Psikiater?

1833 Words
Jatuh di depan cowok ganteng dengan posisi seperti ini adalah mimpi terburuk nomor dua setelah mimpi didatangi dosen pembimbing. Aku tak pernah membayangkan bisa bernasib sial seperti ini. Alih-alih membantuku berdiri, tetangga gantengku itu malah cekakak-cekikik dengan temannya. Bibirku mengerucut kesal. “Hati-hati jatuh,” celetuk si hidung mancung. Telat, woy! Udah jatuh juga! Aku berdiri perlahan sembari mengibaskan rambut panjang. Menganggap kejadian tadi tak pernah terjadi dalam hidup, aku melenggang menghampiri meja di mana kedua teman kantorku saling menahan diri untuk tidak terbahak. Kucubit p****t keduanya, lalu menggirig mereka keluar kafe. Sepanjang perjalanan pulang, tak ada hal lain yang mampir di kepala kecuali adegan memalukan tadi. Selama itu pula Tiara dan Mona tak berhenti mengolok. Aku mengerucutkan bibir, mendengar gurauan dan tawa meledak di dalam taksi daring. “Sumpah, Nu. Kalau gue jadi lo, gue nggak bakal berani setor muka depan dia.” Tiara menepuk bahuku dan terbahak lebih keras. “Eh, nggak apa. Kan kalau di n****+-n****+ yang kita edit, cewek kayak Nuansa dianggap unyu dan bikin cowok ganteng klepek-klepek. Terus jadian,” sahut Mona. Mereka tertawa lagi. “Berisik, ah!” Aku mengatupkan kedua telapak tangan ke telinga. Kami berpisah setelah Tiara dan Mona berhenti lebih dulu. Tinggal aku yang menumpang taksi daring, duduk di belakang sembari melemparkan tatapan keluar, pada gedung-gedung pecakar langit yang berdiri gagah dan lalulalang kendaraan. Aku mendesah pendek. Melalui kaca jendela mobil, kulihat rambutku yang kaku akibat tumpahan es kopi. Aku makin memanyunkan bibir. Sial banget, sih?   *   Jarum jam pendek masih menunjuk angka dua, sedangkan aku sudah bosan setengah mati. Aku bersendang dagu malas, memandang layar komputer dan mengetik tanpa sisa tenaga. Perutku berbunyi keroncongan. Spontan, Mbak Desi menoleh dan menatap datar. Aku memasang wajah serius, menegakkan tubuh, lalu mulai mengetik. Padahal jam makan siang sudah lewat dan kugunakan untuk makan sepiring batagor Bandung. Sekali lagi, perutku berbunyi nyaring. Aku menepuk-nepuknya. “Hei, kamu sabar, ya. Tinggal tiga jam lagi,” kataku seperti orang sinting. Aku menghela napas panjang. Untuk mengalihkan pikiran dari rasa lapar dan jenuh, kubuka situs ramalan. Iseng, kutulis nama lengkap dengan data tanggal lahir. Tak butuh waktu lama menunggu jawaban di portal tersebut. Kesehatan: Jangan terlalu banyak makan gorengan. Tidak baik untuk kesehatan! Aku tertawa kecil. Memang benar, sih. Asmara: Ada yang berusaha mendekatimu, tuh. Awas, baper! Membaca barisan kalimat itu, aku celingukan ke kanan dan kiri. Semua teman sedivisi sibuk dengan komputer. Siapa, nih? Selama bekerja di sini, aku tidak merasa sedang didekati seseorang. Bibirku mencebik. Ketika jemariku hendak menyetubuhi keyboard untuk mengecek sekali lagi, pintu ruang divisi redaksi dibuka tiba-tiba. Aku terperanjat melihat Bu Darla melenggang memasuki ruang divisi redaksi. Segera, kubuka Microsoft Words dan pura-pura mengetik. Mataku melirik si Kepala Editor. Wanita tiga puluh tahunan yang masih belum menemukan pendamping hidup tersebut mengamati kami. Matanya tertuju padaku, sontak membuatku menunduk. “Nuansa,” pangilnya. “Ya, Bu?” “Karena editor lini sastra serius ada yang resign, kamu saya kasih tugas tambahan buat ngedit n****+ sastrais.” Mataku memelotot. “Tapi, saya belum terbiasa ngedit n****+ sastrais, Bu.” “Pasti bisa. Kalau nggak bisa mana mungkin kamu direkomendasikan ke sini. Terlebih kamu lulusan Sastra Inggris, kan?” “Bukan begitu sih, Bu. Saya belum pede.” Aku menggaruk tengkuk. “Udah, coba aja. Kan nanti ada proof reader-nya juga. Cek pos-el kamu.” Aku menggigit bibir bawah. Kalau Bu Darla sudah memberi perintah, aku tidak berani menolak. Maka, kuanggukkan kepala. Ia melangkah meninggalkan ruang divisi redaksi. Aku mengerang pelan. Perutku mendadak melilit. Padahal masih ada tiga n****+ romansa yang belum aku selesaikan. Memang, aku pembaca genre apa saja. Masalahnya kalau mengedit n****+ sastrais Indonesia, aku belum sanggup. Aku memeriksa pos-el dari Bu Darla.   From: darla@aksara.co.id To: nuansa@aksara.co.id Subject: Pra-editing Dulukan n****+ ini, ya. Soalnya tiga bulan lagi harus terbit. Judul: Penyerang Misterius Penulis: Aji Manunggal Sinopsis: (terlampir) CV penulis: (terlampir) Catatan: Kalau mau berdiskusi dengan beliau, hubungi langsung ke nomor telepon dan buat janji. Deadline: 28 September. Salam, Darla Pramono | Editor in Chief   Mataku mendelik begitu melihat nama Aji Manunggal. “Aji Manunggal?” teriakku histeris. “Aji Manunggal sastrawan yang sering dapat penghargaan, kan?” Aku menoleh ke samping. Mbak Desi menghela napas panjang. “Jangan berisik!” tukasnya tajam. Aku membekap mulut. Kutahan kegembiraanku dengan mengentak-entak kaki dan menjerit tanpa suara menangani naskah sastrawan kesukaanku.   *   “Heh. Udah makan? Serius amat.” Mendengar teguran seseorang, aku menengadah. Kulihat Narada, anggota divisi pracetak, berdiri di samping meja. “Belum.” “Ngapain, sih? Makan dulu sana. Nanti mati.” Mataku memicing. “Nanti juga makan. Lagi fokus, nih.” Tak memedulikan Nara, aku tetap melanjutkan pekerjaanku, membaca dan memberi ulasan naskah Aji Manunggal. Senyum tak pernah lenyap dari bibir. Sungguh menyenangkan bisa menjadi bagian dari proses kreatif seorang sastrawan yang karyanya sering dibicarakan di kelas. Aku tak sabar untuk melakukan diskusi bersama Aji Manunggal. “Padahal mau ngajak makan siang bareng.” “Makan sendiri aja sana.” “Gue mau traktir lo.” Mendengar kata ‘traktir’, praktis aku menoleh. “Ditraktir? Serius, nih?” “Mau, nggak?” “Ada apaan kok nraktir?” Mataku menyipit. Nara menghela napas panjang. “Gue mau cerita sekaligus minta pendapat lo.” Narada memang bukan satu-satunya karyawan pria yang dekat denganku. Meskipun aku memiliki teman sekantor yang sangat dekat seperti Tiara, Mona, dan Jani yang bisa diajak belanja ke mal, aku juga bisa bergaul dengan karyawan lain, terutama pria. Kalau bisa dekat dengan mereka, aku bisa minta tebengan pulang atau ditraktir demi mejadi konsultan dadakan. Menurut mereka, di antara karyawan perempuan lainnya, aku memiliki sisi baik sebagai konsultan hubungan. Keahlian sebagai konsultan hubungan dadakan tentu tak lepas dari buku-buku yang k****a. Walau bisa dikatakan hubungan percintaanku tak pernah bisa dibanggakan. Setidaknya dengan menjadi konsultan dadakan, aku bisa makan gratis di tempat enak atau uang tambahan. Bukan mata duitan, aku hanya berpikir realistis. Di zaman ini, tidak ada yang gratis, Bung! Harga gincu sangat mahal, tahu! Aku dan Nara singgah di kantin gedung kantor. Kami memilih meja yang dekat dengan dinding kaca, sehingga dapat menikmati hiruk pikuk kota metropolitan yang ramai di bawah sana. Sambil menikmati makan siang, kudengar cerita Narada. “Gue pengen putus,” katanya. “Kenapa?” tanyaku di sela-sela kunyahan. “Bukannya lo mau nikah sama cewek lo?” “Kalau udah nggak nyaman, kan, nggak bisa dipaksain.” Aku membuang napas panjang. “Kalau nyari kenyamanan mulu, nggak kawin-kawin lo nanti. Yang namanya hubungan emang berjalan fluktuatif.” Ia tersenyum dan mencebik. “Iya, sih.” Ia mengamatiku, membuatku mengedip. “Kenapa lo lihatin gue?” tanyaku sewot. “Lo mau bantuin gue, nggak?” “Bantuin apa?” “Foto sama gue, dong. Yang deket....” Ia memeragakan dengan tangan. “Biar gue diputus sama dia. Soalnya kalau gue yang mutus, nggak enak sama keluarganya.” “Males banget. Cari cewek lain aja sana!” Nadaku yang tinggi membuat beberapa pengunjung kantin menoleh. Nara berusaha menutup mulutku. Aku menepis tangannya. “Foto berdua doang. Lagian, cuma lo yang single di kantor kita.” “Lo ngehina gue, ya?” Aku menaikkan kedua lengan blus. Nara menunduk dan mengacak-acak rambut. “Mona juga single. Minta bantuan Mona aja, sana!” “Lo tahu sendiri Mona orangnya ribet dan ember. Cuma lo yang bisa gue percaya. Foto sekali doang. Ya?” Ia menyengir memohon. “Please.... Lo mau apa? Tas? Scraft? Sepatu? Parfum?” Aku membuang napas pendek. “Lo kira gue matre, apa? Biarpun suka belanja, gue nggak nodong cowok, ya. Gue nggak pernah manfaatin cowok. Gue usaha sendiri.” Kukibas rambut ke belakang. Setengah berpikir, aku akhirnya memberi keputusan. “Ah, bayarannya gampang. Nggak usah mahal-mahal, soalnya gue masih punya harga diri.” “Apa pun, deh.” “Tiket nonton aja. Lagi pengen nonton film.” Ia terkekeh. Tangannya terulur ke depan. “Deal!”   *   Pulang nonton bersama Nara, aku sudah melihat mobil tetangga gantengku yang terparkir di depan garasi. Sebelum memasuki rumah, kuperhatikan rumah tersebut. Tidak biasanya di jam sekarang mobil itu diparkir di depan garasi. Dari arah selatan, aku melihat si tetangga ganteng yang berlari hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Ada handuk yang dikalungkan di leher. Dilihat dari sepatunya, kurasa ia baru selesai lari sore. Spontan, aku membuang muka. Kututup sisi wajahku agar tak dikenali. Melangkah masuk pekarangan, suara bariton seseorang menegur. Tubuhku menegang. “Eh, permisi.” Bahuku ditepuk dari belakang. Menghela napas menenangkan diri, aku berbalik dan memasang ekspresi biasa. “H-hai....” Jangan lupa senyum tiga jari, Nuansa. Aku tersenyum. “Kamu Nuansa Swara Respati?” Aku mengedip berkali-kali. Ia berada sangat dekat denganku sampai bisa kulihat dengan jelas warna iris matanya yang kecokelatan. Aku menelan ludah mengamati tubuhnya yang atletis. “Ya,” jawabku pada akhirnya, lalu tersenyum. “Ada paket buat kamu. Karena kamu nggak ada di rumah, paketnya dititipkan ke saya. Kebetulan waktu itu saya di depan rumah. Mau masuk ke dalam?” “Paket? Paket apa, ya?” Aku semakin tidak dapat berkonsentrasi. Apalagi melihat lehernya yang dibasahi keringat. Ya Lord, dia seksi banget. “Saya nggak tahu. Kamu mau masuk ke rumah atau menunggu di sini? Saya mau ambil paket kamu.” “Masuk ke rumah kamu.” Sadar dengan kalimat itu, aku segera meralat. “Maksudnya, aku tunggu di sini. Kamu ambil aja ke rumah.” Ia mengangguk-angguk. “Oke.” Begitu ia berbalik dan berlari memasuki rumah, aku menendang pot bunga di dekatku berkali-kali. Setidaknya, ia tak mengingat kejadian di kafe waktu itu. Ia tidak tahu aku perempuan yang jatuh dan tersiram kopi temannya. Tak berselang lama, lelaki tersebut muncul membawa bingkisan. Aku merapikan rambut dan berpose cantik yang natural. “Ini,” katanya sembari mengangsurkan bingkisan tersebut. Aku menerimanya tanpa menghapus senyum agar memberi kesan manis untuk pertemuan pertama kami. Kalau ia tak mengingat kejadian waktu itu, bisa kusebut pertemuan pertama, kan? Hehe. “Terima kasih.” Aku mengulum senyum. Lantas, kuulurkan tangan sebagai perkenalan. “Nuansa.” Ia menerima uluran tanganku. “Sabda.” Aku merapatkan bibir. Namanya indah sekali. Seperti dirinya. Kukaitkan rambut ke belakang telinga. “Aku baru pindah,” kataku, sengaja memperpanjang obrolan. “Dan, baru lihat kamu. Kayaknya kamu sibuk, ya? Soalnya jarang lihat mobil kamu.” “Oh. Iya. Saya kerja. Kebetulan hari ini saya ambil cuti.” “Kenapa? Bukan maksud kepo. Cuma....” “Ada pasien yang menyerang saya. Dia sedang tidak ingin melihat wajah saya di sana. Selain itu, saya harus mengecek bekas serangannya ke dokter.” Ia menunjuk bagian tulang rusuknya. “Dia menghantamkan kaki kursi di sini. Tapi, tidak ada luka yang serius.” Mendengar cerita itu, aku mengernyit. Kepalaku miring. Menyadari kebingunganku, ia menambahkan. “Saya psikiater di RSJ Bakti Husada.” Mulutku terbuka. Psikiater rupanya. Kalau begitu, bisakah ia mengobati luka di hatiku? Aku tersenyum sendiri seperti orang edan. “Aku—” “Sepertinya saya mengenali muka kamu.” Matanya menyipit. Jantungku sudah berdebar membayangkan kemungkinan terburuk. “Oh, kamu cewek yang jatuh di kafe waktu itu, kan?” Ia tertawa. Rasanya, aku ingin meloncat ke Bumi Datar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD