chapter 03

1859 Words
Leo memperhatikan cara makan Naya yang terkesan anggun dan sangat rapi. Seperti cetakan bibit unggul. Leo jadi berpikir, Mami sebenarnya mendapatkan Naya dari mana? Jangan-jangan putrinya pangeran William? Tidak-tidak. "Ray...." Naya melirik Leo sambil menggigit rotinya. Menikmati sarapan. "Naya, maksudnya?" "Sorry... kok gue kagok mulu?" Leo pura-pura menggaruk kepalanya untuk menutupi rasa malu karena sudah beberapa kali salah panggil terus. "Kenapa, Kak?" tanya Naya. "Tahu Vano, kan? Hari ini dia sama ceweknya balik dari London. Gue mau jemput di bandara. Mau ikut?" "Boleh." "Nanti pulang sekolah gue jemput?" Naya mengangguk, terbit sebuah senyuman dari bibirnya. Leo berdeham, ingin mengatakan sesuatu. "Satu lagi, gue mau bilang tentang temen lo itu. Gue nggak masukin dia ke daftar korban gue, kok," ucapnya sambil nyengir. Tidak. Leo bukan ingin memberi penjelasan pada Naya, tapi ia hanya ingin menyampaikan informasi saja bahwa ia tidak pernah main dengan cewek-cewek yang belum berpengalaman. Dan sepertinya, Dee itu sama polosnya dengan Naya. Berarti tidak termasuk ke dalam daftar korban Leo. Tak ada jawaban dari Naya sehingga Leo memilih menyeruput kopi paginya, pura-pura menghilang dari meja makan. *** Setelah setengah jam berperang dengan macet, akhirnya mereka sampai di bandara. Leo langsung mengajak 2 gadis di belakangnya berlari untuk mencari Vano dan Jingga yang seharusnya sudah mendarat dari setengah jam yang lalu. Leo memang membawa 2 gadis, Naya dan Dee yang memaksa ingin ikut. "Itu kak Vano!" teriak Dee sambil menunjuk dua orang yang tengah duduk di dekat pintu toilet. Leo berlari menghampiri dua sahabatnya itu dan meminta maaf karena sudah telat. "Playboy cap s**u bikini!! Sampe lumutan gue nungguin lo!" Jingga, temannya semasa SMA langsung meminta penjelasan pada Leo. "Macet banget," jawab Leo sesuai kenyataan. Dee yang tiba-tiba heboh sendiri sambil memanggil nama Vano membuat empat orang yang lain melirik bingung. "Iya, siapa ya?" tanya Vano dengan dahi berkerut. Tanpa menunggu lama, Dee langsung memeluk tubuh Vano sehingga cowok itu mundur dengan perlahan. "Aaaa!! Biasanya cuma liat postingan kakak di **. Sekarang bisa ketemu langsung!!" racau Dee tidak jelas. Naya dengan sigap melepaskan Dee dari Vano kemudian memelototi sahabatnya yang tidak tahu malu. Dee terkekeh pada Naya dan tak lama kembali melirik Vano sambil menyodorkan tangan kanannya. "Gue Adeeva, panggil aja Dee. Fans kak Vano sejak kakak SMA." "Oh, iya? Salam kenal." Vano menjabat tangan Dee dengan wajah bingung. Lalu Dee melirik seorang gadis yang berada di sebelah Vano. "Kak Jingga, jangan cemburu ya. Gue cuma nge-fans kok." Jingga tertawa sambil mengangguk. "Santai. Di London ada yang lebih heboh dari lo. Nah, ini satu lagi siapa?" tunjukknya pada satu gadis lain dengan pakaian manis serba pink. "Naraya. Tapi Naya aja, nggak pa-pa. Salam kenal, Kak Jingga," balas Naya dengan ramah. "Oh, gue Jingga. ini Vano. apa, udah kenal?" "Ayo langsung gue anterin aja kalian." Leo mengambil koper Jingga dan membawanya menuju mobil. Vano duduk di depan sedangkan ketiga gadis mengisi kursi penumpang belakang mobil Leo.  Sepanjang perjalanan, suasana di mobil sangat heboh. Dee terus berceloteh tentang ketertarikannya pada Vano, dan Leo terus tertawa karena gadis itu sangat bawel dan lucu. Setelah sampai di rumah milik keluarga Vano, Leo langsung pamit karena harus mengantarkan Dee. Jingga akan diantarkan Vano nanti. Sebenarnya Naya menyuruh Dee naik taksi saja karena meropotkan Leo, tapi Leo dengan gaya berengseknya berkata, "Anak cewek nggak baik pulang sendiri. Kakak anterin aja, nggak repot kok." Leo yakin seratus persen, pasti Naya menyebutnya plin-plan. Tadi pagi bilang bahwa Dee bukan korbannya, tapi sekarang sok-sokan gombal. Tapi Leo tidak peduli karena pendapat Naya tidak penting untuknya. "Thanks, kak Leo. Mau mampir?" tawar Dee setelah dia sudah sampai rumah. "Udah sore. Next time, deh." Leo mengedipkan sebelah matanya pada Dee kemudian pamit pulang. Sebuah suara dengan nada datar terdengar seperti diskriminasi. "Gaya gombalnya receh." Mau tak mau, Leo langsung melirik pada Naya. "Sorry?" Naya membalas lirikan Leo dengan tatapan dingin kemudian mengangkat bahunya. "Apaan? Emang gue ngomong apaan?" Leo menggeleng dan kembali mencoba fokus untuk menyetir. Tapi, otaknya tidak fokus. "Nih cewek nyindir gue apa gimana?" tanya Leo dalam hati. Ketika sudah sampai, Naya langsung turun dari mobil dan masuk ke rumah Leo dengan santai, padahal pemiliknya masih di mobil dan belum mematikan mesin. "Kak Leo!!" Gadis itu berteriak, sehingga Leo refleks berlari masuk dan menemukan Naya yang tersenyum sumringah sambil menunjukkan cheese cake ukuran sedang di tangannya. "Mau makan bareng Naya?" tawarnya dengan nada suara tenang. Tunggu, kenapa dia jadi sumringah bener? Bukannya tadi judes sampe nyindir kalau gombalan gue receh? Dan, dia manggil dirinya sendiri dengan sebuatan nama lagi. Padahal tadi di mobil 'gue-gue'-an. Sinting apa mabok? Baru kali ini Leo bingung menghadapi sikap seorang gadis. *** Leo mengelap peluh di dahi dan lengannya menggunakan handuk. Setelah lari mengitari komplek dan sempat ikut main bola di lapangan bareng bocah-bocah SMP, sekarang Leo sedang istirahat karena tubuhnya lumayan lelah. Lelah tapi sehat. Leo menyukai segala jenis olahraga yang membuat tubuhnya bugar dan perut kotak-kotaknya muncul. Leo berjalan menuju meja makan dan segera menyantap roti bakar berselai strawberry dan juga kopi panas. Menu favorit Leo sepanjang hidupnya. Kopi, as always. "Bi, lain kali jangan masak makan malem kalau Leo nggak minta, ya. Leo baliknya kan edan-eling," ucap Leo pada Bi Hun. Semalam Leo pulang jam 2 pagi dan menemukan meja penuh dengan makanan. "Bibi nggak masak, Den." Leo mengerutkan dahinya, "Terus?" "Itu masakannya Neng Naya." "Serius dia masak?" "Iya, tapi tadi shubuh Bibi liat makannya masih di meja. Karena udah dingin, Bibi buang." "Makanannya masih utuh emang dia nggak makan, Bi?" tanya Leo lagi. Bi Hun menggeleng. "Semalam Bibi tanya kenapa nggak dimakan sama Neng Naya, eh, katanya nunggu Den Leo. Tapi, Aden nfgak pulang-pulang. Bibi nemenin Neng Naya sampe jam 11. Aden pulang jam berapa emang?" Leo meminum air putih sampai setengah kemudian berdeham. Tak menjawab pertanyaan malam berkata, "Nanti-nanti, jangan biarin dia masak, Bi." "Baik, Den." Leo tersenyum pada Bi Hun kemudian melanjutkan sarapannya. Merasa benar-benar aneh pada Naya karena gadis itu senang menyusahkan dirinya sendiri. Jika sudah masak, mengapa tidak makan? Mubazir. Dan jika ingin makan, mengapa harus menunggunya? Cari muka? "Manja." Tak sadar, Leo menyindir. "Bi?" Suara Naya terdengar dan Leo melirik. Naya berjalan menuju dapur sambil merapikan seragam sekolahnya. Rambut coklatnya tergerai dan sepertinya belum disisir. "Bi, Naya udah telat." Gadis itu menggigit roti bakarnya dengan terburu-buru, bahkan tak sampai seperempat. "Habisin dulu, Neng," ujar Bi Hun. "Udah telat, Bi. Semalem Naya tidurnya malem banget. Mendekati pagi." Mendengar hal itu, Leo merasa tersindir. Tapi ia mencoba tidak peduli karena itu bukan salahnya. Tidak ada yang menyuruh Naya menunggunya, kan? "Mau gue anter?" Leo hanya berbasa-basi, you know. Naya menggeleng. "Udah pesen taksi. Lagian Kak Leo belum mandi. Naya berangkat, ya!" Baguslah. Siapa juga yang mau ngater cewek manja kaya lo? Leo ingin bicara seperti itu namun ia memilih diam. "Ini bekal makan siang Neng Naya ketinggalan," kata Bi Hun dengan ekpresi panik menatap sekotak bekal tergeletak di meja makan. "Biarin sih, Bi. Dia pasti punya duit jajan kok." Leo bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar untuk mandi. Hari ini Leo punya rencana untuk berkunjung ke rumah Vano karena kakaknya Vano--- Mei, akan mengadakan acara empat bulanan kehamilannya. Leo melirik ponsel yang sedang di-charger, layarnya berkedip menandakan ada pesan masuk. Mami : Naya bawa bekal makan siang kan? Dia nggak bisa jajan sembarangan. *** Leo membuka kacamata hitamnya dan menatap lekat-lekat pada gerbang yang dulu selalu ia lewati setiap pagi. Tak menyangka akan masuk kembali ke sekolahnya hanya untuk memberikan sekotak bekal berisikan sandwich. "Cari dia, kasih bekal sialan ini, terus pergi. Oke, Leo ganteng. Gampang!" katanya pada diri sendiri. Leo mulai melangah dan meminta izin masuk pada Pak satpam yang sudah menjadi soulmate-nya dari semasa sekolah. Setelah diperbolehkan, Leo berjalan menuju koridor dan sialnya, ia tidak tahu kelas Naya di mana. "Itu kak Leo bukan, sih?" "Kak Leo yang se-geng sama Kak Dion, Vano, Bara?" "Iya bukan, sih??" "Ganteng!!" Dan bisik-bisik yang lainnya. Leo menyeringai kecil karena pesonanya ternyata belum luntur. Walaupun sudah menjadi alumni, nampaknya ia masih mempunyai fans base di sekolahnya. "Kak Leo? Ngapain di sini?" Seseorang memanggilnya, ternyata itu Dee. "Mau ketemu Raya." "Naya, maksud lo?" "Ahh..." salah lagi. "Iya, Naya." Leo membawa langkahnya menuju lapangan basket setelah diberikan informasi oleh Dee. Naya ternyata tengah berkumpul dengan beberapa murid yang memakai baju olahraga. "Ray!" Semua orang langsung melirik Leo. Para siswi bisik-bisik karena kagum, sedangkan para siswa pasang wajah keki karena merasa gantengnya tersaingi. "Raya, sini!" Leo melambaikan tangannya dan Naya langsung menariknya pergi keluar lapangan. "Ini kenapa narik-narik?" tanya Leo, bingung. "Diem!" Baru kali ini Leo kesulitan menjawab bentakan kecil tidak bermutu dari seorang makhluk lemah bernama cewek. "Kak Leo ngapain ke sini?" tanya Naya langsung. Ekpresinya menunjukkan ketidaksukaan. "Kok sewot?" Oh jelas, Leo tidak paham. Ia hanya menunjukkan kotak bekal yang ia pegang. "Kotak makan siang lo." "Kenapa pake dianterin? Padahal biarin." Bukannya bilang makasih, malah mojokin gue! "Mami yang nyuruh." Leo tersenyum manis sekali. Gila. Bisa gila, Gue. "Besok-besok jangan, deh." Naya semakin sewot sendiri "Sweetheart..." Leo mulai tidak sabar sehingga ia menatap Naya dengan tajam. "Gue sebenernya tadi nggak mau nganter ini. Tapi kata Nyokap, lo nggak bisa jajan sembarangan." "...." "Nih!" Leo memberikan kotak bekal itu dengan kesal lalu melangkah pergi. "Tunggu, Kak...." Leo menyeringai. Yakin menang. Pasti gadis ini mau meminta maaf karena sudah judes dan akan berterima kasih. Aha! "Kenapa?" tanya Leo dengan nada yang sengaja dimalas-malaskan. "Jangan nemuin gue di sekolah lagi. Kalau misalnya gue lupa bawa bekal, nggak usah dianterin. Nggak pa-pa. Gue lebih baik nggak makan," ujar Naya seperti sebuah ultimatum. Apaan sih? "Maksud lo?" Leo ingin memastikan. "Gue nggak suka Kak Leo ke sini. Nanti para murid berpikir apaan? Gue nggak mau digosipin sama lo." Jelas sekali bajwa Naya memang merasa risi. "Apa? Lo nggak mau apa? Ogah digosipin sama gue?" Katakan pada Leo itu adalah sebuah lelucon. Waktu gue SMA, semua cewek ngantri pengen jadi ladang gosip bareng gue! Asal lo tahu! "Ya," jawab Naya, sambil menunduk. Leo menipiskan jarak antara dirinya dan Naya. "Itu bukan gosip, atuh. Kan lo tunangan gue." Naya mengangkat wajahnya untuk menatap Leo yang kini sudah berdiri di hadapannya. "Tapi, gue nggak mau satu sekolahan tahu. Gue... malu." Ini cewek malu gue jadi tunangannya? "Malu?" ulang Leo. Naya mengangguk. "Malu karena lo tunangan gue?" Naya mengangguk lagi. Oh, harga diri Leo terluka. "Semua cewek kepengen ada di posisi lo. Dan lo malah malu? Nggak salah?" Naya memberanikan diri menatap mata Leo kemudian mengangguk lagi. Telak. Harga diri Leo benar-benar terluka. Ini penolakan halus, Coy! "Lo tunangan gue. Gue bakal bikin satu sekolah tahu. Kalau bisa satu dunia." Leo mengatakan itu dengan penuh tekad sampai kedua mata Naya melebar. Leo menyeringai puas. "Sampai ketemu di rumah, My fiance." "T-tunggu, Kak. Kak Leo!" Leo menghiraukan teriakan dari Naya dan terus berjalan menuju gerbang. Ia kesal dan marah. Sepanjang hidupnya, tidak pernah ada yang berani mengusik harga dirinya. Leo benar-benar tidak bisa menerima jika seorang gadis kecil mencoba menolak pesona yang ia junjung tinggi-tinggi. Biarlah Leo harus banting stir karena mengubah pemikirannya. Awalnya ia memang tidak ingin bertunangan dengan Naya, tapi, jika gadis ini menolaknya, ia tidak bisa tinggal diam. Leo tidak pernah ditolak! Dan selamanya tidak akan pernah ditolak! Gadis itu malu karena menjadi tunangannya? Biar Leo tunjukkan rasa malu yang sebenarnya itu seperti apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD