Unpredictable Moments (2)

1537 Words
Daniel mengembuskan napas dengan amat perlahan. Dia tak mau membiarkan dirinya terlarut lebih dalam pada kenangan masa lalunya. Dia sadar, semuanya telah terjadi. Dan bahkan semuanya telah berlalu. Tidak ada yang perlu dilakukan lagi untuk mengubah apalagi menyesalinya. Satu saja yang perlu ia lakukan : Menerima apa yang telah terjadi! Faktanya, she is not meant for me, itu saja. Toh, yang terpenting, semua rasa penasaran dan pertanyaanku sudah terjawab dengan baik. Dan, yah, hubungan kami bertiga, Fei-bang Edo-[1]aku, baik-baik saja, sekarang ini, batin Daniel kemudian. Tetapi lain di pikiran, lain pula di hati. Dan sebaliknya. Buktinya, dia masih saja mengait-ngaitkan Gadis di hadapannya dengan Satu Cewek lainnya. Ya, Daniel lantas menimbang lagi, adakah Stephanie ini mirip dengan Inge? Dia segera sadar, itu salah besar. Tak perlu berpikir keras sampai dahinya harus berkerut saja, dia sudah tahu pasti bahwa Si Nona super dominan itu bukannya tegas, tapi lebih sering semena-mena dan posesif. Dan soal apa adanya? Oh, please, tentu tidak! So, buat apa pula dia memanding-bandingkan Stephanie ini dengan dua Wanita paling spesial, yang pernah hadir di dalam hidupnya itu? Faktanya yaitu, Stephanie datang kemari mau menjual mesin bordir, that’s all! Untuk apa pula Daniel repot-repot membandingkan Stephanie dengan Ferlita maupun Inge, kan?             “Hai Steph. Perkenalkan, saya Daniel. Nice to meet you, Steph. Saya panggil Steph saja, ya?” pinta Daniel spontan. Suaranya begitu mantapdanpercaya diri.             Ah! ternyata Seorang Daniel Mecello Sanjaya itu masiih, saja dengan kebiasaannya kalau ketemu Cewek yang mencubit hatinya. Mencubit secara lembut dan sedikit manja, dengan dua ujung jari, tepatnya. Sama, kan, ke Ferlita juga begitu, dulu. Baru saja kenal, tanpa meminta ijin, Daniel langsung memanggilnya Fei.             “Boleh, silakan saja, Pak Daniel,” sahut Gadis itu tanpa beban. Meski satu dua detik, Daniel sempat melihat Stephanie tersipu, mendengar permintaannya, yang sok akrab memanggil Steph. Lantas dengan gerakan tangannya, Daniel mempersilakan Stephanie duduk di sebelah Pak Adji.             “Soal di parkiran, saya juga minta maaf ya Steph. Waktu itu saya hampir terlambat menghadiri meeting di luar kantor soalnya,” kata Daniel akrab, dan sungguh dari hati. Aneh, dia merasa amat lega usai mengatakan hal ini.             Sebaliknya, Pak Adji agak terusik.             Pak Adji langsung memandang mereka berdua bergantian. Tindakan spontan yang tak sempat dicegahnya sendiri, walau terkesan sedikit kurang etis. Masalahnya, ini menyangkut Bosnya! Dan urusan pribadi Sang Bos! Untung saja Daniel tahu, pastinya Pak Adji bertanya-tanya dalam diam, apa yang sebenarnya terjadi, tetapi merasa tak pantas untuk menanyakan secara lisan kepadanya. Nah, dari pada salah sangka, Daniel berpikir, sebaiknya diungkapkan saja sekarang.             “Jadi begini Pak Adji. Waktu itu saya nggak sengaja menabrak Steph, sampai semua berkas yang dia bawa berserakan semua. Saya sudah bantu buat mungutin berkasnya dan minta maaf, tetapi waktu itu Steph kelihatan kesal,” terang Daniel sembari mengulum senyum, teringat kejadian tersebut.             “Parahnya, saya spontan berkata ketus ke Pak Daniel. Sekali lagi, saya minta maaf ya, Pak,” sambung Stephanie, membuat Pak Adji mesem kecil.             Daniel mengibaskan tangan dan berkata, “Sudahlah, sama-sama salah kok. Just leave it. Karena saya harus ke pabrik dalam waktu sekitar empat puluh menit ke depan, boleh saya ajukan beberapa pertanyaan mengenai dua jenis mesin yang ditawarkan ke perusahaan kami?”             “Tentu,” sahut Stephanie penuh percaya diri, diiringi gerakan lincah tangannya mengeluarkan laptop, menyalakannya seraya mengangsurkan dua buah brosur pada Daniel. Gerakan multi tasking yang sama sekali tak terkesan mau pamer aksi. Segalamya tampak natural saja.             Presentasi terjeda ketika Serena masuk, membawakan minuman dingin serta cookies bagi mereka bertiga, yang diletakkannya di meja Daniel yang besar. Stephanie menerka-nerka, barangkali itu merupakan Standard Operating Procedure jika ada tamu untuk Sang Direktur Operasional, yang mengantarkan minuman bukan office girl seperti saat dirinya melakukan presentasi pertamanya di ruangan Pak Adji tempo hari.             “Silakan, Bu Stephanie,” kata Serena ramah, yang segera diangguki Stephanie.             “Terima kasih,”sahut Stephanie pula.             Serena tersenyum dan mengatakan, “Sama-sama.” Lantas, sekejap saja Stephanie sudah membahas data seputar spesifikasi lengkap, berupa ukuran, berat, cara kerja, output, daya tahan, ketersediaan suku cadang, layanan purna jual yang disediakan, hingga harga dan keunikan mesin bordir komputer yang diberi label Hao sampai membandingkannya dengan sejumlah kompetitornya. Stephanie bahkan menunjukkan pula sampel hasil bordir dan menyebut sejumlah Pelanggan yang telah memakai jenis mesin bordir komputer 12 kepala itu.  Runut, rinci, tetapi tidak bertele-tele.             Stephanie dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Daniel, dan membuat Daniel menaruh respek besar padanya. Apalagi kala dia memperkenalkan produk satunya, Jia, mesin bordir empat kepala yang dikatakannya segera merebut hati para Pelaku home industry. Sangat masuk akal, selain ukuran mesin bordir merk Jia yang lebih kecil, tidak makan tempat, harganya juga hanya 35% saja dari yang jenis 12 kepala.             “Stock kami sedang dalam pengiriman dari Shenzhen, Pak. Tapi Para Peminat mesin Jia sudah dapat memesannya sejak bulan ini,” terang Stephanie, yang menerbitkan rasa salut Daniel pada PT Sheng Li. Ya, Perusahaan itu cukup berani menyetok mesin dalam jumlah besar, sehingga Pelanggan tak perlu melakukan indent. Bukannya itu suatu bukti, kekuatan finansial Perusahaan tersebut cukup oke?             Daniel menimbang dalam diam. “Kelihatannya bisa dicoba untuk produk retail,” saat menimang dan memerhatikan sampel dari hasil bordiran di tangannya, gagasan yang singgah di kepala Daniel, terucap spontan. “Bisa dipertimbangkan, itu, Pak. Bagian Pemasaran berpendapat, kita bisa mencoba beberapa unit mesin mereka sebagai permulaan. Sementara bagian Produksi bilang, agak beresiko untuk memproduksi job order yang sudah ada. Maka untuk jalan tengahnya, memang sebaiknya diterapkan ke produk retail, sekiranya cocok,” komentar Pak Adji memperkuat gagasan Daniel. Sepertinya Pak Adjie berpikir bahwa itu merupakan solusi cerdas, mengingat perputaran uang dari produk retail juga lebih lambat dibandingkan pesanan yang sudah ada. Karenanya, menekan anggaran Capital Expenditure atau pembelian Fixed Asset adalah langkah yang perlu dipertimbangkan. Walau tentu saja, tidak bisa sembarangan dan hanya berpatokan dengan harga yang lebih rendah saja. Daniel manggut-manggut.             Sekilas Pak Adji bertanya jenis mesin pendahulu Hao dan Jia, yakni Huan, Yuan serta Jiao kepada Stephanie. Persis sebagaimana perkiraannya, Stephanie menjawab lugas bak hafalan, tanpa melihat ke layar laptopnya. Gadis itu berbicara bagaikan bercerita tentang makanan sehari-hari saja. Kuat sekali kesan yang tersirat, setiap kali Stephanie menyebut keunggulan mesinnya, dia mengaitkannya dengan kebutuhan pabrik Daniel. Lagi-lagi ini menjadikan Stephanie memiliki nilai tambah di mata Daniel. Yup, itu dia bedanya Seseorang yang niatnya hanya ingin menjual, dengan mereka yang juga ingin memperluas networking. Orang yang niatnya ingin menjual, mana mau peduli apakah produk yang ditawarkannya menjawab kebutuhan Calon Konsumennya? Prinsip ‘yang penting laku’ saja yang ada di kepala mereka. Dalam hal ini, jelas Stephanie masuk ke dalam golongan kedua. Dia pasti telah melakukan riset secukupnya sebelum memasukkan proposal ke perusahaan milik Daniel.             “Steph, sudah lama ya bekerja di Sheng Li Industries?” tanpa direncana, pertanyaan ini yang keluar dari mulut Daniel. Memang agak melenceng dari konteks pembicaraan yang tengah berlangsung. Herannya, Stephanie tidak menampilkan gelagat terganggu. Seolah itu pertanyaan yang biasa saja, dikaitkan dengan posisinya sebagai Tenaga Marketing. Dan jika dihubung-hubungkan, ya bisa saja ada kaitannya dengan rasa percaya diri Calon Konsumen untuk memutuskan jadi membeli atau tidak.             “Hampir delapan bulan, Pak Daniel. Sebelum Hao dan Jia dijual di Indonesia, saya yang bertanggung jawab atas penjualan dua jenis mesin pendahulunya, Jiao dan Huan yang waktu itu baru masuk. Syukurlah, mesin-mesin tersebut sekarang kian mendapat tempat di hati pelanggan. Tinggal di-maintain oleh Kolega saya yang lainnya. Menjelang Hao dan Jia masuk, saya yang bertanggung jawab untuk memperkenalkannya kepada Para Pelanggan, sampai sekarang. Mungkin hingga nanti ada keluaran merk terbaru lagi,” urai Stpehanie lancar, memancing decak kagum Daniel.             “Ck Ck Ck! Pasti kamu Best Marketing-nya Sheng Li Industries, ya?” tanya Daniel, disambut senyuman kecil Stephanie, yang diartikan oleh Daniel sebagai komentar : anda benar! Iyalah, uraiannya barusan sudah lebih dari sebuah penegasan, bahwa dirinya adalah bagian menebas hutan belantara, alias Si Pembuka jalan. Rasa nyaman melanda Daniel saat menyebut Stephanie dengan ‘kamu’.             Sejauh ini, hasil meeting dadakan mereka bertiga sangat positif. Penawaran Stephanie sudah menuju... 92% disetujui! Dan 8%nya, diserahkan ke pak Adji untuk diskusi akhir dengan bagian Keuangan dan Produksi. Lebih ke urusan cashflow serta tingkat urgensi jumlah mesin yang dibutuhkan saja. Pak Adjilah, yang berwenang untuk mengabari pada Stephanie secepatnya mengenai keputusan finalnya. “Menurut Pak Adjie, Steph mau survey ke pabrik, tapi belum kesampaian, ya? Bagaimana kalau hari ini saja?” Tahu-tahu, Daniel mengundang Stephanie untuk turut serta melihat pabrik di Tangerang. Mendadak sekali, membuat Stephanie terdiam. Daniel mengamati, adakah perubahan ekspresi di wajah Stephanie. Tak urung, prasangka buruk hinggap di pikirannya. Pemikiran yang negatif. Ha ha ha! Pasti dia dilema tuh! Di satu sisi, itu artinya celah bagus buat, untuk... hm, menawarkan yang lain-lainnya lagi, toh ke Perusahaanku? Di sisi lainnya, ah, aku juga pernah lah, berada di posisi dia.  Aku yakin, saat ini, baik dirinya memang ada jadwal atau tidak setelah dari sini, tentu diamnya itu semata buat mencari alasan supaya terlihat ‘sibuk’, ‘banyak agenda’, dan ‘nggak gampangan’. Biar secara tak langsung bisa menaikkan value-nya. Halah, namanya juga orang Marketing! Sok jual mahal biar terkesan lebih berkelas!  Cemooh Daniel dalam hati.             * $ $  Lucy Liestiyo  $ $ [1] LL : Daniel terbiasa memanggil Fei kepada Ferlita, Edo pada Edward, dan memanggil Romeo dengan Romi
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD