Dag Dig Dug

1782 Words
“Kamu punya masalah? Tumben sepi.” Mendengar pertanyaan itu, aku sontak mengangkat kepala, tersenyum pada Pak Aji yang menatapku skeptis. Iamemintaku memanggilnya begitu saja—untuk membicarakan naskahnya. Aku menjawab pertanyaannya dengan senyum samar dan gelengan. Sampai sekarang aku masih memikirkan perdebatan yang kudengar—meskipun bukan tentang diriku, hal itu cukup mengganggu pikiran. Aku jadi kasihan pada Lukita. “Maaf. Saya lagi nggak bisa fokus.” Lelaki tua itu malah tertawa. “Kamu itu orang paling jujur yang pernah saya temui. Tidak apa-apa. Kita bisa tutup sesi diskusi.” “Eh, jangan, Pak. Saya usahakan bersikap profesional.” “Walaupun kamu melakukannya, kamu tetap tidak bisa sepenuh hati. Sudah. Kita tutup saja. Sekarang, kita lakukan obrolan di luar pekerjaan. Kamu juga butuh istirahat.” Ia tersenyum dan melepas kacamata beningnya. Kubuang napas panjang. “Saya bingung saja. Saya hidup di lingkungan keluarga yang menyenangkan, jadi nggak pernah bisa membayangkan hidup di keluarga yang… hm, yang sampai membuat saya merasa kesepian. Waktu saya bertemu anak yang mengaku kesepian dan sampai melakukan hal-hal tercela, saya jadi….” Aku mengangkat bahu. “Kasihan.” Ia masih mempertahankan senyum ramah, meskipun ekspresinya agak berubah. “Dulu saya punya keluarga. Bisa dikatakan, awalnya kami hidup saling melengkapi. Istri saya dokter bedah. Saya penulis. Bisa bayangkan bagaimana susahnya meyakinkan keluarga istri saya saat saya melamarnya?” Aku tersenyum kecil, memahami situasi seperti itu. Kebanyakan keluarga mapan yang memiliki anak perempuan pasti mencari yang terbaik. Aku juga menyadari kalau masyarakat masih menganggap penulis itu pengangguran yang tak punya masa depan. “Akhirnya saya berhasil meyakinkan mereka kalau saya bisa menghidupi keluarga, walaupun dengan penghasilan secukupnya. Itulah mengapa saya bekerja keras dengan menulis dan melakukan keterampilan lain yang saya bisa. Melukis, misalnya. Saya menghidupi mereka dari tulisan dan lukisan, dibantu penghasilan istri saya. Kami baik-baik saja. Sampai suatu saat, istri saya harus menghadiri seminar di New York. Saya diminta menjaga anak-anak. Padahal hari itu juga saya harus menghadiri acara malam penganugerahan di Leiden. Kelihatannya sepele sekali. Kami meributkan siapa yang merelakan untuk tidak hadir dan tetap tinggal di rumah demi anak-anak. Kami akhirnya menghubungi saudara untuk menjaga mereka. “Tiba-tiba kami dikejutkan kabar kalau anak bungsu kami jatuh dan masuk rumah sakit. Kami praktis megambil penerbangan tercepat untuk pulang. Sampai di Indonesia pun keadaan bukan membaik, malah lebih buruk. Akhirnya, karena keegoisan, kami memutuskan pisah ranjang.” Mulutku terbuka. “Oh, saya minta maaf.” “Hal buruk yang pernah saya lakukan. Paling buruk,” lanjutnya seraya meraih cangkir dan tersenyum. Ia menyeruput minumannya. “Sampai hari ini, kami masih kepala batu. Itulah mengapa saya berterima kasih karena kamu mengingatkan kalau tulisan saya yang ini, nyawanya menghilang. Sangat berbeda dengan tulisan pertama saya yang kamu baca. Kamu memang pengamat jitu.” Ia terkekeh-kekeh. “Sejak masalah itu, saya jadi tidak semangat berkarya. Satu-satunya motivasi saya untuk terus berkarya adalah anak-anak saya. Mereka penggemar berat karya saya. Baik n****+, maupun lukisan.” “Saya juga.” Tawanya menggelegak. Keadaan yang tadinya suram berubah cair. Aku memesan minuman lagi pada pelayan untuk memperpanjang obrolan kami siang ini. Selama menunggu pesanan datang, kami berdiam satu sama lain. Pelayang datang membawa pesananku. “Nuansa, kamu sudah menikah?” Aku yang tadinya hendak menyedot minuman seketika mengangkat dagu. “Mmm.... Saya masih lajang.” Ia mengangguk-angguk. “Besok malam, saya ada janji makan malam dengan keluarga besar saya. Kamu mau saya ajak?” “Eh... untuk apa? Bukankah, lebih baik kalau Bapak makan malam bersama keluarga supaya bisa mengobrolkan masalah kalian?” “Justru itu, saya butuh kamu,” Ia memandangku lurus-lurus, “untuk bertemu dengan anak saya.”   *   Sore sepulang dari kafe, aku sengaja bermanja-manjaan dengan mengoleskan masker bengkoang ke wajah. Ponselku berdering. Melihat nama yang terpampang di layar, aku mendesah jengkel. “Ya.” “Ke mana aja, sih? Gue telpon dari tadi, nyuruh lo datang ke tempat biasa.” Terdengar bunyi gemerisik berisik di seberang, membuatku mengernyit. “Plis, gue ini editor lo, bukan babu.” Aku mengipas-ngipas wajah, menahan diri agar tidak meledakkan amarah. “Mau ngapain, sih?” “Lagi writer’s block, nih. Minta bantuan dong.” Kalau saja ini bukan demi nasibku di kantor, aku pasti memaki-makinya seenak jidat. Aku menghela napas teratur. “Apa yang harus gue bantu?” “Pokoknya gue minta saran. Gue terbiasa diskusi langsung. Gue tunggu, nih. Kalau writer’s block gue masih bertahan, gue nggak bakal nulis. Lo yang bakal kena marah.” Aku memandang ponselku dengan dahi mengernyit. Kampret benar nih orang. “Iya!” Lantas, sambungan diputus seenak perut. Aku mengepalkan tangan dan menghantamkannya berkali-kali ke bantal. Aku menarik diri dari kasur, berjalan malas menuju toilet untuk membilas wajah sekalian mandi sore. Sebelum keluar rumah, aku mengecek kandang binatang piaraanku, melihatnya tidur pulas. Aku melambai padanya. “Angel jangan nakal-nakal, ya. Dah, Angel yang manis. Mwah.” Aku melayangkan ciuman jauh. Duh, aku harus segera memastikan kalau Dierja segera menjemput Angel dan menemukan alasan tepat ke orang tua kami agar ditampung kembali. Bisa gila aku kalau setiap hari memikirkan binatang sialan itu. Aku sampai di tempat perjanjian sejam kemudian. Di bangku biasa, Iota sudah menunggu jemu. Ia menaikkan kedua kaki di atas meja dengan kepala terangkat menengadah ke atas. Matanya terpejam. Suara dehamanku membangunkannya. Ia segera menurunkan kaki. “Lama amat, sih,” gerutunya. Aku meremas tangan. “Seenggaknya gue datang.” Ia menyodorkan laptop padaku, memintaku membaca pekerjaannya. Selama k****a bab terbaru yang ia tulis, ia memain-mainkan ponsel, sepertinya sedang main game. “Sampai sini gue belum dapat feel. Kalau gue baca cerita-cerita lama lo, kayaknya makin lama tulisan lo makin nggak berkualitas.” Spontan saja, ia mengalihkan perhatian ke arahku. “Enak aja kalau ngomong.” “I try to be honest, dude,” sahutku hiperbolis. Aku menarik ponselnya dan mengangkatnya ke atas. “Waktu istrahat gue nggak mau kebuang percuma. Berhenti main-main.” “Oke.” Akhirnya, ia duduk manis dengan tangan terlipat di meja. “Makin lama kenapa gaya nulis lo berubah?” “Ngikutin pasar. Kalau gue nggak ngikutin pasar, nama gue meredup.” Aku menjentikkan jari. “Ini nih. Lo nulis udah bukan karena suka, tapi mulai kejar target: popularitas. Kalau lo begini terus, lama-lama jati diri lo bakal hilang. Apa bedanya lo sama penulis mainstream? Hello, you’re Iota Rho. Penulis yang dikenal karena keunikan ceritanya. Kenapa malah bikin cerita model begini? Seorang gadis polos miskin yang jatuh cinta pada bad boykaya raya dan ditentang keluarga si cowok. Why???” Aku mengangkat rendah kedua tanganku, menggeram frustrasi. Ia mengamatiku dengan seringai miring, membuatku mengernyit. Kerutan di dahiku makin dalam melihatnya tertawa pendek. “Lo baca semua cerita gue?” “Ya iya, lah. Semua, mulai dari cerita debut lo.” “Penggemar gue, dong?” Aku menatapnya sengit. Iya juga, ya. “Nggaklah!Kalau nggak baca, gue mana bisa tahu perkembangan tulisan lo.” Aku menelan kebohongan itu dengan sedotan pertama minuman yang baru diantar ke meja ini. “Di luar banyak banget orang yang pengen jadi penulis. Pengen nuangin ide-ide ke tulisan dan bisa dibaca orang lain. Harusnya lo bersyukur udah sampai di titik itu.” Ia mengangkat bahu. “Terus, lo mau gue gimana?” “Ganti ide cerita, judul, tema, semua dirombak. Be yourself. Atau... boleh ngikut pasar, asal identitas lo masih ada.” Kuangkat gelas di udara. Aku menyedot lagi. “Kalau gue nulis roman erotis gimana? Yang ada desahan-desahan di dalamnya. Ah... uh....” Aku tersedak minuman. Kuletakkan gelas, mencondongkan badan, lantas memukul bahu cowok itu berkali-kali. Ia mengaduh. “Lo pikir pembaca lo semuanya dewasa? Banyak degem-degem, tahu.” Aku memukulnya lagi. “Kok gue dipukul lagi?!” Ia menatapku kesal. “Otak dipake dikit, kek. Heran gue. Penulis kayak lo kenapa bisa dapat penghargaan internasional, sih.” “Abis gue lihat yang begituan laku banget di toko buku.” Aku membuang napas panjang. “Lo nulis buat siapa? Kalau lo nulis buat kepuasan sendiri, harusnya jangan terpaku sama pembaca. Nulis aja sesuai isi kepala. Yang penting apa yang lo mau bisa ditulis. Pantas aja akhir-akhir ini tulisan lo jadi nggak nge-feel.” Ia menusukkan garpu ke puding cokelat yang baru datang. Lalu, melanjutkan di tengah kunyahan, “Nulis sendiri, dinikmati sendiri, itu namanya m********i dalam sastra.” Aku mengangakan mulut. Kutinju bahunya sekali lagi, membuatnya tersedak dan terbatuk. “Mulutnya yang sopan bisa nggak, sih? Astaga.” Jemariku menyusup di helaian rambut. Aku frustrasi menghadapinya. “Damn, stop punching me!” Ia mengelus bahu. Ditusuknya lagi puding cokelat itu, lantas menyodorkannya padaku. “Makan nih, daripada marah-marah.” Aku menyambar, kemudian mengunyahnya. Ia meraih tisu dan melemparnya padaku. Kupandang tisu tersebut. Telunjuknya mengacung ke arah bibirku. Aku segera mengusap bibirku dengan tisu dan mendapati sisa puding cokelat. Kugumamkan kata terima kasih. Ia tersenyum kecil.   *   Sesuai permintaan Pak Aji, aku menemaninya duduk di restoran. Hal ini kulakukan karena aku menghormatinya, di luar dari keinginannya untuk mempertemukan aku dengan anaknya—yang masih belum kupahami maksudnya sampai sekarang. Aku duduk dalam diam, celingukan memandang ke sekeliling. Pak Aji masih menelepon seseorang. Ia terlihat serius. Setelah menunggu cukup lama, ia kembali lagi ke tempat duduk. “Maaf ya kalau kamu tidak nyaman,” katanya. “Ah, tidak apa, Pak.” “Saya mau memperkenalkan kamu ke keluarga saya. Sebagai editor yang menangani naskah baru saya. Soalnya, kamu sudah jadi favorit saya. Kapan-kapan, saya minta kamu saja yang menangani semua naskah saya selanjutnya.” Oh, untuk diperkenalkan sebagai editor. Aku mengangguk malu-malu. Kuselipkan rambut ke belakang telinga. “Keluarga Anda belum datang?” “Anak-anak dan istri saya sudah mau sampai.” Telunjuknya mengacung ke satu tempat, di mana kulihat seorang wanita berpakaian necis melangkah mendekat. “Itu istri saya.” Wanita itu memandangku selama beberapa detik. Sangat saksama. Aku menundukkan badan memberi hormat. Ia duduk di seberangku. Tatapannya janggal. Aku memerhatikan pakaian yang kukenakan. Rasanya, tidak ada yang salah. “Sudah lama?” tanya wanita itu pada Pak Aji. “Lumayan.” Krik. “Anak-anak belum datang?” wanita itu mengambil suara lagi. “Kamu lihat sendiri, kan?” Krik. “Bagaimana kerjaan kamu?” kali ini Pak Aji yang membuka suara. “Tidak ada masalah. Tulisan kamu?” “Lancar.” Krik. Aku menunduk memandang buku-buku jariku. MAKAN MALAM MACAM APA INI, YA GUSTI. Kebekuan di meja makan mencair begitu suara Pak Aji menggelegak. Kudengar ia berkata senang. “Ah, itu anak-anak!” Bersamaan terangkatnya kepalaku, suara gemerincing seorang gadis yang mengucir rambutnya ke atas terdengar. Aku mengerjapkan mata melihatnya berlarian kecil menghampiri meja, lantas memeluk Pak Aji senang. “Ah, Papa!” Hah? Papa? Itu anak Pak Aji? Masih dalam kondisi terbengong-bengong, masih ada lagi yang membuat jantungku serasa mencelat dari rongga d**a. Sabda yang mengekor di belakang, langsung memandangku bingung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD