Unpredictable Moments (3)

1555 Words
Tapi sial benar. Sekali lagi prediksi Daniel meleset. Yang Ia dapati justru wajah semringah Stephanie kala balik bertanya, dua tiga menit kemudian, “Maksudnya, sekarang, ya, Pak? Wah, tawaran yang amat menarik. Boleh saya minta waktu sebentar, untuk menghubungi tim saya di kantor?”              “Oh, silakan,” sahut Daniel dengan senyum yang tertahan, seiring prasangka yang muncul kembali, seolah berkaca dari dirinya sendiri yang notabene juga orang Marketing. See? Dugaanku iu nggak sepenuhnya meleset kok. Setelah menutup telepon nanti, dia pasti akan bilang, ada rapat ini lah, itu lah, dan nggak bisa ditinggalkan, karena undanganku terbilang mendadak, cela Daniel dalam hati. Meski berlagak tidak peduli, sejatinya Daniel memasang telinga lebar-lebar kala Stephanie menghubungi Seseorang di kantornya. Tampaknya Gadis itu terpaksa menelepon disebabkan pesan teks yang ia kirimkan sebelumnya belum mendapatkan respons dari yang dituju, sementara keputusan darinya tengah ditunggu oleh Sang Calon Konsumen. Panggilan telepon yang dilakukan Stephenie tampaknya segera bersambut.  “Hallo, Tris, saya masih di Sanjaya Building sekarang. Betul, PT Damar Son S-Sports. Ada perubahan rencana ini. Kamu tolong handel internal meeting sore nanti, ya. Saya tidak bisa kembali ke kantor, harus ke pabriknya sekarang. Ok, thanks,” kata Stephanie cepat. Secepat Stephanie menutup sambungan telepon, Daniel nyaris tertegun. Tak disangkanya, ternyata semudah dan sepraktis itu seorang Stephanie memutuskan dan bertindak. Jauh benar dari perkiraannya! Mau tak mau, Daniel mengaku dalam hati bahwa dia kalah kali ini. Salah terka!             “Wah, kamu jadi absen di internal meeting, ya?” ucap Daniel kemudian, berlagak menyesal. Padahal, ada unsur hendak menguji keteguhan Stephanie dalam memegang prinsip.             Senyum segar terulas di bibir Stephanie.             “Meeting mingguan departemen Marketing saja, Pak. Tidak mengapa kalau sekali ini saya absen. Mereka bisa mengirim minutes of meeting-nya ke saya nanti,” jelas Stephanie ringan.             Daniel manggut. Dia tidak mempunyai ide harus menanggapi dengan perkataan apa lagi.             “Oke. Bisa kita berangkat dalam waktu.. 7-8 menit lagi, mungkin? Pak Adji, segera difinalisasi sama Departemen terkait, ya, sehubungan penawaran PT Sheng Li!” suruh Daniel setelah melihat ke arlojinya.             Pak Adji mengangguk patuh.             “Baik, Pak Daniel. Saya permisi dulu. Bu Steph, saya tinggal dulu, ya,” kata Pak Adji kemudian. Pria itu bangkit dari duduknya. Sontak, Daniel mengernyitkan keningnya, rasanya ingin protes, tapi tak terucap. He, apa-apaan ini? Pak Adji kok ikut-ikutan manggil dia Bu Steph? Tadi bukannya dia menyebut Cewek ini Bu Stephanie? Itu membuat panggilan Steph dariku jadi nggak spesial, batin Daniel sebal.             Stephanie mengangguk, sekaligus pada keduanya.             “Segera, Pak,” sahut Pak Adji dan berlalu. Selepas kepergian Pak Adji dari ruangan kerjanya, Daniel bangkit berdiri dari kursinya. Ia membuka jasnya dan menyampirkannya di punggung kursi. Ia menyaksikan Stephanie memandangnya dengan ekspresi yang sulit untuk diterjemahkannya. Hampir saja Daniel merasa grogi. “Begini Steph,” ucap Daniel setelah duduk kembali di kursinya.             “Ya, Pak?” sahut Stephanie dengan sikap tubuh yang mimik muka yang yang tersirat siap untuk menyimak.             “Sedikitnya ada dua hal yang mau saya sampaikan ke kamu. Pertama, saya pasti cukup lama berada di pabrik nanti. Karenanya, pasti kembalinya kita nanti dari sana, sudah menjelang malam. Kamu tidak keberatan kan, kalau kunci mobilmu dititip saja, sekaligus memberikan alamat kirimnya? Nanti Personal Assistant saya, Serena yang akan mengaturkannya untuk dikirim ke tempat tinggalmu,” terang Daniel.             Usai berpikir barang dua detik, mengingat-ingat, apakah ada sesuatu barang yang terlalu pribadi yang ditaruhnya di dalam mobil, Stephanie merogoh tasnya, mengeluarkan kunci mobilnya dan menyahut, “Boleh, Pak. Tidak masalah.” Lagi-lagi Daniel merasa salut dengan Gadis di depannya.             “Dan yang kedua, Pak?” tanya Stephanie seusai menuliskan alamatnya ke secarik kertas yang dirobeknya dari agendanya. Daniel melirik alamat yang ditulis Stephanie, dan cukup satu kali melihatnya, otaknya yang super cemerlang langsung dapat merekamnya dengan amat baik.             Daniel tak dapat menahan seringainya. Nyaris tertawa malah. Pasti Orang lain yang mengenalnya juga bakal ngakak, kalau tahu pertanyaan Daniel yang kedua ini. Seumur-umur berurusan dengan Cewek, tak pernah Daniel mengeluarkan pertanyaan yang senaif ini. Bayangkan, seorang Direktur Operasional, di jam kerja, mengungkapkan hal ini kepada salah satu Perwakilan sebuah perusahaan Vendor!             “Oke, entah kamu sempat memperhatikan atau tidak, kendaraan saya mungkin tidak se-macho kamu. Apakah masalah buat kamu, kalau saya memberikan tumpangan ke kamu dengan mobil itu? Tapi sekiranya kamu merasa kurang sreg, masih ada waktu untuk saya menyuruh Serena agar mengaturkan kendaraan operasional kantor yang lainnya. Yang barangkali, lebih pantas buat dipergunakan ke sana?” tanya Daniel berbelit, seolah bukan pertanyaan Seorang Daniel Marcello Sanjaya. Mendadak Daniel curiga saat merasa, tingkat kecerdasan dan percaya dirinya merosot sampai level nol begini. Dikenangnya, di percakapan pertamanya dengan Ferlita, dia sangat menguasai keadaaan. Dia begitu percaya diri. Apalagi dengan Inge. Wah, bahkan masih terbayang olehnya binar-binar cinta di mata Inge, mirip ikon love di aplikasi messenger saja. Lalu tatapan memuja dari Inge padanya, yang seakan sedang bersyair dipenuhi rasa syukur yang besar di dalam hati, “Kukagumi ciptaanMu, Tuhan..” Eh! Tak usah men-judge Daniel kegeeran dalam hal ini. Sama sekali tidak. Bila saja dilakukan survey pada 100 orang, dan dengan memasukan juga nama Brenda di dalamnya, tentu Orang-orang di luar sana akan menemui faktanya, bahwa Inge itu bucin berat, padanya. Bucin garis keras, malahan. It is Confirmed! No doubt! Terus, apa hubungannya dengan Stephanie, kok dia dibawa-bawa? Dia bahkan bukan siapa-siapanya Daniel. Atau.., belum? Daniel juga belum tahu. Fine, adakah yang tengah menanti adegan selanjutnya di ruangan kerja Daniel? Hmm.., barangkali sulit untuk dipercaya! Stephanie sontak tergelak, meski ia buru-buru menutup mulutnya, menyadari bahwa hal itu terbilang kurang pantas. Bagaimana dia tidak tergelak coba? Ya, siang ini kan dia sudah mengantisipasi kemungkinan dirinya akan bertindak ceroboh. Cukup sekali dirinya tak sengaja parkir bersebelahan dengan Cowok grusa-grusu yang menabraknya, kan? Sudah dihafalkannya warna serta jenis kendaraan si ‘Cowok reseh’ tersebut. Pantang buatnya untuk sekadar berpapasan sama Si Cowok reseh, sekiranya ada kemungkinan mereka menuju tempat parkir dalam waktu yang sama. Tetapi, lain yang diharap dan dipersiapkan, lain pula kenyataan yang menjelangnya. Siapa kira, harapannya terjungkal seutuhnya. Mereka, dirrinya  serta Si ‘Cowok reseh; yang ternyata adalah sang Direktur Operasional dari PT Damar Son S – Sports - itu, kini sedang duduk berhadapan di ruangan kerja, dan nanti, tentu saja akan bersama-sama menuju tempat parkir, bukan sekadar berpapasan. Selanjutnya mereka berdua akan berada dalam satu kendaraan untuk perjalanan yang durasinya bukan cuma sepuluh atau dua puluh menit saja. Baru membayangkannya saja, hati Stephanie tergelitik hebat. “Ha ha ha.., pak Daniel lucu. Eh, maaf, Pak. Maafkan. Maksud saya, tidak masalah, Pak,” ucapnya singkat, namun sanggup mengusik Daniel. Iya lah, tak pernah Daniel mengira bahwa  Stephanie bakal mengeluarkan pernyataan macam ini. Hampir saja dia tersinggung. Ah, tapi tidak. Dia sendiri juga heran, bisa-bisanya ungkapan Stephanie itu tidak membuahkan teguran dari celah bibirnya. Lucu? Hallo? Ada berapa Orang yang berani mengatakan aku lucu? Barangkali bisa kuhitung dengan sebelah jari. Atau.., malahan nggak ada? Kukasih tahu ke kamu ya, Steph. Lucu itu, sejatinya lebih pas diungkapkan sama seorang Cowok, kepada kaum Cewek. Bukan sebaliknya, protes Daniel dalam diam.             Baru menyoal soal gender saja, belum posisinya di kantor, sebenarnya ini termasuk pelecehan. Mustinya Daniel berhak tersinggung, dong? Celakanya, dia justru terpesona menatap gigi gingsul Stephanie, mengagumi tawa lepas Gadis itu. Daniel terpesona! Dan sebelum dirinya terbius lebih dan lebih dalam lagi, ia tersadarkan akan keterbatasan waktunya, serta agenda kerjanya hari ini.   “Serena, ke ruangan saya sekarang,” ketimbang membiarkan dirinya kian terlarut dalam pesona Stephanie, yang dipikirnya bakal berpotensi merendahkan harga dirinya sebegitu mudah, Daniel segera menjangkau gagang telepon, menghubungi Serena. Wajar bila Daniel seperti itu. Just for your information, he is Daniel Marcello Sanjaya. Sedari sekolah, kuliah, hingga sekarang, sudah kelewat sering, tuh, digila-gilai Para Cewek. Dan bayangan Seseorang dari masa lalunya, selintas berkelebat. Meski rasa ‘itu’ sudah tak ada lagi, toh Daniel harus mengakui dalam diamnya, dia pernah jatuh bangun, demi mengejar Gadis yang satu itu. Bahkan dia pernah jatuh sakit sekian lama, ketika Cewek itu memutuskan hubungan dengannya, hanya melalui hubungan telepon saja. Sambungan jarak jauh antara Jakarta dan Tucson dengan perbedaan waktu yang tajam, yaitu belasan jam! Cukup sekali, aku sungguh-sungguh bucin berat, to, you know who she was. Jangan lagi, jangan lagi seperti itu, batin Daniel dan buru-buru menghalau bayangan wajah Ferlita yang mengusik tanpa permisi. Ya, bayangan Ferlita tetap saja mengusik, walau efek yang ditinggalkannya tidak mengguncang perasaan Daniel. Perasaan Daniel sudah berubah terhadap Ferlita. Dia sudah merelakan Gadis itu. Dan yang terpenting, Ferlita telah memberikan dirinya ‘Perpisahan yang layak’, bukan meninggalkan dirinya dalam keadaan menggantung dan bertanya-tanya dalam kebingungan. Daniel menatap ke arah pintu ruangannya. Serena melangkah masuk setelah mendengar Daniel berkata, “Ya. Masuk!” Sekejap saja Serena sudah ada di depan mejanya.             Seturut instruksi Daniel, Serena yang sudah terlampau hafal akan gaya dan keperluan sang Bos, mengangguk sigap dan berlalu dari ruangannya, dengan kunci mobil, keterangan jenis mobil, nomor polisi, dan alamatnya Stephanie, di tangannya. Semua dilakukannya kurang dari dua menit saja.             “Ren, jangan lupa sekalian bawa jas saya ke laundry ya,” pesan Daniel saat melewati kubikel Serena yang terletak berbatas selasar dengan ruangan kerjanya. Tepat bersebelahan dengan kubikel Endhita dan Meidy, dua Orang Personal assistant Daniel yang lainnya.             “Siap, Pak,” sahut Serena pula. Pasti, sebentar lagi, dia langsung mengambil jas yang tadi pagi dikenakan Daniel itu dengan tangkas.             Serena mengangguk kala tatap matanya tertaut dengan tatap mata Stephanie. * ^ *  Lucy  Liestiyo  * ^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD