Ryan mencolek lengan Ardi .
“Apa, Ryan?” tanya Ardi sembari menoleh.
Melebihi sebuah jawaban, Ryan menyodorkan gawai di tangannya kepada Ardi.
Ryan berdecak gemas.
“Nih. Kak Ardi lihat sendiri saja deh. Nggak sanggup aku buat kasih komentar.”
Usai menyodorkan gawainya kepada Ardi, Ryan melangkah mendekati Bi Sum.
“Sudah dicek semua kan, Bi Sum? Nggak ada yang ketinggalan satu pun?” tanya Ryan pada Bi Sum yang membereskan semua barang Stephanie di saat Ardi membaca dengan serius apa yang tertera di layar gawai Ryan.
Pertanyaan Ryan beroleh anggukan mantap dari Bi Sum.
Ardi meneruskan membaca.
Tadi itu sejatinya dia sempat ingin berkomentar seperti ini, “Ryan, Ryan, semenjak kapan kamu doyan membaca berita gosip begini?”
Namun demi melihat apa yang tertulis di sana, semua komentar yang hendak dia lontarkan itu tertelan sempurna. Yang ada, wajahnya malah kian serius.
“Berita apa sih, Kak?” tanya Stephanie penasaran.
Ardi menggeleng tanpa menghentikan apa yang dia baca. Dia bahkan mengklik pula sejumlah berta serupa.
“Non, pokoknya nanti Non Steph nggak boleh kerja dulu ya. Non harus istirahat. Bibik tidur di ruang tamu paviliun saja deh Non, supaya dekat sama Non Steph. Mas Ryan biar di kamar satunya. Jadi kalau Non Steph perlu apa-apa, tinggal panggil Bibik.”
“Nggak usah, Bi Sum. Saya sudah sehat. Sakit kepalanya sudah berkurang jauh. Kak Ardi bilang, hasil pemeriksaan juga sudah keluar semua dan hasilnya baik, kan? Enggak ada yang perlu dikhawatirkan. Cuma..,” Stephanie menggantung kalimatnya.
Ryan terusik.
“Cuma apa?”
“Enggak,” sahut Stephanie cepat.
Cuma hatiku masih gelisah memikirkan Daniel. Aku yakin kalian semua menghalangi dia untuk menemui atau sekadar menghubungiku. Kalian tega. Padahal Daniel itu terluka karena melindungi aku, sahut Stephanie. Tentu saja di dalam hati.
Ryan sepertinya mengerti arah pemikiran Stephanie. Dia mendekat dan membisiki Stephanie.
“Kamu masih mengkhawatirkan Daniel? Tenang. Secara fisik, dia baik-baik saja. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan sebagai informasi, dia berhasil mengalahkan sedikit kesombongan Kak Bobby-mu. Dia yang akhirnya membayari semua biaya perawatanmu. Bahkan masih ada sisa depositnya waktu tadi aku check untuk membereskan semua administrasi sebelum kamu diijinkan pulang dan menjalani rawat jalan saja. Hanya saja, dia masih harus berjuang dan membersihkan namanya, terutama masa lalunya. Dia harus membuktikan bahwa dirinya layak untuk berada di sampingmu. Jadi kalau dia belum bisa melakukannya, sorry saja, aku terpaksa sepakat dengan Kak Ardi dan ... Kak Bobby. Kami nggak akan membiarkan dia mendekatimu. Sudah, sekarang kamu fokus penuh sama masa pemulihan kesehatanmu, itu saja dulu.”
Stephanie tercengang.
“Daniel yang membayari? Ganti, Ryan! Ganti semuanya. Aku..., bahkan dompet dan kartu kreditku masih ada di tempatnya.”
“Ssst. Sudah. Itu akan menjadi urusanku. Kamu tenang saja. Posisiku netral. Tergantung Siapa yang benar. Ingat, kamu sembuh dulu. Nggak usah mikirin yang lainnya.”
“Nggak bisa begitu, Ryan!”
Ryan bersedekap dan berkata lirih, “Kamu nggak suka, aku menemani kamu di paviliun? Atau sebaiknya aku menghilang seperti beberapa waktu lalu saja ya?”
Stephanie mendengkus.
“Nggak lucu.”
“Makanya. Tolong dengar aku sekali ini.”
Stephanie mengerling kesal.
Sesuai kesepakatan bersama, hari ini memang Bobby mengalah, tidak menampakkan batang hidungnya di rumah sakit. Dengan berat hati dia terpaksa mengakui, rasa kesal Stephanie kepadanya masih belum tuntas. Dan itu tidak baik untuk kesehatan Stephanie. Dan atas permintaan Stephanie yang tak ingin membebani Cleo serta Ardi, dia tetap gigih untuk kembali ke kediamannya sendiri. Pada akhirnya diambil jalan tengah, yakni Bobby dan Ardi menyuruh Ryan untuk menemani Stephanie. Malah dengan sedikit sinis dan curiga, Bobby masih menyindir, “Asal jangan memberi celah untuk ketemu dengan Si Putra Mahkota clan Sanjaya dulu,” seolah Ryan tidak dapat dipercaya.
Hampir saja Ryan balas menyindir, jika saja gelengan tegas Ardi pada kedua Saudaranya itu tidak mereka hiraukan.
Ardi yang sudah usai membaca sekian banyak berita tentang Daniel bertanya-tanya dalam hati.
Apa maksud tindakan ibunya Inge ini? Apa yang telah terjadi? Bisa-bisanya dia mengambil resiko untuk mempermalukan dirinya sendiri juga dengan membuat sekian banyak postingan berisi galeri foto kenangan ketika Daniel dan Inge masih bersama? Juga foto-foto pertunangan mereka dulu? Bukannya dua hari lalu aku melihat secara langsung dia begitu akrab dan sayang sama Daniel? Lalu setelahnya, ada pertengkaran apa? Mengapa sekarang dia me-mention akun Daniel dan juga... ini apa? Oh My God, dia me-mention pula akun media sosial Pak Agustin? Padahal di sini jelas ditulis, tidak ada reaksi apa pun dari kedua akun media sosial yang disebut oleh Bu Chelsea? Pikir Ardi bingung kala melihat beberapa postingan dari Bu Chelsea yang telah di-screen shot oleh sejumlah akun gosip.
Ardi menatap ke arah Stephanie sesaat, dan berpikir keras.
Daniel ini benar-benar nggak bisa dipercaya. Jelas sekali dua hari lalu aku sudah begitu yakin, dia dengan Mantan Tunangannya itu masih ada hubungan. Dan sekarang, mendadak Bu Chelsea ngamuk-ngamuk begini, mencaci maki Daniel? Ini khas Ibu yang melindungi Anaknya. Ibu yang sedang berada di puncak emosinya karena Anaknya dipermainkan, lebih dari satu kali. Sampai-sampai dia lupa, itu sama saja membuka aib Keluarganya sendiri, dan juga mencemarkan nama baik Keluarga orang lain. Kalau dia bisa melakukan ini pada Inge, dia sangat bisa melakukannya kepada Stephanie. Dia harus dijauhkan selamanya dari Stephanie, pikir Ardi lagi.
Baru membaca sebagian berita yang hanya berdasarkan postingan dari Seorang Bu Chelsea ditambah dengan opini Sang Penulis saja, Ardi sudah gelisah. Apalagi jika dia meneruskan membaca secara keseluruhan, yang mungkin saja juga belum dilakukan oleh Ryan.
Ardi segera menetik pesan teks untuk Istrinya.
To : Cleo – My Love
Cleo, tolong minta Asisten Rumah Tangga untuk menyiapkan kamar dua. Buat Steph dan Ryan. Mereka akan tinggal di rumah kita untuk sementara waktu. Sebentar lagi kami semua meluncur ke rumah.
Telepon genggam Cleo rupanya berada tidak jauh dari jangkauannya. Alih-alih menjawab pesan teks dari Suaminya, dia langsung menghubungi Suaminya.
Ardi menghela napas sebelum menjawab panggilan telepon dari Cleo.
“Ya, Cleo.”
“Di, itu benar? Wah, aku senang sekali. Tenang saja, nggak perlu disiapkan. Kan memang dari kemarin rencana awalnya begitu. Kamarnya sudah dibersihkan kok. Tinggal pasang sprei dan bed cover. Ini, langsung dikerjakan sekarang. Sekalian aku suruh masak agak banyakan. Tapi semuanya baik-baik saja kan, Di?” tanya Cleo melalui telepon.
“Ya, semua baik-baik. Ada perubahan rencana. Sampai nanti di rumah. Bye.”
Lantaran suasana begitu hening, ucapan Ardi terdengar oleh semua di kamar perawatan Stephanie.
Mata Stephanie membulat dan tak menunda lagi untuk bertanya, “Rencana apa yang berubah, Kak?”
“Nanti kamu tahu.”
Lalu pandangan mata Ardi tertuju kepada Ryan dan Bi Sum.
“Sudah beres semuanya?”
Ryan dan Bi Sum mengangguk serentak.
“Steph, kamu perlu kursi roda atau cukup dituntun saja? Atau mau aku gendong?” tanya Ardi.
Stephanie tertawa kecil.
“Aku jalan saja. Kak Ardi parkir di mana?”
Ardi mengabaikan pertanyaan Stephanie dan balik bertanya, “Kamu yakin, kamu kuat? Kalau begitu, aku ambil mobil sekarang. Kita ketemu di lobby utama, ya. Ryan, kamu tuntun Steph ya. Bi Sum, tolong bawa barang-barangnya Steph.”
Ryan mengacungkan jempol sementara Bi Sum mengangguk mantap.
Stephanie mengedikkan bahu.
Ardi langsung beranjak dari kamar tersebut. Seolah mengejar waktu, dia berjalan cepat demi memastikan dia dapat segera mengambil mobil di parkiran rumah sakit dan tiba lebih dahulu di lobby sebelum yang lainnya.
*
Tanya tak terucap yang ada di benak Stephanie akhirnya mencuat pula kala mereka berada di perjalanan.
“Lho, lho, lho, Kak Ardi? Ini kok jalannya lewat sini? Kita mau ke Pejaten dulu? Nggak langsung ke Setia Budi?” tanya Stephanie.
“Memang kita mau ke Pejaten.”
“Oooh, mau nengok Kak Cleo dulu?” tanya Stephanie santai.
Ardi menggeleng.
“Nggak. Buat sementara kamu dan Ryan tinggal di sana. Selamanya juga boleh.”
Stephanie bagai tersengat lebah.
“Apa-apaan sih Kak? Kan kita sudah setuju aku tinggal di Setia Budi? Aku nggak mau merepotkan Kak Cleo. Kak Cleo kan lagi hamil. Nanti kalau aku di sana, pasti Kak Cleo repot mengurus ini itu keperluanku. Pasti Kak Cleo jadi ribet deh.”
“Nggak ada yang repot. Sudah, yang penting kamu lekas sembuh dan kami juga tenang.”
Ardi menatap ke arah kaca spion tengah.
“Bi Sum kalau mau menginap di rumah juga boleh Bi. Temani Steph.”
“Oh, baik Mas Ardi.”
Hingga mereka tiba di rumah Ardi pun, Stephanie masih berusaha untuk tidak berpikir negatif. Bahkan sampai dirinya diantarkan ke kamar yang telah dipersiapkan untuknya dan disuruh untuk beristirahat.
Tapi tidak, ketika dia yang tak dapat memejamkan mata, keluar dari kamar dan melangkah menuju ke ruang tengah. Sayup-sayup dia mendengar percakapan antara Ardi, Cleo dan Ryan.
“Jadi, Kak Bobby tahu Steph di sini, Di? Tanggapannya bagaimana?” tanya Cleo.
“Aku sudah kasih tahu tadi. Dia makin lega. Karena dia juga nggak percaya Daniel akan memegang perkataannya. Dia takut Daniel masih akan mendapt celah untuk menemui Steph kalau Steph kembali ke Setia Budi.”
“Diperjelas Kak, Kakaknya Kak Ardi itu nggak percaya sama aku. Iya, kan?” potong Ryan tersinggung.
“Ryan, nggak usah sensitif begitu. Lagi pula, kamu juga setuju kan Steph di sini saja?” kata Ardi sabar.
“Sangat. Apalagi setelah mendengar cerita dari keakraban Daniel, Bu Chelsea dan Siapa itu, Mantan Tunangannya, di rumah sakit? Inge bukan namanya? Wah..., itu sudah lebih dari satu bukti bahwa mereka berdua masih berhubungan satu sama lain,” timpal Ryan.
Stephanie menghentikan langkahnya, namun menajamkan telinganya.
“Kak Ardi yang cerita? Kak Ardi itu nggak bohong. Daniel ketemu sama Inge dan Ibunya? Jadi ini alasan dia nggak berusaha untuk menemuiku? Secetek itu perasaan Daniel ke aku? Atau jangan-jangan, aku yang terlalu berharap sama dia?” gumam Stephanie pelan, dalam ragu.
Kok kamu mudah sekali berubah, Dan? Jadi sebenarnya bagaimana posisi aku di hati kamu? What am I to you, actually? Aku ingat sekali, sebelum Kak Bobby datang, kita sama-sama sudah berjanji untuk saling percaya. Aku sendiri yang mendorongmu menyelesaikan urusan dan sangkut pautmu dengan Inge. Tapi bukan dengan jalan berakrab ria dengan keluarganya juga, Dan. Kalau begitu caranya, mana pernah akan selesai hubungan kalian berdua? Tanya Stephanie dalam hati.
“Nggak nyangka, Daniel menjadikan Saudaranya kita sebagai cadangan. Ck! Ck! Ck!” geram Ryan.
Telinga Stephanie memanas mendengarnya.
Cadangan? Alangkah menyakitkannya kata satu itu.
Hati Stephanie ingin menjerit rasanya.
Hatinya yang panas, segera memberikan reaksi buruk pada tubuhnya. Kepalanya terasa pusing lagi.
Enggak. Aku nggak boleh berlama-lama sakit dan istirahat. Aku justru harus segera masuk kerja lagi. Aku harus buktikan, aku ini Stephanie. Aku Anaknya Tristan Benedict Prasaja dan Gabby Aleyzha Sasmita. Aku nggak rela diriku dijadikan mainan. Dan, aku nggak nyangka kamu sejahat itu. Jadi ternyata hati kamu selemah itu? Saat bersama dengan aku, kamu katakan akan memperjuangkan hubungan kita dan menghadapi apa pun bersama. Tetapi ternyata, kamu masih bisa seakrab itu dengan keluarga dari Inge. Semudah itu kamu berubah sikap. Katamu, kamu akan bicara tentang perlakuan Inge kepadaku. Apa kamu lupa Dan, dia mencerca aku, mengumpat dan melontarkan kata-kata kasar? Oh! Jelas sudah. Itu jawaban mengapa kamu nggak berusaha menemui aku. Padahal aku merasa sangat khawatir dengan keadaanmu. Aku memikirkanmu walau aku sendiri dalam keadaan sakit. Aku memikirkan kamu, Dan! Sementara kamu, berakrab ria dan mungkin bernostalgia dengan Inge? Segenap pertanyaan menghingapi kepala Stephanie.
Enggan membiarkan kekecewaan merasuki perasaannya lebih dalam lagi, Stephanie memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Dia tak sanggup untuk mendengar kelanjutannya.
“Pantas saja Kak Ardi begitu ngotot untuk mengajakku kemari. Kalau karna alasan yang receh atau sebelm aku tahu alasan pastinya, aku bakal marah dan menentang. Tapi aku pikir, tindakan Kak Ardi tepat. Biar saja, seandainya Daniel nekad ke rumah Setia Budi, dia bakal kecela. Tetapi lagi pula, apa dia masih terpikir untuk melangkahkan kaki ke sana? Barangkali dia malah sudah nyaman sekarang, berada di pelukan Mantan Tunangannya yang kelakuannya supre ganjil itu. Barangkali saking dipeluk erat, Daniel juga sudah nggak bisa bergerak sedikit pun. Biar saja,” gumam Stephanie lirih setibanya dia di kamar.
Rasa sedih, sesal dan kecewa menyesaki benak Stephanie. Dan karena semakin lama dirasa semakin membuat kepalanya sakit, Stephanie berjuang keras untuk menindas semua perasaan negatif itu. Dia berusaha keras untuk memejamkan mata.
“Tuhan, tolong aku. Tolong singkapkan semua yang terselubung dan tunjukkan jalan mana yang harus aku tempuh,” kata Stephanie lirih, di ujung rasa gelisahnya.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $