gitu? Gue rasanya mau pingsan belom makan, apa dia tipikal manusia yang nggak peka-peka? Seratus, nilai tertinggi bagi kekesalan Alaka yang makin bertambah, harusnya bisa sampai seribu jika pihak sekolah menilai pekerjaan muridnya hingga angka seribu. Mobil memasuki pelataran minimarket yang separuhnya basah saat separuhnya terlindungi atap, Rafael turun begitu saja tanpa mengatakan apa-apa, tanpa mengajak Alaka. "Ya Allah, semoga waktu dua minggu dipersingkat jadi dua hari aja, Alaka nggak bisa lama-lama di sebelah dia, Ya Allah." Gadis itu tetap duduk di mobil, menengadahkan telempap seraya memasang wajah memelas, benar-benar berharap kalau hari-hari selanjutnya ia bisa dijauhkan dari makhluk bernama Rafael Wijaya. Laki-laki itu kembali, membawa dua kaleng softdrink sebelum meletakan salah satunya pada permukaan dashboard di depan Alaka, tapi jelas tanpa suara. Kaleng lain ia buka dan diminumnya sendiri, mobil melaju tanpa basa-basi. Itu laki mulutnya bisa robek kali ya kalau nawarin sesuatu ke orang lain, batin Alaka seraya menatap sinis laki-laki yang tak lagi menyesap rokok. Dering ponsel kembali terdengar, tapi bukan lagi milik Alaka. Rafael merogohnya dari saku celana, menempelkan benda pipih warna gold itu ke telinga kanan. "Lagi di jalan, pulang sekarang? Ya oke." Ada rasa lega menjalar saat telinga Alaka mendengar kalau mereka harus kembali ke vila, penderitaan Alaka sedikit berkurang meski ia takkan tahu akan ada tantangan apa lagi esok hari, entah itu tertawa sampai menangis, atau menahan napas sampai mati berdiri. *** "Lo anteng di sini ngetawain gue, Mbak! Sumpah ya, lo tega banget sama gue." Alaka mengoceh seraya berkacak pinggang, melangkah mondar-mandir di depan ranjang tempat berbaringnya Rani, perempuan dua puluh lima tahun itu justru terkekeh saat melihat Alaka yang baru turun dari mobil dan membanting pintu begitu saja tanpa memedulikan Rafael mengumpat karena ulahnya. Wajah terlipat Alaka membuat Rani makin kegirangan, menyiksa Alaka memang satu hal yang cukup Rani gemari, pasalnya ia tahu sendiri kalau Alaka benar-benar tak menyukai sosok Rafael. "Hati nurani elo tuh di mana, Mbak!" "Di sini, di sini, di sini." Rani beranjak seraya menyentuh dadanya, ia begitu hiperbolis, masih ada sisa tawa terdengar. Ia dekati Alaka, menghentikan langkah sebelum memeluk aktris remaja yang ia anggap seperti adik sendiri itu. "Alaka lagi sedih, ya, Nak. Nggak boleh gitu, Sayang." Ia berkata dengan suara yang dibuat-buat serta ekspresif, makin membuat Alaka jengkel hingga mendorong Rani sampai terbaring lagi di ranjang, tawa wanita itu kembali terdengar. "t*i semua!" geram Alaka sebelum melangkah keluar kamar vila yang ia tinggali bersama beberapa artis lainnya, bisa saja setiap hari Alaka bolak-balik Jakarta-Bandung, tapi sutradara menegaskan kalau selama dua minggu mereka semua tetap di Bandung, belum lagi cuaca yang kurang bersahabat. Begitu keluar kamar, ekspresi kesal Alaka langsung berubah saat menemukan Galan—aktor remaja seusia Rafael tersenyum seraya melewatinya, Alaka ingat kalau mereka pernah satu judul drama saat gadis itu masih kelas sembilan SMP, tapi kesan menyenangkan Alaka sematkan pada Galan yang memang ramah pada semua orang. "Kak Galan mau ke mana?" tanya Alaka, menyamai langkah Galan yang mengarah keluar vila. "Lapar, mau cari makan," sahut Galan seraya meneguk isi botol air mineralnya, sungguh sekalipun laki-laki itu hanya kenakan celana traning serta kaus oblong—rupanya tak bisa membinasakan karakter mempesona dalam diri Galan, penggemarnya banyak—khususnya para kaum hawa, belum lagi followers i********: yang mencapai angka sepuluh juta. "Kakak mau pergi?" Alaka makin semangat bertanya. "Enggak, habis hujan kayak gini dingin, pesan online aja yang praktis," tutur Galan, "Alaka mau?" Langkah keduanya terhenti di beranda vila, keadaan di luar benar-benar sepi saat banyak orang memutuskan beristirahat di dalam, hanya beberapa mobil berjejer rapi di halaman vila yang cukup luas, ada beberapa pohon besar tertata di balik pagar besi, belum lagi tanaman anggrek dan beberapa bunga lain yang menambah kesan asri tempat itu. "Mau! Aku juga lapar." "Lapar?" Galan seperti tak percaya. "Bukannya habis keluar sama Rafael, kalian nggak makan?" Alaka tertawa hambar mendengarnya, apa ada katak terbang kali ini? "Kok ketawa?" Galan mengernyit. "Lucu, lucu banget." Alaka menoleh ke arah pintu, takut-takut ada orang di belakang mereka, ia menarik Galan ke sisi pilar. "Kenapa sih pasangan aku nanti bukan Kak Galan aja? Kenapa harus Rafael, aku nggak suka sama dia." "Kenapa? Kan gantengnya sebelas dua belas." Galan percaya diri. "Mau ganteng atau enggak, kalau nggak suka tetep nggak suka, tahu." Alaka bersidekap, bola matanya memperhatikan rintik gerimis yang masih saja berjatuhan, embusan angin malam itu cukup membuat lehernya meremang, tapi kenapa Galan yang hanya mengenakan kaus oblong justru biasa saja? Apa semua tergantung amal perbuatan? "Mau cerita nggak?" Alaka menggeleng. "Nggak perlu, Kak. Nggak penting, nanti aku tambah kesal. Kita jadi pesan makanan nggak, nih? Pakai hp Kakak atau punyaku?" "Punya gue aja." Galan mengeluarkan ponsel dari saku celana, membuka aplikasi ojek online. "Lo mau makan apa?" "Nasi goreng kambing aja, yang pedas." "Pantas kadang galak." Galan terkekeh sendiri, ia mendapatkan pukulan di lengan kirinya. "Bercanda kok, bercanda. Gue mau menu sama, deh." Alaka menoleh tatap sofa kosong di belakang mereka, ia putuskan duduk di sana tanpa mengajak Galan yang masih sibuk dengan urusan ponsel. Gadis itu sandarkan punggung, menarik napas seraya memejamkan mata sejenak, ia pikir syuting di Bandung akan menjadi hiburan tersendiri setelah berpusing-pusing ria mengerjakan Ujian Nasional beberapa waktu lalu, untung saja syuting baru dimulai setelah urusan sekolah Alaka selesai, ia hanya perlu menunggu waktu kelulusan tiba. Namun, bukan syuting dengan Rafael yang Alaka inginkan, kata menyesal seolah menertawainya terus-menerus, meledek hingga Alaka tak tahu cara mengusirnya. Semua sudah terlambat. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.8K
bc

My Secret Little Wife

read
115.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook