Suatu siang di kantor PT Sheng Li Industries, hampir setahun yang lampau...
“Ibu Stephanie kan, ya? Mau ketemu sama Pak Alvin Hadibrata? Ditunggu sebentr ya Bu. Pak Alvin sedang on the line sama orang dari head quarter. Baru semenit lalu saya sambungkan,” sapa Receptionist berliptick pink, yang rupanya masih mengenali wajah Stephanie.
Minggu lalu, bersama sejumlah kandidat lainnya, Stephanie memang menghadiri wawancara awal dengan kepala bagian Recruitment dan Human Resources Department, serta melalui semua jenis test masuk serta persyaratan formal lain bagi bakal pegawai di Sheng Li Industries Group cabang Jakarta ini.
Dari caranya menyapa, Stephanie menduga bahwa Sang Receptionist tentu telah dititipi pesan oleh Pak Alvin, calon User yang akan meng-interview dirinya hari ini. Jadwalnya masih 15 menit mendatang. Hanya saja, dia memang tiba lebih awal lantaran jalanan cukup bersahabat menjelang pukul dua siang ini.
“Iya, Mbak Pratiwi,” sahut Stephanie, membalas senyum ramah Sang Receptionist. Sengaja Stephanie menyebut nama Receptionist itu, usai menatap name tag yang dikalungkan pada leher Sang Receptionist. Sesuai prediksi Stephanie, wajah Gadis di depannya berseri, saat mempersilakan dirinya untuk duduk di sofa. Stephanie baru saja membuktikan bahwa teori umum itu masih relevan. Ya, siapa sih, yang tidak suka dipanggil dengan namanya? Mendengar nama sendiri dilafalkan orang, konon merupakan suara termerdu bagi telinga siapapun.
Sama halnya dengan dirinya, yang bernama lengkap Stephanie Griselda Sasmita. Dia tahu benar makna yang terkandung di dalamnya, yakni, senyum penuh arti dari Gadis gigih yang diberkati oleh Tuhan. Yup, itu namanya. Err.., sebetulnya bukan juga, sih. Eh, tak perlu mengerutkan kening begitu!
Nama lahirnya itu, sebenarnya Stephanie Griselda Prasaja. Tepatnya, Prasaja merupakan nama fam dari mendiang Papanya, yang berpulang ke rumah Tuhan sekitar empat tahun silam. Namun disebabkan hubungan yang amat berjarak, cenderung kurang baik antara dirinya dengan Sang Papa semasa masih hidup (apalagi setelah papanya meninggal dunia), tak urung membuat Stephanie kerap berpikir, jangan-jangan mereka berdua berasal dari kutub yang sama, dengan daya tolak super besar satu sama lain.
Tatkala sang Papa masih hidup pun, Stephanie sudah terang-terangan menantang, agar diperbolehkan mengganti nama belakangnya menjadi Sasmita, mengikuti nama dari mendiang Mamanya, Gabby Aleyzha Sasmita. You know what? Sementara Mamanya saat itu memandang Stephanie dengan wajah pucat pasi dan siap-siap pasang badan untuk melindungi Sang Putri dari kemungkinan amukan Seorang Papa pada Putrinya, sekaligus berusaha memosisikan diri di antara Stephanie dan Orang yang secara biologis serta sesuai semua dokumen legal harus dipanggilnya Papa itu, mendiang Papanya malahan bersikap di luar dugaan.
Stephanie menelan ludah kala mengingat kejadian di masa lampau itu.
...
“Oke, itu maumu? Bagus! Kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau. Orangnya Papa akan mengurus semua dokumen yang diperlukan untuk pengesahan pergantian namamu. Nggak akan lama, hari ini juga,” kata Papanya dengan wajah merah padam serta tatapan setajam belati ke bola mata Stephanie.
Stephanie tak bereaksi, tidak merasa terintimidasi.
Hm, so what? Nggak ada yang dirugikan, toh? Now, everybody is happy. Ini yang dibilang half way. Win-win solution yang tepat dan akurat. Standing applaus untuk kecerdasan otak Seorang Stephanie! pikir Stephanie seenaknya,
Dia tidak kaget. Tidak juga merasa lega atau kecewa. Pikirnya, mengapa harus kecewa? Kan, dia sendiriri juga sudah tahu bahwa dirinya tidak berarti apa-apa, di mata Sang Papa? Karenanya, Stephanie membalas tatapan mata sang Papa dengan sorot mata melecehkan. Bentuk kekurang ajaran yang sangat tidak patut untuk dicontoh oleh siapapun juga. Bayangkan, Seorang Anak kepada Orang tuanya! Serius, bsa kualat, nanti kalau ada Seorang Anak yang melakukan apa yang diperbuat Stephanie ini!
Lantas, Stephanie mengangkat bahu tak peduli. Ia berbalik badan, bergegas meninggalkan kedua Orang tuanya di ruang keluarga mereka yang luas, sejuk, dipenuhi furnitur kelas satu dan senantiasa dipenuhi aroma bunga segar kesukaan Sang Mama.
Ironisnya, ruang keluarga itu selalu sukses menaburkan aura sesak di d**a Stephanie. Apalagi, jika tatapnya terbentur pada lukisan keluarga di dinding. Uf, Stephanie yakin berat, hanya pakar mikro ekspresi yang sanggup menerjemahkan apa arti senyum dan kekompakkan ala ‘keluarga Cemara’ di sana. Khususnya, akting seorang Stephanie! Bila ada pencari bakat yang lewat, dia optimis, dirinya bakal ditawari membintangi sinetron atau film televisi. Minimal, menjadi bintang iklan, lah!
Jangan buru-buru menuduh Stephanie narsis! Secara look, Stephanie lumayan, kok! Amat lumayan, malahan! Mamanya mungkin tidak mewariskan sikap lemah lembut, keluwesan, maupun cara bertutur yang halus padanya. Akan tetapi, setidaknya sejumlah ciri fisik sang Mama, menurun pada diri Stephanie. Rambut yang tebal, alis lebat bak semut beriring, mata bulat dengan manik coklat tua, hidung bangir, tulang pipi yang tinggi, dagu bak berbelah, serta kulit putih susunya, jelas fotocopy-an dari Sang Mama. Perkara posturtubuhnya yang tinggi sementara kedua Orang tuanya sedang-sedang saja, mungkin sifatnya bonus saja buat Seorang Stephanie. Selain gizi yang lebih baik karena taraf hidup Orang tuanya ketika Stephanie dilahirkan jauh lebih baik ketimbang taraf hidup Opa dan Oma dari kedua belah pihak, bisa jadi tergila-gilanya Stephanie dengan berbagai kegiatan fisik turut memengaruhi perbedaan tinggi badannya dengan Papa dan Mamanya.
“Pa, jangan ditanggapi secara serius begini. Jangan gegagah, Pa.Tahu sendiri kan, Steph itu suka asal bicara kalau mood-nya lagi jelek. Hari ini dia mendapat kabar bahwa dia gagal dalam test masuk ke Universitas idamannya. Memang, dia diterima di dua Universitas yang lainnya. Tapi masaahnya, itu kan pilihan nomor dua dan tiga, buat Stephanie. Papa tolong sabar, ya,” sayup-sayup didengarnya suara lembut yang menenangkan, dari Wanita yang melahirkannya, membesarkannya, serta dianggapnya satu-satunya yang mengasihi dirinya dengan kasih tulus dan tak terhingga di rumahnya. Suara yang ditujukan kepada Pak Tristan Benedict Prasaja, Sang Kepala Keluarga di rumah itu. Hati Stephanie tersentuh dibuatnya.
“See? Itu karena Mama selalu membelanya! Itu membuat dia jadi besar kepala. Dia itu, sungguh nggak bisa dibanggakan. Otaknya biasa saja, beda kalau dibandingkan sama Saudara-saudaranya yang lain. Dan mentang-mentang dia satu-satunya Anak Perempuan di rumah ini, lalu mau jadi pusat perhatian? Minta diperlakukan berbeda, diistimewakan? Huh! Dipikirnya, cuma dia yang punya hari buruk? Papa juga hari ini menemukan fraud yang dilakukan sama Kepala Cabang yang di Medan. Dan lebih buruk dari itu, jaringannya telanjur menggurita. Hampir semua anggota tim-nya melakukan hal yang sama!” sergahan Lelaki bernama Tristan Benedict Prasaja itu tidak hanya membuat telinga Stephanie terasa sakit, namun juga membuat hatinya kian mengeras rasanya. Dia yakin, semakin lama tinggal dengan Lelaki satu itu, hatinya bisa adu keras dengan batu cadas pada saatnya nanti!
Stephanie segera berlari menuju kamarnya, tempat perlindungan yang dianggapnya paling aman buat menumpahkan segenap emosi yang berdesakan di benaknya.
Kamar yang sudah bagai istananya, teritorinya, dunia kecilnya. Di situ, dia bebas mencurahkan segala rasa yang dimilikinya ke dalam tulisan-tulisan pada catatan pribadi, dalam folder yang dikunci dengan password yang hanya dia sendiri yang tahu. Dan pada saat-saat dia merasa itu tak cukup melegakan, maka dia pasti duduk bertelut di sudut kamar, dekat dengan meja belajarnya. Dengan menumpu kedua lutut pada bantal-bantal sofa yang empuk, dia bakal mengadu, tak jarang pula mengaduh, kepada Penciptanya. Ada kalanya Stephanie menyesali kelahirannya ke dunia ini. Di saat lainnya, dia justru terpacu hendak membuktikan diri bahwa dia ada dan dia sama, bahkan mungkin bisa lebih baik, dibandingkan dengan Saudara-saudaranya. Bentuk semangat membalas situasi yang dirasanya tak adil, melalui karya nyata, suatu hari kelak. Meski dia belum kunjung tahu, akan dinyatakan dalam wujud apa.
“Apa sih sebenarnya kesalahan besar yang pernah kuperbuat, sampai Papa terkesan tak menyukaiku begitu, Tuhan? Mau setengah mati setengah hidup kuiingat-ingat dan kugali kembali memori masa kecilku hingga sekarang, setahuku, aku tidak bersalah. Sikap Papa. Ya, sikap Papa yang acuh tak acuh padaku semenjak dulu, yang membuatku bertindak responsif. Memangnnya aku salah Tuhan, kalau aku sengaja mencari perhatian dengan melawan semua perkataannya, lalu setelahnya aku terang-terangan balas mengabaikan dirinya? Namanya juga membalas perlakuan yang nggak adil. Boleh kan Tuhan?” keluh Stephanie lirih sesampainya ia di dalam kamarnya.
^ * Lucy Liestiyo * ^