Sudah Punya Pacar, Belum?

2311 Words
“HAESH!!!” Aku mengacak-acak rambut frustrasi. Sabda mengingat kejadian memalukan itu. Selamanya ia akan mengingatku sebagai cewek yang jatuh di kafe! Aku mendesah putus asa. Kupandang rumahnya dari balik jendela kamar. Lampu di lantai dua masih menyala—aku berasumsi itu kamarnya. Bibirku mengerucut ke depan. Pupus sudah mendekati makhluk tampan tiada tara itu. Aku menyisir poni menutup dahi, kesal. Kurebahkan tubuh ke atas ranjang dan membuka grup COGAN ADDICT. Sejak tahu memiliki tetangga ganteng, aku sering membagikan cerita ke grup tersebut. Selain karena ada Mona dan Tiara, ada karyawan lain yang asyik diajak berbagi. Kecuali teman di sebelah mejaku, Mbak Desi.   Nuansa: Tetangga gue namanya Sabda. Dia psikiater di RSJ Bakti Husada. Mona: Sikaaat. Jani: Single? Nuansa: Kalau kemarin ngelihat di jarinya, dia nggak punya cincin hehehe. Tapi nggak tahu kalau punya pacar. Semoga nggak deh. Tiara: Udah berhasil minta nomer hape? Nuansa: Enggak :’( Telanjur malu. Dia inget gue pas jatuh di sebelahnya :’( Mona: Bego. Ilfeel tuh pasti. Mona: Gue punya kenalan dukun. Coba lo pake pelet jaran goyang. Jani: Apaan sih Mon -_- Mbak Desi meninggalkan grup. Jani mengundang Mbak Desi. Jani: Elah, Mbak. Nggak usah leave grup mulu napa dah. Mbak Desi meninggalkan grup.   Aku memandang layar dan menggeleng-geleng. Jani dan Mbak Desi berperang di w******p, mengundang kericuhan di grup. Ponsel kulempar ke samping. Aku memandang langit-langit kamar. Mau tak mau, bayangan Sabda muncul tanpa permisi, membuatku terkikik dan bergulingan gemas. Lantas begitu teringat ekspresinya saat mengingatku, senyum gemas itu lenyap. Nggak! Gue harus memperbaiki kesan pertama. Gue harus membuat dia terpesona! Sambil bergumam di pikiran, aku melayangkan kepalan tangan di udara. Membuka grup COGAN ADDICT, aku menulis lagi, mengabaikan perang.   Nuansa: Lo semua denger, ya. Kalau gue nggak bisa deketin si tetangga ganteng, gue bakal kerjain tugas kalian sampai tuntas!   *   Matahari tak tampak pagi ini. Mendung menggantung di kaki langit. Ketika menutup pintu dan mengunci, aku melihat mobil Sabda keluar dari garasi. Aku melangkah anggun menuju trotoar. Kurapikan rambut yang hari ini kusematkan bandana kain. Sabda keluar dari mobil. Aku memerhatikannya, berharap ia memerhatikan balik. Ayo lihat gue, dong. Udah dandan cantik begini, sayang kalau nggak dilihat. Ia berjalan tergesa-gesa memasuki rumah. Sama sekali tak memandangku. Aku menengadah memandang langit. “Please, bikin dia ngelihat gue. Please....” Aku mengatupkan tangan memohon. Sabda muncul lagi, bersamaan turunnya gerimis yang membuatku spontan berseru. Saat itulah ia memandangku. Nggak kayak begini juga, ya Tuhan. “Nuansa,” panggilnya, membuatku menoleh. “Saya tebengi.” HAHAHA. Rasanya aku akan gila mendengar kalimat tersebut. Tanpa berpikir panjang dan mengabaikan rambutku yang basah, aku berlari kecil menghampirinya. Ia masuk ke mobil lebih dulu. Sampai di mobilnya, Sabda memandangku. Aku tahu ia berusaha untuk tak menyemburkan tawa. Kututup wajahku dengan tas, menghalau dirinya mengamati penampilan terburukku. “Kantorku di Jalan Lembayung, loh,” kataku, mencoba membuat pikirannya teralihkan. “Kamu kerja di kantor majalah fashion?” tanyanya sambil melajukan mobil. “Bukan.” “Di sana yang terkenal kan kantor majalah fashion.” “Memang satu gedung. Tapi beda perusahaan.” “Oh.... Kerja bagian apa?” Aku meliriknya dari balik tas. Ia sama sekali tak memandangku dan memilih menatap lurus ke depan. Perlahan, aku menurunkan tasku. Lagi pula, ge er sekali aku merasa diperhatikan dirinya. “Editor.” Aku tersenyum lebar. Biasanya, pekerjaan itu memang pekerjaan yang sangat membanggakan. Bagi orang-orang yang memahami dunia perbukuan, pekerjaan itu memang yang paling diidam-idamkan. “Editor yang bagian ngedit audio?” Aku bisa mendengar suara kambing congek mengembek di pikiran. “Oh, bukan. Bukan editor seperti itu.” Aku mengibas tangan. “Editor di tempat penerbit buku.” “Oh....” Udara di dalam mobil kurasakan makin dingin. Ditambah blusku basah. Aku bersedekap kedinginan. Menyadari gesturku, Sabda mengecilkan AC. “Maaf,” katanya, lalu tersenyum. Aku memerhatikannya dari samping. Rasanya sungguh disayangkan kalau makhluk seganteng ini dilewatkan. Bagaimana caraku menggali status hubungannya? Dewi batinku dalam pikiran berkata: “Minta f*******:-nya, terus kepo-in!” Aku menggeleng. Itu terlalu agresif. “Bukannya pasien kamu nggak mau melihat kamu, ya?” tanyaku mencoba berbasa-basi lagi. Lagi-lagi senyumnya muncul. “Saya akan berdamai dengannya hari ini. Kan nggak mungkin pasien berantem mulu sama dokter yang menangani.”Diberi senyum saja sudah membuatku overdosis. Bisa kurasakan jantungku berdebar. Aku paling payah menyembunyikan perasaan ketika menyukai seseorang. Selalu ada saja hal-hal konyol yang kulakukan. Atau kata-kata aneh yang keluar tanpa permisi dari mulut. Aku tak berhenti mengamatinya. “Ayam tetanggaku juga sering berantem.” “Hah?” “Apa?” tanyaku balik. “Tadi kamu bilang sesuatu.” “Emang aku bilang apa?” Aku mengedip beberapa kali. “Ayam tetangga kamu sering berantem.” Aku tersedak sesuatu yang tak nyata. Baru juga kuperingatkan! Menyengir kuda, aku menggeleng dan memilih melabuhkan pandangan ke depan. Bibirku mengatup rapat, mencegah untuk melontarkan kalimat tak wajar lainnya. “Kamu sudah punya pacar?” Mendengar pertanyaanku, Sabda menoleh. “Hah?”   *   Aku memandang layar komputer dengan tatapan datar. Tak kupedulikan rambut bak sapu ijuk dan maskara luntur. Sejak sampai di kantor, aku tak punya nafsu memperbaiki pakaian, rambut, atau make up. Lebih tepatnya, sejak di mobil Sabda. Apa yang tadi kutanyakan padanya?! Mengingat hal itu sekali lagi, aku merengek dan menenggelamkan wajah di meja. Saat mengangkat kepala, seluruh karyawan di divisi redaksi melongok dari balik komputer untuk memandangku. Termasuk Mbak Desi dengan pandangan datarnya. “Berisik,” katanya, dengan suara datar. “Kalau mau berisik di luar, sana. Jangan ganggu yang lain.” Praktis, aku mengunci mulut. Tak berselang lama, bunyi jam tanda makan siang berdentang. Aku berjalan tergesa-gesa menuju toilet. Namun karena toilet di kantor Aksara penuh dan yang lain dalam perbaikan, terpaksa aku keluar kantor membawa tas, menuju toilet umum gedung ini. Sampai di toilet umum, kuperhatikan wajahku yang berantakan. Ah, kalau begini mah bukan hanya Sabda yang tidak tertarik. Mang Asep pun pasti nggak tertarik! Dewi batinku bertanya, siapa itu Mang Asep? Entahlah, terpikirkan saja di kepala. Perlahan, kulepas bandana, memasukkannya ke tas. Aku mengeluarkan sisir, bedak, gincu, dan mulai memperbaiki wajah. Sungguh memalukan. Bagaimana bisa aku berjalan di kantor dengan penampilan berantakan seperti ini?! Aku menjerit dalam hati. Begitu wajahku terlihat segar—abaikan rambut yang terpaksa kugelung membentuk bun—, aku menyemprot parfum ke seluruh badan. Seseorang terbatuk di belakangku. Kulihat perempuan berpakaian modis mengibas-ngibas tangan. “Bisa nyantai nggak sih kalau lagi nyemprot parfum?” tanyanya sarkastis. Aku menghela napas panjang. Perempuan berhidung lancip dan berbibir tebal hasil filler itu, Kania, adalah redaksi majalah fashion Primadona. Kantor penerbit Aksara dan majalah fashion Primadona memang terletak di satu gedung. Dulu, pendiri pertama kedua perusahaan itu bersahabat dan berwasiat agar gedung kantor tidak dipindah ke mana-mana. Namun belakangan, keturunan terakhir perusahaan tersebut saling berjibaku dan menciptakan suasana persaingan antarperusahaan. Padahal sasaran pasar keduanya berbeda. Dan ya, bisa diketahui kalau image yang paling terkenal di masyarakat, sudah pasti kantor majalah Primadona. Coba saja kalau kalian naik ojek atau bertanya pada orang sekitar soal Jalan Lembayung, yang disebut pasti kantor majalah itu. Kania mengamatiku dari puncak kepala sampai ujung kaki. Sudut bibirnya terangkat meremehkan. Ia mendeceh. “Ngapain lihatin gue?” sengalku. “Buruan keluar, gue alargi sama cewek aura kimcil kayak lo.” Berengsek. Aku mengerucutkan bibir. “Maksud lo apa!” Lantas, bertolak pinggang. “Tahu diri dong, Mbak. Jangan kecentilan ke cowok-cowok!Menel amat kayak cewek murahan.” Kurang ajar! Tak terima penghinaannya, aku menerjang dan menjambak rambutnya. Ia berjengit dan memekik kesakitan. Aku menggoyang-goyang tubuhnya, masih dengan tangan mencengkeram rambut panjang lurusnya. “Sekali lagi lo ngomong gitu, gue bejek-bejek.” “Sakit, lepasin! Aww!” Aku mendorongnya sampai terjatuh. Kulenggang kaki melewatinya dengan dagu ke atas. Ia menggeram kesal. Namun, Kania bukanlah Kania jika tidak mencari gara-gara. Begitu aku keluar toilet dan berjalan menuju lift, ia menarik scraft-ku sampai membuatku tercekik dan berbalik. Aku meraih rambutnya. Kami terlibat pertikaian di lorong sampai menimbulkan keributan. Anting-antingnya yang sebesar gaban kutarik, makin membuatnya memekik. Ia membalas dengan menarik rambutku sampai ikatan bun yang kubuat terburai. “Apa-apaan ini?!” Mendengar teriakan Bu Darla, praktis kami berhenti adu jambak dan menoleh ke samping. Bu Darla berjalan tergesa-gesa bersama karyawan lain—Nara menutup matanya dengan telapak tangan, tampak frustrasi. Aku dan Kania melepas cengkeraman kami. Gadis berengsek itu berlari, kabur sebelum kena semprotan kepala editorku. Bu Darla melangkah mendekat bersama karyawan lainnya. “Nuansa!” bentaknya. “Sadar apa yang kamu lakukan tadi? Kalau Big Boss tahu, bisa tamat kamu!” Bibirku mengerucut. Kutundukkan kepala penuh penyesalan. “Maaf, Bu....” “Berdoa sana, jangan sampai orang sebelah melapor ke Big Boss.” “Maaf. Dia yang mulai duluan.” Bu Darla menggeleng-geleng. Sebelum berlalu, ia mengangkat telunjuk, teringat sesuatu. “Sudah menjadwalkan meeting sama Aji Manunggal?” “Ah, saya sudah menghubunginya. Kami akan melakukan meeting hari Minggu.” “Bagus. Awas kalau ketahuan berantem lagi.” Wanita tersebut melangkah pergi diikuti yang lain, kecuali Nara. Lelaki itu mendekatiku meminta penjelasan. Di kantin gedung perkantoran, kami menghabiskan waktu untuk makan siang sekaligus menceritakan kronologi kejadian tadi. Aku yang masih panas bercerita menggebu-gebu. Nara mendengar sambil sesekali berdecak. “Heran, sampul kamu ini cewek banget, tapi kelakuan kadang kayak preman.” Ia tertawa dan menyendok es krim ke mulut. “Gue direndahin kayak gitu, gimana nggak marah? Rasanya pengen gue botakin itu rambut! Masih panas nih hati! Panas!” Aku mengipas-ngipas, membuat Nara menggeleng. Ia menyodorkan sendok es krim yang penuh. “Nih, biar nggak panas.” Aku melahap es krim cokelat yang disodornya dan tersenyum sebagai ucapan terima kasih. “Gimana? Udah diputus?” Ia mengangguk. “Udah. Beres semua urusan.” “Kalau begini gue yang ngerasa bersalah. Lo sih, kalau bikin dosa jangan ajak-ajak orang.” Ia tertawa kecil. Sesekali, aku melihatnya mengamatiku.   *   Lampu kamar Sabda belum juga hidup. Artinya, ia belum pulang dari rumah sakit. Mengingat namanya malah membuatku terpaksa mengingat lagi pertanyaan bodoh yang kulempar. Siapa yang tidak syok mendengar pertanyaan g****k seperti itu? Dari orang asing pula! Aku memejamkan mata, menurunkan poni kesal. Untung saja aku segera melempar pertanyaan lain yang berhasil mengalihkan fokusnya. Sebelum menutup kelambu, kudengar derum mesin mobil. Aku spontan mengintip lagi dari balik kelambu. Mobil Sabda meluncur memasuki pekarangan. Begitu membuka pintu, aku melihatnya bergerak gesit menuju pintu lain. Ia membukanya, membantu seorang gadis keluar. Melihatnya memapah gadis yang tampaknya sedang mabuk tersebut, aku membuka mulut hiperbolis. “Pacarnya?!” pekikku. Gadis itu dipapah memasuki rumah. Aku menggigit jemari, menutup kelambu, mondar-mandir seperti orang sinting. “Dia udah punya pacar?” ulangku. Kupukul kepala berkali-kali. Cowok seganteng itu mustahil nggak punya pacar, bisik dewi batinku. Aku merebahkan badan, memandang langit-langit. Pikiranku melalang buana. Pupus sudah harapanku mendekatinya. Tugas-tugas teman-teman perempuan di divisi redaksi melambai di pikiran. Bibirku mencebik ke bawah. Ah, betapa pahit hidup ini. Lagi-lagi kisah cintaku mengenaskan. Berselang beberapa menit, bel rumah kotrakanku berbunyi. Melonjak berdiri, aku mengamati keadaan di luar. Tidak ada mobil orang yang diparkir. Lantas, siapa yang menekan bel? Aku melangkah malas menghampiri pintu. Begitu kubuka, kulihat Sabda tersenyum simpul. “Maaf kalau mengganggu,” katanya. Aku membuka pintu makin lebar. “Ah, nggak, kok. Ada yang bisa aku bantu?” “Saya butuh pakaian perempuan yang bersih.” Hatiku makin menjerit pilu. Buat pacarnya? Ogah! Namun, dewi batinku berbisik membujuk, jangan bikin dia makin ilfeel. “Oh... sebentar. Mau masuk dulu?” “Saya tunggu di sini saja.” Selama mengambil pakaianku, aku menggumam. Kalau begini, aku terlihat seperti tokoh antagonis yang tidak ikhlas memberi bantuan. Orang sepertiku memang susah mendapatkan peran bagus dalam kehidupan nyata. Kalau bukan figuran, pasti antagonis. Begitu menghampirinya lagi, kuulurkan pakaianku padanya. “Boleh minta bantuan lagi?” tanyanya. Aku mengangguk. “Bisa ikut saya ke rumah?” Mau ngapain, nih? Aku mengangguk-angguk tanpa memiliki daya untuk bertanya. Kuikuti ia sampai ke rumahnya. Suasana hatiku jadi buruk. Seharusnya aku senang karena diundang ke rumahnya. Ia membawaku ke kamar. Di sana, kulihat gadis yang dipapahnya tadi tertidur dengan posisi melengkung. Aku mengernyit memandang keadaannya yang berantakan. “Bisa bantuin saya mengganti pakaian dia?” Ah sial! Mendengar nada memohonnya malah melemahkanku. Aku mengerucutkan bibir miring. Mengangguk terpaksa, aku menerima pakaianku yang disodorkan padanya. Ia berpamitan untuk menungguku di depan. Kupandang gadis mabuk di depaku. Sudut bibirku terangkat ke atas. Ia mabuk, kan? Aku menepuk-nepuk pipinya. “Sakit!” teriaknya, menepis tanganku lemah. Dasar! Aku menekan telunjuk di dahinya. Saat ia terlelap lagi, aku mengganti pakaiannya dengan cepat. Hidungku mengernyit mencium aroma alkohol menyengat dan bekas muntah jadi satu. Pakaiannya yang kotor kupungut dan membawanya ke Sabda yang sudah menunggu di ruang tamu. Ia sedang membaca buku. Melihat kedatanganku, Sabda menutup bukunya. Ia memintaku meletakkan baju kotor di tanganku ke atas sofa. “Terima kasih, Nuansa,” katanya. Aku sadar kalau ekspresinya berbeda dari sebelumnya. Ia tampak datar dan muram. “Kamu baik-baik saja?” tanyaku. Bukan bermaksud modus, aku hanya bermaksud baik. Ia mengangguk. “Cuma masalah di RS. Dan dia.” Ia menoleh ke atas, seperti menunjuk kamar gadis tadi. “Dia....” “Oh, dia adikku. Lukita.” Mulutku terbuka. Spontan, aku bertepuk tangan riang. “Hore!” Hal itu membuat Sabda memandangku dengan kernyitan heran. Ekspresiku berubah panik. “Hore.... Aku punya temen cewek di sini.” Kuberikan cengir lebar sekadar menutupi ketololanku. Sabda tertawa kecil. “Trima kasih sekali lagi. Saya antar ke depan.” Kami berjalan bersama ke depan. Aku tak berhenti mengamatinya dari samping dan tersenyum. Ketika menoleh, sontak aku memandang ke depan. Sialnya, wajahku membentur pintu. Aku mengaduh pelan. “Baru saja aku mau ngingetin kalau depan kamu pintu,” tutur Sabda. “Nggak apa, nggak apa.” Aku menggosok hidung. “Maaf. Boleh lihat? Saya khawatir ada trauma.” Tangannya bergerak menyentuh sebelah pipiku. Jantungku jumpalitan tak karuan. Wajah kami amat sangat dekat. Ia memerhatikan wajahku dengan saksama. Ya Tuhan, tolong kontrol degup jantung hamba. Tolong. “Tuh, kan. Kamu sampai mimisan.” Wajahku memucat tiba-tiba. Ini bukan mimisan karena trauma benturan. Ini gara-gara pesona lo, tahu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD