Beberapa detik seteahnya Stephanie bersandar pada dinding kamar.
“Tuhan, kalau memakai hukum sebab akibat, Papa itu adalah penyebab. Sikapku sekadar akibat. Papa itu subyek, sementara aku si obyek penderita. Atau.. adakah perspektif berbeda? Beri aku petunjuk Tuhan. Tolong kasih tahu aku Tuhan, buat aku mengerti..,” keluh Stephanie lagi. Sibuk membela diri.
“Orang-orang bilang, Sosok Ayah ialah cinta pertama bagi Anak Perempuannya. Ayah merupakan standard dan panutan yang nggak bisa ditawar bagi Seorang anak perempuan dalam mencari Pasangan hidup kelak. Tapi kalau model Ayahnya itu sejenis dengan Tristan Benedict Prasaja, ih, amit-amit! Ogah! Aku nggak mau, Tuhan!” sambat Stephanie setelahnya.
Ia sampai menggeleng-gelengkan wajahnya sekuat mungkin, bagaikan sedang menghalau bayangan buruk di masa depan, bahwa Pasangan Hidupnya kelak akan mirip dengan Sang Papa, baik sikap maupun tampilan fisiknya.
“Nggak mau! Aku nggak mau!” desis Stephanie pula. Tampak betapa Gadis itu bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya.
Adapun pertanyaan mendasar tentang apa salahnya kepada sang Papa, tak pernah terjawab oleh Stephanie hingga kini. Mengapa Papanya amat tega pada diri nya, tega dalam artian tidak memperlakukan dirinya dengan super manis sebagaimana mestinya perlakuan seorang Papa kepada Putri satu-satunya di rumah berlantai tiganya yang luas, megah dan asri itu. Rumah yang berpotensi membuat seorang Tamu tersesat, lantaran banyaknya ruangan yang ada. Hm, catat, ya, his only daughter!
....
Lamunan Stephanie terjeda pada kejap itu. Sebuah pemikiran hinggap di kepalanya.
Why should i care? It didn’t make any changes. The fact is, he has passed away, and there is no chance to fix anything, included our relationship, batin Stephanie yang mendadak merasa dadanya sesak.
Ya, dia tahu benar, ‘kebencian’ yang tampaknya sengaja diperlihatkan Sang Papa kepadanya, sama sekali bukan disebabkan otaknya biasa-biasa saja. Itu sangat keliru. Bisa marah besar Stephanie kalau ini dijadikan alasan oleh Sang Papa. Dia sangat ingat, kemampuannya mencerna penjelasan dari Guru walau sembari bersiul ke arah jendela, atau malah disambi bermain gawai sungguh membuat iri Teman-teman sekelasnya. Lantas apa? Ini juga jenis pertanyaan yang tak bisa dijawab olehnya. Faktanya, meski dia agak tomboy dan bicaranya sering sarkas pada Papanya, menurutnya, itu juga tak bisa dijadikan alasan kebencian mendarah daging dari sang Papa.
Ya, salahnya di mana coba? Seumur hidup di rumahnya, dia dikelilingi para Saudara lelaki. Sungguh wajar bila tindak-tanduk atau bahkan cara berpikir mereka lambat laun turut memengaruhinya, dan bukan sebaliknya. Cara Stephanie berpakaian, yang setiap hari mengenakan celana pendek dan tanktop tanpa lengan, juga, eh.. ngotot mau mengekor mereka pada jenis-jenis permainan yang mereka lakukan. Dari bermain futsal di dekat rumah, rutin memukuli samsak yang digantung dekat kamarnya di sore hari, hingga bermain basket dengan mereka, misalnya, menurutnya, tak perlulah, mengusik Papanya hingga sedemikian hebat.
Ya, itu bukan salahku, batin Stephanie, mengenang masa kecilnya sembari menggores sampul agenda di tangannya, dengan ujung kukunya. Kebiasaan buruknya bila mood-nya terganggu oleh kenangan masa kecilnya itu.
Apa daya, lagi-lagi dia terseret pada kenangan masa lalu.
...
Dari Sang Kakak tiri yang usianya terpaut sekitar sepuluh tahun di atasnya dan bernama Bobby Pratama Prasaja, dia ‘belajar’ beberapa kosa kata kasar untuk memaki, dan tak ragu menggebrak meja jika ada Orang yang berbuat tidak adil kepadannya. Dalam hal ini, s***h, Papanya sendiri.
“Kalau bukan kita yang membentengi diri kita sendiri, lalu siapa?” Quote Bobby yang didengar Stephanie sejak masih bocah itu, membekas, dan sepertinya patut dikenang oleh Stephanie buat selamanya. Di mata Stephanie, Bobby adalah orang paling blak-blakan dan rasional, yang pernah dikenalnya.
Sementara dari Kakak Angkatnya yakni Ardiyanto Mahardika Prasaja yang hanya empat setengah tahun lebih tua darinya dan biasa dipanggil Ardi, Stephanie belajar untuk tekun dan gigih dalam mempelajari sesuatu. Betul, Kakaknya yang satu ini, yang diadopsi sejak masih bayi dari sebuah panti asuhan di pinggiran ibukota, agak pendiam dan amat sangat patuh kepada Orang tua. Dan sejatinya, Ardi merupakan favoritnya Pak Tristan. No doubt. Cakep, pintar, rajin, penurut, sopan, kurang apa, coba? Oh, tak perlu diungkit soal status Ardi sebagai Anak angkat, ya! Tidak, Papa dan Mamanya sama sayangnya kepada semua Anaknya, kecuali ... hm, kepada Stephanie! Setidaknya, itu yang Stephanie alami dan rasakan. Dia merasa dianak tirikan di dalam keluarganya sendiri.
Stephanie tidak mengada-ada, kok. Dia punya banyak kisah pahit berkaitan dengan hubungannya dengan Sang Papa, yang disimpannya sendiri. Disimpan, ditumpuk, diakumulasikan dari waktu ke waktu, sehingga menjadi kian parah jua dari waktu ke waktu. Ibarat akar pahit, telah menyebar dan tertanam dengan begitu kuatnya.
Stephanie mempunyai Seorang Adik laki-laki, yang hadir ke dunia, kurang dari sebelas bulan setelah dirinya lahir. Namanya Fidelis Ryan Prasaja. Dia lebih ganteng dari Bobby. Dia juga humoris, energik, dan tentu saja, cerdas. Calon idola kaum hawa, lah, pokoknya! Dari Ryan, panggilan kesayangannya buat Sang Adik yang mengenalkannya pada sejumlah aktivitas di luar rumah ini, Stephanie bahkan bisa belajar tentang keseimbangan badan. Ah, dia tidak malu kok, untuk mengakuinya. Biarpun lebih muda darinya, Ryan memang jauh lebih jago darinya dalam mengayuh sepeda dan bermain skate board, semasa mereka masih bocah.
Yup, Ryan menularkan semangat ‘jangan takut terluka’ kepadanya. Tahu sendiri kan, untuk mahir mengendarai sepeda, juga berdiri mantap, meliuk, dan sesekali melompat di atas skate board itu, tak terhitung berapa banyak Seseorang harus jatuh, mengoleksi berbagai macam lecet, variasi cedera, jenis-jenis memar, dan beragam rasa sakit?
Nah, khusus bagi Stephanie, masih ada bonus spesial, yakni kemurkaan Papanya yang tak ragu mengurungnya di dalam kamar serta menyingkirkan semua benda yang dianggap berpotensi melukai Stephanie, sejauh-jauhnya. Ekspresi kemarahan di wajah Sang Papa jika memergoki Putri satu-satunya pulang ke rumah dengan jenis luka baru pada tangan, kaki, dan pernah juga, di pipi, sangat kentara. Di mata Stephanie, ekspresi wajah Sang Papa seperti harimau yang hendak menerkam karena sedang asyik tidur tetapi ekornya diinjak keras olehnya.
Dan setiap kali itu terjadi, Stephanie sampai bingung mengapa seorang Papa bukannya cemas dan gelisah, melihatnya pulang dalam keadaan demikian? Alih-alih segera membersihkan dan mengobati lecet serta lukanya sebagaimana dilakukan Mamanya, Papanya malah menghardik, “Cukup, Stephanie! Kamu ini Anak perempuan, cari jenis permainan yang lebih aman! Apa gunanya dibelikan banyak mainan di kamarmu?”
Dan bagaimana nasib Ryan, ‘Si Provokator’ yang menyebabkan dirinya berkenalan dan bahkan enjoy dengan berbagai kegiatan di ruang terbuka itu? Ah, paling-paling dia ditegur sebentar oleh Sang Papa, diperingati agar tidak mengajak Stephanie bermain ‘yang berbahaya’ lagi, dihukum tidak diberi uang saku beberapa hari, lalu semua normal kembali.
“Enak ya, jadi anak laki-laki! Anak lelakinya Pak Tristan, maksudku,” kata Stephanie sinis, membuat Mamanya menatap sedih sambil menggelengkan kepala. Gerakan tangan Sang Mama yang sedang mengobati luka-luka di kaki Stephanie sambil meniupinya sontak terhenti.
...
“Silakan diminum, Bu, sambil menunggu,” suara Pratiwi yang menaruh sebotol air mineral pada meja di sampingnya, menjeda lamunannya lagi.
“Oh, terima kasih,” ucap Stephanie, yang segera diangguki Pratiwi.
“Sama-sama, Bu Stephanie,” sahut Pratiwi.
Lamunan Stephanie berlanjut setelah dia meneguk air kemasan itu.
^ * Lucy Liestiyo * ^