Kenyataan Pahit

1775 Words
Hidupku kemungkinan memang dikutuk. Salah satu kesialanku, ya hari ini. Sejak Bu Darla memberi tugas agar aku menangani penulis ‘istimewa’, harusnya aku mencoba keras menolaknya. Lagi pula, aku baru tahu kalau si berengsek Iota Rho menulis untuk kami. Setahuku, sebelumnya ia fokus menulis untuk satu penerbit. Argh! Aku ingin menenggelamkan diri ke samudra Hindia. Sesuai dengan kesepakatan, kami melakukan pertemuan untuk membahas naskahnya. Seandainya mengurus Iota Rho akan berjalan selancar saat mengurus Aji Manunggal, aku tak akan merasa seputus asa ini. Masalahnya, aku benci penulis yang saat ini sedang duduk di sudut kafe sembari menaikkan kedua kaki ke atas meja. Melihat rokok di asbak, aku tahu alasannya memintaku bertemu di dekat balkon lantai atas ialah karena itu. Aku mendesah kesal. “Permisi.” Aku meletakkan tas ke atas meja. Cowok yang tadinya menyandarkan kepala pada sandaran kursi tersebut seketika membuka matanya yang tadi terpejam. Ia memerhatikanku dengan saksama dari puncak kepala sampai ujung kaki. “Who?”tanyanya tak acuh. “Saya Nuansa. Editor Anda.” “Who?” nadanya naik tiga oktaf. Ia menegakkan badan. Bibirnya mencebik. “Nggak meyakinkan.” Serius nih, aku benar-benar ingin melemparnya dari atas sini. Aku menghela napas panjang. Sabar, Nu.... Kunci kesuksesan ada pada kesabaran. Aku meyakinkan diri kalau aku bisa menghadapi bocah tengik ini. Tanpa menunggunya, aku duduk. “Saya sudah baca naskah Anda....” “Kalau ngomong bisa nggak sih nggak usah seformal ini?” protesnya. “Nyantai aja sama gue.” Kuremas tanganku di bawah meja. Aku memejamkan mata, lalu mengatur napas. “Oke.” Pada akhirnya aku mengubah ekspresiku. Tabah, tabah, tabah. “Gue udah baca naskah lo.” “So?” Matanya masih menatapku remeh. Aku mengeluarkan sebundel kertas dari tas. Kuletakkan naskahnya yang sudah dalam bentuk print out, lengkap dengan coretan-coretan. Ia melongok sebentar, terlihat tidak peduli, kemudian meraih puntung rokok di asbak dan mengisapnya. Aku berdeham. “Sudah gue coret. Lihat sendiri sana.” “Ngapa sih lo kayaknya sensi amat sama gue.” Aku mengibas-ngibas asap rokok yang ditiupnya. Kesabaranku menghadapinya rupanya harus lebih besar daripada menghadapi Bu Darla. Aku mengentak bundelan naskahnya, lantas merebut rokok di jarinya dan mematikannya di asbak. Sebelum ia protes, aku menyerobot. “Naskah lo ancur. Jelek. Nggak ada feel.” Aku mencondongkan badan. “Nggak layak terbit.” Ia melongo mendengar ucapanku yang blak-blakan. Belum pernah aku sebahagia ini berhasil mengungkapkan perasaan kesal. Tapi, di luar rasa kesalku, kritikanku memang benar! Aku menghela napas panjang. “Hah?” nadanya naik lagi. Ia memeriksa naskahnya, membuka halaman demi halaman. Sambil menunggunya membaca, aku memanggil pelayan untuk memesan. Kuamati lelaki di depanku yang mengerutkan dahi. “Udah dicek, kan? Jadi, gue menawarkan dua pilihan. Mau rombak total atau ganti cerita.” Kusunggingkan senyum hiperbolis. Mata yang mulanya menyorot barisan huruf di depannya beralih menatapku tajam. “You’ve gotta be kidding.” Bahuku terangkat. “Lo udah kebiasaan dipuji orang, ya? Makanya pas denger kritikan gue kayak nggak terima.” Aku tertawa kecil. Pesananku datang. Aku tersenyum pada pelayan yang mengantar secangkir cokelat panas dan menyeruputnya. Sebelum bibirku bersentuhan dengan tepi cangkir, aku menggumam. “Modal tampang doang, sih.” Cowok itu menyentak naskahnya, membuatku terpekik. “Lancang banget sih lo. Gue hubungin bos lo biar mampus.” “Silakan. Toh di mana-mana, penulis yang butuh penerbit. Bukan sebaliknya. Kalau nggak ada penerbit yang mau nampung, nggak bakal ada karya yang bisa lo hasilin.” Mendengar ancaman balikku, ia menyeringai. Diraihnya ponsel di dekat tangannya, kemudian menelepon. Aku cukup mendengar obrolannya dengan Bu Darla sambil menikmati minumanku. “Anda yakin mengirim editor amatir dan nggak tahu sopan santun ini buat saya? Saya tersinggung, nih! Masa baru kenal udah berani menghina saya? Saya nggak mau nulis buat penerbit Anda kalau begini ceritanya.” Bibirku mencebik. Ia memutus sambungan, masih dengan mata ditumbukkan lekat padaku. Tak berselang lama, ponselku yang berdering. Melihat nama Bu Darla, aku merasakan perutku ditinju seseorang. Segera kuangkat panggilan itu. “Ya, Bu?” “NUANSA! KAMU MAU BUNUH SAYA, YA?! KAMU MAU PERUSAHAAN KITA RUGI BESAR?! KAMU MAU DICERAMAHIN BOS SEHARIAN?! JANGAN MACAM-MACAM KAMU!” Aku menjauhkan ponsel dari telinga mendengar teriakannya. “Kenapa, Bu?” “KALAU KITA KEHILANGAN DIA, KAMU YANG BAKAL SAYA PECAT!” Baru saja aku ingin membuka mulut untuk memberi pembelaan, Bu Darla menutup sambungan telepon. Aku spontan melesatkan tatapan jengkel pada lelaki berengsek yang malah menyelipkan rokok baru di bibir. Aku mendengus. “Kalau penulisnya gue, beda cerita lagi. Siapa sih yang mau kehilangan penulis bernilai milyaran setiap bukunya terbit?” Bahunya terangkat. “Jadi, jangan harap lo bisa seenak jidat ya kalau sama gue. Gue penulis mahal.” Aku menyusupkan jemari pada rambut. Aku sudah yakin akhirnya bakal jadi begini. Memandang langit-langit kafe, aku mendesah putus asa. Kuusap wajah frustrasi. Senyum kusunggingkan sebagai gantinya. “Baiklah. Kita mulai pertemuan awal dengan suasana yang bersahabat.” Aku menyeringai. “Maafkan kata-kata yang saya lempar tadi, Tuan Penulis Mahal. Maksudnya, Iota. Atau mau saya panggil dengan nama lain?” Tangannya terangkat. “Nggak usah. Udah gue bilang ngomongnya santai aja.” Aku melengos. Kalian mungkin akan bertanya mengapa aku sangat sewot dengan penulis ini. Kami memang tak pernah saling mengenal. Lebih tepatnya, aku yang mengenalnya. Lagi pula, siapa sih yang tidak mengenal Iota Rho? Penulis muda yang banyak membuat pembaca perempuan baper. Aku bahkan yakin kalau yang membuat baper sebetulnya bukan tulisannya, melainkan wajahnya yang ganteng itu. Kalau ia tidak ganteng, pasti tulisannya tidak laku! Kemudian memori beberapa tahun lalu menyeruak tanpa permisi. Dewi batinku berbisik mencemooh: “Kalau benar modal tampang doang, lo nggak bakal kalah dari bocah tengik itu, bego.” Mengingat hal itu malah membuatku mengerang kesal. Beberapa tahun lalu, sewaktu masih kelas 3SMA, aku mengikuti lomba menulis yang diadakan komunitas kepenulisan terbesar di Indonesia. Itu kali pertama aku berani mengirim tulisan untuk lomba. Dan di sana pula pertama kalinya aku berhasil masuk lima besar. Lantas, harapanku menjadi pemenang dihempas jauh ketika dewan juri mengumumkan pemenang utamanya adalah karya dari Iota Rho, seorang penulis baru. Sama sepertiku, tulisan pertamanya dikirim ke perlombaan tersebut dan berhasil memikat dewan juri. Lantas, aku mencoba menulis dan mengirim ke perlombaan lain. Sialnya, Iota Rho menginvasi dunia kepenulisan populer. Ia memenangkan lomba-lomba kepenulisan. Selalu juara satu. Sejak itulah namanya melejit dan digandrungi banyak pembaca. Ia dikenal sebagai penulis produktif yang berbakat. Bahkan karya-karyanya sudah diterjemahkan ke banyak bahasa asing. Yang lebih menyebalkan lagi, aku pernah mencoba mengirim tulisanku ke penerbit dan ditolak. Lalu, aku teringat ucapan Dierja: “Kalau nama kamu bukan Iota Rho, penerbit nggak bakal mau nerima naskah kamu.” Bahkan ketika mendengar bahwa ia didaulat mewakili Indonesia ke luar negeri dalam ajang festival sastra internasional, aku makin iri setengah mati.Sejak saat itu aku berpikir untuk berhenti menulis dan lebih tertarik menjadi reviewer atau kritikus. Seorang penulis tak akan mampu menilai tulisannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku selalu beranggapan tulisanku tak bercela. Namun ketika dibaca seorang editor senior, ia bilang masih banyak hal yang perlu kuperbaiki. Aku lebih mudah mencari celah di naskah orang lain daripada naskah sendiri. Setelah melalui proses panjang, aku sadar, bakatku bukanlah menulis n****+, melainkan kritikus atau penyunting. “Woy!” Aku berkedip melihat tangan yang dilambai-lambai di depan mukaku. “Ya, ya?” “Ngelamun ya? Denger nggak yang gue bilang tadi? Jadi, gue harus ngubah kayak gimana?” Nadanya dipanjang-panjangkan. Aku mulai menjelaskan padanya untuk merombak alur yang kuanggap lamban. Sepanjang diskusi, aku menahan diri untuk tidak berapi-api.   *   Lukita muncul lagi. Aku melihatnya berlari masuk ke rumah. Dilihat dari tank top dan celana pendek, kurasa ia baru selesai lari sore. Selenting ingatan menubruk kepala. Aku ingat belum mengembalikan bajunya. Segera kuambil baju yang dulu dipinjamkan Sabda. Meskipun kakaknya belum pulang, kurasa mengenal lebih dekat sang adik bukanlah masalah. Berlari keluar, aku menyeberang ke rumah Sabda. Kutekan bel sambil berdoa dalam hati, semoga pertemuan pertamaku dengan cewek itu tidak semengenaskan pertemuanku dengan kakaknya. Menunggu dengan sabar, akhirnya pintu dibuka. Gadis berambut sebahu berponi itu menatapku bingung. “Siapa, ya?” tanyanya. “Ah, aku yang tinggal di sana.” Kutunjuk rumahku. “Oh! Kak Nuansa, ya? Masuk, masuk.” Pintu dibuka lebar. Aku membeliakkan mata tak percaya. Bagaimana ia tahu namaku? Masih dengan pertanyaan di benak, aku masuk. Lukita memerintahkanku duduk dulu, sedangkan ia ke dapur mengambil minuman. Sebelum kutolak, ia sudah berlari ke belakang. Aku menyeringai melihat tingkahnya. Kalau melihat gestur dan wajahnya yang ekspresif, aku menyangsikan asumsiku yang menganggap ia punya masalah. Mungkin pergaulan bebas yang membuatnya berani mabuk-mabukan sampai tengah malam. Lukita muncul membawa dua minuman. Bibirnya mengembangkan senyum ramah. “Kak Sabda cerita kalau Kakak yang bantu gantiin bajuku waktu itu. Makasih, ya.” “Oh... ya.” Aku tersenyum sumbang. “Tahu Kak Sabda punya tetangga cewek yang umurnya nggak terlalu jauh, aku jadi seneng. Malah, aku berencana buat bobo di sini aja. Jadinya, ada yang bisa aku ajak ngobrol.” Aku mengerjapkan mata. “Memangnya, kamu nggak punya temen?” Lukita terdiam. Bibirnya mengerucut ke samping. “Hmm....” Lalu, menggeleng. Mulutku bergerak membentuk huruf ‘O’. Apakah ia mabuk-mabukan karena frustrasi tak punya teman? Atau jangan-jangan ia kurang diperhatikan di rumahnya. Duh, aku jadi kepo. “Ya udah. Kita berteman aja.” Biar aku bisa lebih deket sama kakakmu. Aku menyeringai. “Oh, ya. Aku mau ngembaliin baju kamu. Waktu itu aku pinjem. Udah aku cuci, kok. Nih.” Kuulurkan baju yang sudah kulipat pada Lukita. Menyipitkan mata, Lukita menerima baju tersebut. Sebelah alisnya terangkat. Ekspresinya berubah drastis melihat baju yang kupinjam. Ia memandangku selama beberapa saat. Hal itu malah membuatku merasa aneh. “Kenapa? Kamu nggak suka ya bajunya aku pinjam? Maaf, ya. Bukan maksud lancang.” Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Obrolan di antara kami tidak berlanjut saat terdengar suara deru mesin mobil. Lukita bangkit dari tempat duduknya, tampak kaget. “A-aku balikin baju ini ke kamar, ya. Kakak ngobrol sama kakakku dulu.” Ia berlari gesit, mengabaikan tanda tanya di wajahku. Tak berselang lama, Sabda masuk sambil menenteng tas dan jas putih. Melihatku berdiri seperti orang t***l, ia menaikkan kedua alis. “Nuansa?” “Anu, aku ke sini balikin baju. Ada adik kamu yang bukain pintu. Dia ada di atas.” “Oh.” Ia mengangguk. “Aku ke atas dulu.” Kupersilakan ia menaiki anak tangga menuju ke atas. Aku menunggu di bawah sambil menggigit kuku. Samar-samar, terdengar perdebatan di atas, membuatku spontan menengadah. “Kamu pulang, temani Mama. Kasihan sendirian.” “Aku nggak mau pulang! Rumah sepi banget, tahu. Nggak kayak dulu. Waktu masih ada Papa. Kakak juga pergi. Mama sibuk. Aku kesepian.” Aku mengerjap-ngerjap mata. Kugigit bibir samar dan mengembuskan napas pendek. Tidak seharusnya aku mendengar perdebatan seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD