chapter 05

2221 Words
"Bi, kopi Leo mana?" "Kopi nggak baik diminum pagi-pagi." Naya menyelah pertanyaan Leo pada Bi Hun sambil berjalan menghampiri pemuda itu dan memberikannya segelas penuh s**u vanilla. "Ini apaan?" tanya Leo. "Susu." "Iya," Leo tahu, anjir. "Maksudnya? Lo nyuruh gue minum ini?" "Iyaa." Oh boy.... "Lo aja. Gue nggak suka susu." Leo menolak secara halus menggunakan senyum mautnya. "Semalem gue tidur nggak minum s**u. Pagi ini gue harus minum dua gelas sebagai gantinya. Gue nggak mau, jadi satu gelasnya diwakilin sama Kakak. Kak Leo yang harus minum." Naya dan penjelasan panjang lebarnya. Leo menjawab dengan tatapan tersinggung, "Gue udah pinjemin pelukan hangat gue supaya lo bisa tidur, Sweetheart. Bukanya bilang makasih, ini malah mau racunin gue pake susu." Wajah Naya tiba-tiba memerah. Dan Leo cukup dibuat bingung. "Kakak panggil Naya apa tadi?" "Muka lo merah karena gue panggil sweetheart?" ulang Leo. Naya menundukan kepalanya tetapi Leo masih bisa melihat wajah Naya yang semakin memerah. Oh boy.... "Gue suka liat lo tersipu kaya gitu. Manis." Mungkin Leo memang gombal tapi wajah Naya memang lumayan. Naya langsung mengangkat wajahnya untuk menatap Leo. "Apa, Kak? Kakak suka sama Naya?" "Maksud gue---" "Ya ampun!" Naya menggigit bibir bawahnya dengan ekpresi senang yang menurut Leo berlebihan tetapi lucu. Leo geli sendiri. Maksud Leo kan bukan suka dalam tanda kutip, tapi Naya sudah terlalu excited. "Maka dari itu, lo minum nih susunya supaya gue tambah suka," kata Leo. Mencari alasan agar dia terhindar dari serangan s**u. "Oke!" Leo langsung bangkit berdiri ketika melihat Naya yang meminum habis segelas s**u vanilla yang awalnya harus ia minum. "Kurang? Apa Naya harus minum s**u lagi biar Kakak tambah suka sama Naya?" tanya gadis itu, serius. Leo mengetuk-ketukan telunjuknya di depan bibir, pura-pura berpikir. "Lima gelas lagi mung---" "Oke!" "Eh! Gue cuma bercanda!" Leo mengejar Naya yang berlari menuju mini bar. Gadis itu mengambil lima gelas dari rak kemudian mensejajarkannya di atas meja. Ketika Naya siap menuangkan s**u bubuk itu ke dalam gelas, Leo menahannya. "Lo mau mabok karena kebanyakan minum s**u?" Naya menatap Leo dengan ekpresi sedih. "Kak Leo nggak jadi dong suka sama Naya?" Leo terkekeh pelan. Ia merasa kewalahan menghadapi sikap Naya yang sedikit aneh dari gadis-gadis yang pernah ia temui." Denger ya, suka itu nggak bisa diukur lewat sebanyak apa lo minum susu." "Terus?" Naya butuh jawaban. Leo mengacak-acak rambut Naya. "Kalau terus ya nabrak." Tidak bisa menahan tawanya ketika melihat Naya yang cemberut. Lalu dia punya ide. "Kencan yuk?" *** Ancol. Itu adalah tempat yang niatnya akan Leo kunjungi. Tapi, ketika melihat begitu panjang orang-orang yang mengantre di loker tiket, ia jadi malas. Sudah dipastikan jika di dalam pasti sangat sumpek. Akhirnya, Leo memilih ragunan. Tetapi, lagi-lagi ramai. Dan ujungnya tidak jadi lagi. "Ada satu tempat yang bisa gue bikin nggak rame. Ayo ke sana." Naya hanya bisa mengangguk pada ajakan Leo. Setelah memakan waktu kurang lebih lima belas menit, mereka sampai di sebuah mall besar. Naya sempat bingung karena mall juga pasti akan ramai oleh pengunjung. "Teater juga rame banget, Kak. Serius mau nonton?" Naya tidak masalah tapi sepertinya Leo kurang nyaman dengan kebisingan. "Tenang, ayo ikut cogan!" Leo berjalan menuju tempat tiket. Mbak-mbak yang awalnya sibuk melayani pembeli, seketika menoleh padanya. "Mbak, saya mau, seluruh jam penayangan di cancel ya." "Eh, mana bisa, Kak!" Bagi Naya, ini tidak masuk akal. Leo hanya mengibaskan tangannya kemudian mengelurkan credit card dari dalam dompet. "Bisa nggak mbak?" tanyanya sambil mengedipkan mata. "Maaf, tidak bisa, Kak," jawab si mbak kasir dengan sopan. "Kalau gitu, ada teater yang masih kosong nggak? Saya sewa satu teater." "Ada, teater 4, Kak." "Oke, saya ambil," ucap Leo dengan enteng. "Saya sewa seharian, deh. semua minuman sama pop corn saya borong juga." Naya tahu Leo itu tajir, tapi ini berlebihan. "Kita nonton horro ya." Leo berkata pada Naya dengan antusias. Setelah diberikan akses masuk ke teater yang Leo pesan seharian, mereka langsung bergegas masuk. Soal minuman dan pop corn, hal itu juga benar adanya. Diborong sampai habis. Benar kata Naya, bangsatnya Leo sedang mode on. "Mau duduk di mana?" tanya Leo pada Naya karena hanya mereka berdua yang ada di ruangan ini. "Yang paling empuk?" ujar gadis itu. "Oke." Merasa mendapat lampu hijau, Naya langsung mengangguk dan menyentuh beberapa kursi yang menurutnya paling empuk. Sesekali ia menepuk-nepuk kursinya menggunakan kedua tangan. "Nyari sampe shubuh juga nggak akan dapet. Semuanya sama. ini kursi yang paling empuk." Leo menarik tangan Naya sehingga gadis itu duduk tepat di pangkuannya. "Empuk, kan?" tanyanya sambil menahan tawa. "Turunin, Kak. Naya duduk di sebelah Kakak aja." Naya kikuk, salahkan perbuatan Leo "Katanya mau yang paling empuk? Ini empuk banget. Sumpah, nggak bohong." "Filmnya mau dimulai. Izinin Naya duduk." Lampu teater memang sudah dimatikan, suara musik pembuka dari film yang sedang diputar juga sudah terdengar. "Ini kan film horror, emang nggak takut? Udah, duduk aja di pangkuan gue. Kalau takut kan nanti tinggal minta dipeluk sama cogan." Sial karena teater gelap, Leo jadi tidak bisa melihat wajah Naya yang pasti saat ini sedang memerah. "Ada CCTV lho, Kak. Masuk penjara kalau nanti grepe-grepe anak di bawah umur," ujar gadis itu dengan nada sewot. "Mana ada di bawah umur, sih? Raya kan udah---" "Naya! koreksi, langsung. "Oh Boy," Leo langsung menurunkan tubuh Naya dari pangkuannya. Keinginan menjahili Naya langsung hilang seketika karena perbuatannya yang selalu salah sebut huruf. Leo mendaratkan punggungnya pada sandaran kursi dan mencoba melihat pada layar. Jujur saja Leo kurang suka film ber-genre horror. Karena menurutnya, tidak ada yang menarik. Si hantu selalu menyisakan orang yang selamat di akhir cerita, jadi Leo sudah hapal ending-nya. Begitu-begitu saja. "Lo suka horror?" tanya Leo pada Naya karena gadis itu terlihat menikmati filmnya. Bahkan Naya mengangkat kedua kaki untuk duduk bersila. Seperi bioskop ini miliknya seorang. Well, sebenarnya Leo bisa membelikannya. "Suka banget. Kakak suka?" jawab Naya, semangat. Melihat penampilan Naya yang kekanak-kanakan serta terlihat manis, siapa sangka gadis aneh ini menyukai horror? Benar-benar jangan menilai seseorang dari luarnya. "Gue lebih suka bokep," jawab Leo secara sadar. "Oh, iya udah ketebak." Leo mencoba menghiraukan keanehan Naya dan dunia fantasinya. Ia memilih membuka aplikasi i********: dan banyak sekali likes serta komentar yang masuk pada foto yang kemarin sempat ia unggah. 2,632 Likes leo.gardanaaa gdbye long hair xoxo view all 368 comments hanny24 verry nice @leo.gardanaaa rahmaama woyy liat kak leo new hair!! @kikigardana_ @dianameniv @seliina.leo.lovers @deacute3 seliina.leo.lovers ganteng bgt si pacar!!! @leo.gardanaaa makin suka!! wendaputriii ini leo? follback ya :) kikigardana_ si idol ganteng aww :* deeadeeva KAK LEO POST FOTO SAMA KAK VANO DONGGG @leo.gardanaaa @tovanomalik deeadeeva @narayavanita nayy liat nayy. Udah liat belum lo?? Leo merasa tertarik pada komentar terakhirnya. Dengan iseng, Leo men-klik akun Naya tetapi... private! Tipe Cewek-cewek alay yang pengen banyak followers! komentar Leo dengan sinis. "Ya ampun! Hantunya kok mukanya jelek banget?!" Naya berteriak, menepuk-nepuk pegangan meja. Heboh sendiri. Gadis itu memakan popcorn sambil tertawa padahal adegan di film sedang seram-seramnya. "Kenapa juga matanya melotot? Sakit ya pake soflens?" Leo menggeleng tidak percaya. Hantu pake soflens? "Kenapa? Kok heboh banget?" "Itu hantunya jelek, Kak. Mirip Dee kalau lagi marah." "Hantu nggak ada yang cantik." Naya menggaruk pelipisnya dan terkekeh. "Iya juga, ya? Kalau cantik berarti doyan nyalon. Eh, hantu nggak pernah ke salon ya, Kak?" "Coba lo tanya sendiri." Leo terjebak dengan anak SMA yang terlalu polos, astags. "Emang bisa?" Bisa kok. Lo sekarang gue cekek aja bisa kok. Bisa banget. "Lo gak takut? Filmnya serem, tapi lo malah haha-hihi." Gue yang takut. Naya kembali terkekeh dan itu membuat Leo beroikir bahwa mungkin Naya memang kesurupan setan bioskop. "Gue sering nonton film sama Papa kalau di rumah. Udah biasa," jawab Naya. Mendengar kata papa, Leo jadi punya inisiatif untuk mengorek seperti apa Naya dan dari kalangan keluarga macam apa. "Papa? Bukannya Papa lo juga yang bikinin s**u? Dia nemenin lo nonton film juga? terkesan memanjakan anak ya." Leo menyindir. "Papa nggak pernah manjain yang berlebihan. Tapi, Papa sayang sama Naya." "Papa lo kerjaannya apa?" "Kenapa Kak Leo tanya-tanya tentang papa? Naksir?" Idih, kok jadi kesitu? "Nggak. Cuma pengen tahu dan kenal sama calon mertua." Oke bagus, b******n. Itu alasan terbaik sepanjang masa! "Kalau mau kenal, Naya nanti ajak ke rumah." Leo mengangguk lagi dan membiarkan Naya kembali menikmati film yang menurutnya sama sekali tidak menarik. Jalan ceritanya saja Leo tidak mengerti sampai film habis. "Mau nonton yang lain?" Leo menawarkan. Naya menggeleng. "Makan aja, yuk?" Leo menarik tangan Naya agar berdiri. Menggenggam tangan itu, keluar dari bioskop. Awalanya mereka akan pergi ke resto Jepang karena Leo sedang mengidam sushi, tetapi tidak jadi karena Naya ingin makan gado-gado. Ini serius. "Gue gak tahu restoran mana yang nyediain gado-gado." Warung sederhana di pinggir jalan yang mempunyai tulisan besar: "Gado-gado setan ibu Uun Centil" langsung menyambut mata Leo. Ia terkekeh mengetui nama warungnya yang sangat unik. "Dijamin enak. Harganya juga murah. Ayo masuk, Kak!" Naya menarik tangan Leo memasuki area warung. Suasana Sunda yang sangat kental menjadi dekorasi dari warung sederhana ini. Meja dan kursi yang dipakai pengunjung tidak ditata dipisah-pisah, melainkan memutari sebuah dapur yang menampilkan empat ibu-ibu yang sudah siap mengulek gado-gado sambil goyang. "Wilujeng sumping! Bade pesen naon atuh? Sok mangga...." (selamat datang. Mau pesan apa? Silakan) "Dua porsi gado-gado setan kunti. Yang pedes," pinta Naya dengan senyum merekah. "Siap, Teteh. Ditunggu, silakan duduk dulu." Leo mengikuti Naya yang sudah menempati kursi. Ia memperhatikan ibu-ibu yang sedang mengulek dengan hebohnya sambil berteriak dengan bahasa Sunda yang Leo tidak pahami sampai pesanan mereka siap. Ketika mereka berdua sedang asyik menikmati gado-gado, suara seorang perempuan yang menyapa Leo langsung mengalihkan perhatian mereka. "Leo? Lo Leo kan?" Leo menatap dari atas hingga ke bawah seorang cewek yang memakai setelan serba mini di hadapannya. Ia mengangguk pelan. "Siapa ya?" "Masa lo lupa? Kita check in dua minggu lalu," ucap si cewek asing tanpa tahu malu seolah-olah tidur dengan Leo adalah sebuah penghargaan terpuji. "Ah, ya... siapa? Gue nggak kenal." Jujur saja Leo tidak pernah ingin tahu dengan siapa ia melakukan one night stand. "Gue Mareline, Leo. Kok bisa lupa sih?" Leo melirik pelan pada Naya yang terdiam sambil memasang wajah tanpa ekpresi menyerupai Dion dan Vano. Apa sekarang mereka bertiga membuat persatuan wajah datar? "Yo..." Mareline mengerutkan dahinya sambil menujukan jari pada Naya. "Ini siapa?" Leo tersenyum manis lalu memeluk bahu Naya. "Kenalin, tunangan gue." "Huh? Tunangan? Terus, kita itu apa?" "Excusme me?" "Gue sama lo, kita tidur---" "Sejak kapan sih ada 'kita'? Mungkin itu cuma ilusi lo aja," ujar Leo dengan tenangnya. "Tapi Lo bilang I love you pas lo make love sama gue! Kita juga tuker kontak, Yo!" Mareline merasa tersinggung. "I'am not make love with you, I f**k you." Selamat datang di kehidupan Leo. "Sebaiknya lo pergi, Nona. Karena semua pandangan udah natap jijik ke arah lo." Leo memberi pilihan yang tepat, bukan? "Kenapa gue harus pergi? Malu karena lo ketahuan b******k di depan tunangan lo, huh?!" Mareline tak mungkin pergi tanpa membalas penginaan yang ditunjukan Leo padanya. Leo melirik Naya yang masih saja memasang wajah datar dan gadis itu sangat tenang. Leo berkata, "Tunangan gue tahu kok kalau gue berengsek. Jadi, silakan pergi, Nona." "Lo yang bikin cewek-cewek jadi murahan, b*****t!" Leo berjalan mendekati Mareline kemudian berbisik, "Lo yang malu-maluin diri lo sendiri dengan cara teriak-teriak di sini. Lo yang ngaku tidur sama gue. Gue sendiri aja lupa." "Lo liat kan? Leo itu berengsek! Dia bakal mainin lo sama kaya dia mainin semua cewek!" teriaknya pada Naya. "Pergi," usir Leo dengan suara yang masih terkontrol. Jika ia banci, mungkin sekarang Leo sudah mendorong tubuh Mareline supaya keluar, tapi Leo anti menyakiti tubuh perempuan. Kalau hati? Itu sih jangan ditanya. Banyak yang sudah sakit hati oleh perlakuan Leo yang semena-mena. Contohnya detik ini. "Percaya sama gue, Leo bakal ninggalin lo!" Mareline kembali berteriak pada Naya dengan penuh amarah kemudian berlalu dengan kaki yang dihentak-hentakan dan mata yang berlinang. Leo melirik Naya yang masih diam. Tidak mengerti diamnya Naya ini untuk apa. Shock, marah, masa bodo, atau apa? "Ayo pulang." Setelah membayar dan meminta maaf karena membuat keributan, Leo menarik tangan Naya keluar dari warung, memasuki mobilnya. "Lo liat sendiri. Nggak usah gue jelasin, kan?" Leo membuka obrolan. Naya melirik Leo yang sedang menyetir. "Iya." "Gue berengsek. Masih mau jadi tunangan gue?" "Masih." Leo balas melirik Naya yang menatapnya dengan ekpresi datar. Ia kembali fokus pada jalanan dan berkata, "Selama lo jadi tunangan gue, mungkin masih banyak cewek lain yang akan lo jumpai kaya cewek tadi. Gue berengsek, lo bisa mundur." "Kalau Kakak emang nggak pernah setia sama satu cewek, gue bakal bikin Kakak setia sama satu cewek aja. Dan cewek itu, gue." Naya sudah berjanji ada dirinya sendiri. "Itu susah." "Susah bukan berarti gak bisa." Entahlah Naya memang menyukai Leo sedalam itu atau ia bodoh karena mau mengencani setan dari segala setan. Leo menghela napas ketika ia sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Setelah gerbang dibuka oleh satpam, Leo langsung memasukan mobilnya ke garasi. "Gue, semalem---" Naya menyela, "Gue tahu. Kakak balik ke club, kan?" "...." "Kalau gue pengen bikin Kakak berubah tetapi Kakak nggak ada niat pengen dirubah, rasanya bakal nggak ada gunanya. Sekarang mungkin Kakak masih pengen seneng-seneng, ya? Besok-besok, semoga di dalam hati Kakak ada niat berenti," tambah gadis itu dengan pikiran yang terlihat lebih dewasa dari hari kemarin. Naya membuka pintu mobil, turun dari sana. Ketika hendak berjalan menuju pintu utama, ia kembali membalikan tubuhnya. "Semalem adalah yang pertama, Naya bisa tidur tanpa minum s**u," senyumnya terbit. "Makasih udah meluk Naya, kak Leo."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD