Deeper and Deeper...

1915 Words
Daniel mulai membaca surat tersebut. Kata demi kata yang tertera di sana. Kata yang dituliskan dengan sepenuh perasaan oleh Mending Pak Tristan.   Steph, suatu saat kamu akan tahu, Papa nggak pernah menganggap kamu dan hadirmu sebagai suatu kesalahan. Bukan salah kamu terlahir menjadi Anak Perempuan. Juga bukan salahmu kalau sejak dalam kandungan Mamamu pun, tidak sedikit perjuangan yang harus dilakukan oleh Mamamu untuk terus mempertahankanmu. Mama bahkan diminta untuk memilih antara kesehatannya yang notabene nyawanya, dengan kelangsungan kandungannya. Steph, maafkan Papa, kalau kamu merasa seolah Papa menolakmu, kurang berjuang buatmu, ketika Papa sempat mengucap agar Mamanmu lebih memilih kesehatannya. Saat itu, baru di awal kehamilan Mamamu dan Papa nggak sanggup melihat kondisi Mamamu sepayah itu. Papa benar-benar minta maaf, Sayang, kalau sikap Papa kemudian, semakin membuatmu merasa diabaikan. Papa nggak pernah tahu kalau kamu terluka sedalam itu, baik karena merasa tertolak ketika kamu masih dalam kandungan, sesaat setelah kamu dilahirkan, atau hari-hari setelahnya. Dan bila pemberontakan yang kamu lakukan dapat sedikit mengurangi rasa sakit hatimu pada Papa, Papa rela. Stephanie Griselda Prasaja (atau kalau kamu memang muak dipanggil dengan nama ini, baiklah, Papa mengalah untuk memangilmu Stephanie Griselda Sasmita), Papa ini Papamu. Papa tahu kamu berbeda dengan Ketiga SaudaraLlelakimu. Papa bisa merasakannya. Papa sudah banyak berdiskusi dengan Om Danny mengenai hal ini. Dan meskipun ada beberapa detail yang Papa lewatkan dari Mamamu, yang jelas Papa telah siapkan sesuatu hal untuk kamu. Papa tidak berharap itu akan membuatmu memaafkan sikap Papa sebelumnya. Namun setidaknya, Papa berharap, kelak hal itu dapat bermanfaat buatmu. I love so much my beloved Daughter. Promise me that you will always be A cheerful Stephanie, a happy Stephanie. Tristan Benedict Prasaja.   Daniel memasukkan kertas dan semua foto ke dalam kotak kembali. Dalam diam Daniel merenungkan apa yang dituliskan oleh Mendiang Papanya Stephanie. Aku paham kalau kamu sempat merasa tertolak, Steph. Sejak dari kandungan, begitu lahir, selama masa kecilmu, bahkan sampai dewasa pun, Papamu seolah enggan menunjukkan secara terang-terangan betapa Beliau mengasihimu sebesar itu. Tapi kamu nggak sepenuhnya salah kok. Kalau aku di posisimu, bisa jadi tindakanku lebih fatal,  batin Daniel sambil menggenggam erat telapak tangan Stephanie. Ketika dia melihat ada tetes bening yang bergulir di pipi Stephanie, dihapusnya dengan ujung jemarinya.    “Aku durhaka banget, Dan. Aku nggak pernah menyangka, Papa yang di mataku begitu keras, nggak pedulian, ternyata mempunyai hati yang selembut ini. Makanya, bukan hanya isi kotak ini yang membuatku shock sewaktu Om Danny memberikannya padaku, tetapi juga peninggalan Papa yang dititipkan ke Om Danny. Om Danny cerita, semasa Papa masih ada, Papa sempat menyampaikan keraguannya. Papa bilang, aku nggak mungkin akan mau memegang salah satu dari anak perusahaannya. Papa bilang, kalaupun mau, pasti karena aku ingin bersaing saja sama Ketiga Saudaraku, mau menunjukkan eksistensiku,” tutur Stephanie kemudian. “Lalu?” tanya Daniel.  “Itu, yang kamu dan mungkin orang bertanya-tanya, kan, mengapa aku enggan bekerja di perusahaan Papa. Sebagian menyangka karena aku sakit hati, lantaran nggak mendapatkan warisan satu sen pun. Saudara jauhku bahkan tega menggosipkanku, menuduh bahwa Papaku adalah orang tua paling lalim di dunia. Mereka turut menghasutku untuk memperoleh hakku. Kata mereka, Anak pungut saja mendapat bagian, masa yang Anak kandung nggak? Bahkan ada Teman dari Si Kerabat jauhku ini yang seenaknya melemparkan celetukan jahat. Katanya, jangan-jangan aku ini Anak hasil perselingkuhan Mamaku dengan Lelaki lain, makanya Papaku membalasakan sakit hatinya dengan tidak memberikan satu sen pun warisan buatku. Jahat dan keji kan Aku kesal mendengarnya. Rasanya saat itu aku ingin merobek mulut Orang itu. Aku nggak rela Papa dan Mamaku dikata-katai seperti itu. Tapi yang kemudian aku lakukan hanyalah berusaha mencegah agar hal ini tidak sampai ke telinga Mama, Kak Ardi dan Ryan,” urai Stephanie. Daniel berdecak gemas. “Kamu ini termasuk sabar Orangnya, Steph. Kalau aku di posisi kamu, benar-benar sudah aku cabik-cabik Orang yang menjelek-jelekkan Orang tuaku. Prinsipku, Orang boleh mencercaku apa saja. Tapi betapa pun buruknya hubunganku dengan Keluargaku, aku nggak rela kalau ada yang bicara seenaknya tentang mereka.” Stephanie mengangguk lemah. Sepertinya dia sudah terlampau lelah berkubang dengan kenangan masa lalu yang pahit. “Dan maaf, soal warisan. Andai kamu tahu Steph, aku sempat berpikir hal serupa. Aku nggak rela, kamu nggak mendapatkan hakmu sama sekali. Kamu ingat, sewaktu aku menjemputmu di kantor, sepulangmu dari bussiness trip di Shenzhen? Hanya saja, karena itu hal yang sensitif sementara hubungan kita saat itu belum jelas, kuurungkan niatku,” sesal Daniel. Stephanie mengingat-ingat momen itu, momen di mana Daniel seolah ragu untuk mengatakan sesuatu. Gadis itu lantas manggut-manggut. “Aku maklum,” katanya dengan pahit. Stephanie menggelengkan kepala dengan perasaan penat. “Sejujurnya, aku pernah mempunyai pemikiran macam itu. Aku terus bertanya-tanya pada diriku, kesalahan macam apa yang telah kulakukan sampai Papaku tega menyakiti hatiku sampai sedalam itu? Bukan, bukan masalah warisannya, tapi perlakuan Papa kepdaku! Sampai kuingat-ingat kembali segala kesalahan yang kulakukan dan akhirnya aku lelah sendiri. Kupikir, jawabannya jelas, karena aku adalah Anak Perempuan yang tidak diinginkan Papaku. Itu saja. Aku nggak tertarik memikirkan hakku. Nggak. Aku malah marah dan sakit hati ketika Kak Ardi mengatakan akan memberikan semua yang diberikan Papa padanya melalui surat wasit, dan menanyaiku apakah aku ingin Ryan untuk melakukan hal yang serupa. Itu sama saja menuduhku haus warisan, sama seperti... Kak Hera.”   Daniel mempererat genggaman tangannya, seolah hendak memberikan kekuatan. “Sabar, ya,” bisik Daniel. Stephanie mengangguk samar dan melanjutkan penuturannya, “Kalau mau jujur, Mama meninggalkan banyak hal berharga kok, buatku. Bukan sekadar materi. Mama meninggalkan juga buku hariannya, yang selalu saja menguatkanku, membuatku merasakan kehadirannya di sisiku ketika aku galau. Sesaat sebelum ke Hong Kong, aku baru tahu, ternyata Kak Hera, entah mendapatkan info dari Siapa, akhirnya mengetahui bahwa Mama memberikan seluruh sahamnya untukku.  Padahal, aku saja nggak terlalu berminat. Aku tahu Mama sengaja memberikan sahamnya serta beberapa asset lain, supaya masa depanku terjamin dan aku mau memaafkan Papa. Dan kecuali rumah Setiabudi, aku memang nggak menyentuhnya sampai sekarang. Kak Bobby, Kak Ardi, Kak Cleo dan Ryan malah menarik napas lega, kok meski mereka tidak mendapatkan bagian sebesar aku. Siapa sangka, hal yang disimpan rapat-rapat dari Kak Hera, bocor juga akhirnya? Dia memakiku habis-habisan dan mengancam akan melabrak ke tempatku. Tapi, makiannya terputus dan mendadak kudengar suara bentakan Kak Bobby.” “Rasanya memalukan ya, membahas tentang warisan? Seperti orang yang nggak bisa hidup tanpa warisan saja,” Stephanie setengah bergumam. Daniel melepaskan genggaman tangannya pada Stephanie dan berganti merengkuh pundak Gadis itu. “Ngerti. Sayangnya, sebagian orang di luar, terutama yang nggak kenal kita secara pribadi menyangka kita-kita ini nggak bisa hidup dari apa yang kita upayakan. Seakan-akan, kita hanya bisa hidup dari warisan,” sahut Daniel. Stephanie mengangguk lantas melanjutkan, “Dan apa boleh buat, aku nggak bisa bohong, toh warisan juga yang membuatku galau berhari-hari. Gimana nggak galau? Aku sudah menerima keadaanku, sudah memaafkan Papaku dan mencoba berdamai dengan apa-apa yang terjadi di masa lalu. Aku juga hampir dapat memaafkan diriku sendiri, atas reaksi negatifku pada Papaku. Tapi gara-gara apa yang disampaikan Om Danny di Hong Kong, membuatku merasa menjadi Anak yang tak tahu diuntung. Papa ternyata telah memikirkan semuanya. Tahu bahkan telah membahas satu demi satu karakter kami berempat, termasuk Kak Hera. Juga Kak Cleo, yang waktu itu sudah berpacaran dengan Kak Ardi, ke Om Danny. Karenanya,Papa sampai meninggalkan investasi begitu besar, di samping beberapa deposito yang selama ini dipercayakan ke Om Danny. Sebagian besar adalah buatku, dan sisanya untuk Ketiga Saudaraku. Om Danny bilang, Papa sangat khawatir kalau aku nggak bisa survive  dan Papa nggak ingin merasa bersalah lagi. Kata Om Danny, Papa takut kalau aku terlalu gengsi untuk meminta bantuan pada Saudara-saudaraku di saat kesusahan. Makanya, Papa mau sedikit menebus kesalahannya, Ya ampun, segitu jauhnya jarak antara kami, sampai-sampai seorang Papa nggak bisa mengenali Putrinya sendiri?” Stephanie terisak di ujung kalimatnya. Hati Daniel sedih karenanya. Daniel langsung tergerak memeluk Gadis itu, dan mengelus pungungnya. “Jangan sedih lagi, Steph. Dan jangan gara-gara itu, kamu kembali menyalahkan dirimu. Jangan buat apa yang telah direncanakan sama Papamu menjadi sia-sia. Kamu mau membuat Kedua Orang tuamu bangga, kan? Nah, lakukan yang terbaik, itu saja. Jangan benamkan diri kamu terus menerus di dalam penyesalan,” kata Daniel lirih. Tangis Stephanie perlahan mereda. Ya, dia juga merasa sudah sampai di titik itu. Dia sudah mulai meninggalkan masa penyangkalan dan mulai menerima keadaan. Dia sudah mulai menerima bahwa apa-apa yang telah terjadi di masa yang lalu memang sudah tidak mungkin untuk diubah lagi. Bukankah enam hari penuh galau yang dilaluinya selama ‘menghilang’ dan mengisinya dengan merenung, berziarah, menangis, berdoa, setiap harinya tempo hari, bahkan sampai dia sempat pingsan di kuburan, sudah cukup untuk mendorongnya mengambil keputusan?   ... “Dan,” panggilan lembut Stephanie membuyarkan lamunan Daniel. “Ya?” sahut Daniel dan menatap intens pada Stephanie. Stephanie menelan ludah, membahsai kerongkongannya sebelum bicara. “Sewaktu ketemu Kak Ardi, aku sempat berdiskusi. Akhirnya, kuputuskan untuk menerima apa yang menjadi bagianku. Tetapi dengan syarat,  Om Danny dan Tante Meily mau mengambil sebagian atau bahkan setengah dari bagianku. Kak Ardi malah ikut-ikutan mau menyerahkan apa yang menjadi bagiannya. Karenanya, aku perlu mengatur waktu untuk menemui mereka. Akhir pekan ini, atau mungkin minggu depannya,” kata Stephanie. “Oke, jadi hanya karena itu kamu mau balik ke rumah? Oke, aku sama sekali nggak keberatan. Kamu kasih tahu saja kapan, aku yang antar. Tapi apa kamu yakin, nggak ada alasan lain? Hm..., aku justru nggak yakin..,” selidik Daniel.   Stephanie mengeluh dalam hati. Ada secuil ragu untuk mengungkapkannya.   “Dan, aku nggak yakin Kak Bobby bisa tenang sebelum aku benar-benar pulang ke rumah. Kakakku satu itu.. aku sudah cerita padamu, kan? Agak grusa-grusu orangnya. Aku nggak yakin dia bisa sabar, sampai benar-benar ketemu sama aku. Dan.., aku.., nggak mau kalau sampai Kak Bobby tahu aku tinggal di sini dan salah paham,” Stephanie memberi alasan. Daniel menangkat-angkat alisnya. “Oh, soal itu. Oke. Aku bisa terima. Memangnya ke Kak Ardi, kamu bilang ada di mana, selama ini?” tanya Daniel. “Eng.., yang pasti bukan di sini. Aku nggak mau Kak Ardi salah paham. Biarpun kita nggak tinggal di unit yang sama, tapi kan..,” Stephanie menggantung ucapannya.   Daniel mengibaskan tangannya, “Aku ngerti alasanmu. Tapi aku rasa, masih ada alasan lain, kan? Juga kenapa kamu mendadak mengulur waktu untuk kukenalkan ke Papaku.” Ditelannya kembali ucapan, “Steph, you know that I date to marry, right? Not to fool arround.” Tidak, dia paham sepenuhnya bahwa ini bukan jenis kalimat yang pantas diucapkan saat ini.   Stephanie menghindari tatapan Daniel. Rutin bertemu setiap hari dengan Daniel selama lebih dari dua minggu ini, bercakap panjang, bertukar kisah, mengucap komitmen dan mulai menjuntai mimpi bersama, telah lebih dari cukup baginya untuk mengetahui arti tatap mata itu. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab. “Keberatan nggak, kalau aku tinggal mandi dulu? Setelah itu, pasti aku ceritakan,” kata Stephanie, seolah mencari celah untuk mengulur waktu. “Keberatan. Kamu cerita dulu. Setelah itu kalau mau mandi, terserah,” potong Daniel. Stephanie mengedikkan bahu. Dia tahu tak ada gunanya mendebat Daniel. “Dengan sikapmu yang suka otoriter begini, kalau kamu menikah dengan Inge..,” Stephanie kembali menggantung ucapannya. Daniel mengangkat alisnya. Dia terusik dengan kata ‘otoriter’ yang diucapkan oleh Stephanie dengan begitu ringannya. Namun bagi Daniel, kata otoriter yang disematkan kepadanya itu sungguh mengganggu. “Otoriter? Hei, jangan salah paham Steph! Aku cuma nggak mau dibikin penasaran. Tapi sebentar deh..... Inge? Kenapa tiba-tiba menyinggung Inge? Jangan bilang..., ini ada hubungannya sama dia!” sela Daniel. “Dia menemuiku pagi ini,” jawaban Stephanie membuat Daniel terperangah. “Apa?” * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD