Stephanie membuka pintu setelah memutar anak kunci dan melepaskan kaitan rantai gerendel.
“Hai,” sapa Stephanie begitu melihat Daniel berdiri di depan pintu.
Cowok itu sepertinya belum lama tiba di unitnya dan segera mandi. Buktinya, ada aroma sabun mandi dan wangi shampoo maskulin yang menguar lantas singgah ke indra penciuman Stephanie. Daniel tampak segar.
Daniel menatap Stephanie secara intens, lalu bertanya, “Hi. What’s up? All good?”
Stephanie hanya tersenyum tipis.
Dia tahu mengapa Daniel begitu cepat datang, padahal seingatnya dia baru saja mengirim pesan teks beberapa menit sebelumnya.
Pesan yang begitu panjang, dan membuat Daniel mau tak mau menduga-duga apakah ini ada hubungannya dengan alasan Stephanie yang menolak dijemput dari kantornya hari ini dengan mengatakan bahwa dia ada meeting di luar dan belum dapat memastikan akan selesai jam berapa. Alasan Stephanie, Supir kantor bisa mengantarnya dengan kendaraan Operasional yang ada.
To : Daniel Marcello Sanjaya
Dan, aku sudah pikirkan akan kembali ke rumah esok atau lusa. Kasihan Kak Ardi, rupanya saat aku cuti, dia sudah bolak-balik ke kantorku. Kemarin, pas hari keduaku masuk kerja lagi, akhirnya toh aku ketemu dan sempat bicara panjang lebar sama Kak Ardi di cafe sebelah kantorku. Aku nggak tega membayangkan Kak Ardi pasti susah membujuk dan mencegah supaya Kak Bobby nggak bertindak ceroboh dan gegabah. Sorry, kemarin sewaktu pulang kerja, aku belum sempat cerita soal ini. Aku nggak mau mendistraksi rencanamu buat memperkenalkanku secara resmi ke Papamu. Soalnya aku melihat kamu begitu bersemangat. Tapi kalau aku boleh ngomong jujur, boleh kan, untuk ditunda sebentar? Nanti kita atur lagi setelah aku balik ke rumahku. Thanks atas pengertiannya, ya Dan. Always love you.
“Kamu sudah pulang juga? Masuk, Dan,” ajak Stephanie, yang telah dua minggu lebih tinggal di apartemen milik Daniel.
Daniel mengangguk sambil mencermati Stephanie yang masih mengenakan pakaian formal. Dia yakin, apa pun penyebabnya, Stephanie pasti mengirimkan pesan teks padanya begitu sampai di unit.
“Soal pesan teks-mu, ada apa? Kita sudah janji, kan, sedapat mungkin membicarakan segalanya berdua?” tanya Daniel setelah duduk di sofa.
Stephanie menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Ucapan Daniel bagaikan sebuah tuntutan.
Itu mengenangkannya pada kebersamaan yang telah mereka lalui selama nyaris tiga minggu ini. Momen awal hubungan mereka, di mana mereka berdua sangat berusaha untuk saling menyesuaikan diri satu sama lain.
Stephanie paham, Daniel juga selalu berusaha untuk mengurangi dominasinya. Buktinya, Daniel tidak memaksa dirinya untuk memakai salah satu kendaraan Daniel untuk memudahkan pekerjaannya, begitu dia mulai kembali bekerja sementara kendaraan yang biasa dipakainya masih tetap ada di kediamannya di kawasan Setia Budi. Daniel menyetujui jalan tengah yang mereka ambil bersama, hanya mengantar jemput dirinya saja. Sementara selama jam kerja, Stephanie memanfaatkan kendaraan operasional yang disediakan oleh kantornya.
“Steph..,” panggil Daniel.
Stephanie belum menyahut. Gadis itu seperti memikirkan sesuatu.
Daniel menyabar-nyabarkan diri. Tetapi rupanya tak semudah itu. Dia terusik dengan diamnya Stephanie.
“Aku nggak mau segalanya kembali ke titik nol lagi, Steph. Enggak. Ada keraguan apa lagi? Kamu mendadak gentar, karena kita bakal ketemu Papaku akhir pekan ini? Soal itu, nggak masalah, kapan saja kamu siap. Jadi nggak harus akhir pekan ini,” kata Daniel lagi. Tetapi bukannya bereaksi, Stephanie justru tampak menahan diri.
Daniel pun terkenang pada sebuah momen yang amat berarti baginya. Di ruangan yang sama. Di ruang tamu ini. Di sofa ini pula...
...
“Andai aku berteman sama Doraemon, akan kupinjam mesin waktu sehingga bisa kembali ke masa itu dan memperbaiki kesalahanku. Sayangnya, Doraemon itu kan tokoh fiktif, lagi pula aku pun enggak kenal dia.”
“Steph,” ucap Daniel lirih.
Stephanie bereaksi.
“Ternyata, selama ini aku keliru menilai dan memperlakukan Papaku. Aku jahat dan nggak bermoral,” ucap Stephanie sedih, sambil menyandarkan kepala di bahu Daniel dan menyorongkan kotak yang dilihat Daniel ada bersamanya kala mereka bertemu di makam.
Daniel membelai rambut Stephanie dan mengecup puncak kepalanya dengan sepenuh perasaan sayang.
“Hei. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Jangan disesali terus, Steph. Kamu bukannya segaja melakukan apa pun kamu sebut itu, kesalahankah, atau kebodohankah, di masa lalu. Karenanya, jangan menghakimi dirimu sendiri atas hal yang bahkan tidak sengaja kamu lakukan.”
Stephanie mendesah.
“Aku tahu rasanya, Steph. Aku pernah berada di posisi yang mirip dengan ini. Dan saat itu aku juga berpikir, kalau saja aku berkesempatan memutar waktu dan kembali ke masa di mana aku melakukan kesalahan itu, dengan kesadaran penuh aku akan menghindarkan diriku dari kemungkinan melakukan kesalahan tersebut.”
Kali ini Stephanie tempaknya sedikit tergugah. Ia menangguk kecil.
Namun itu sudah cukup membuat Daniel sedikit menarik napas lega.
“Aku buka, ya?” tanya Daniel, hendak memastikan.
Stephanie kembali menangguk.
Seakan tengah membuka sebuah kotak pandora, Daniel melakukannya dengan extra hati-hati. Ada beberapa lembar foto usang di dalam kotak tersebut, yang diamati secara cermat olehnya. Daniel mengambil foto pertama, mengamatinya.
Foto itu memperlihatkan bayi mungil yang terlelap di dalam box kecil yang bernuansa merah jambu. Disebelahnya adalah Sang Ibu, yang juga tertidur di pembaringannya dengan selang infus masih tertancap di lengannya.
Di balik foto tersebut, tertulis, “My two angels. Dua wanita tercinta di dalam hidupku, meski kehadiran yang satu nyaris merenggut nyawa yang satunya. Perlu waktu sekian hari untuk membuatku tersadar, aku juga sayang padamu, Angel kecilku. Kamu adalah buah cinta Papa dan Mama, yang telah sekian lama kami nantikan kehadirannya. Maaf, kalau baru hari ini Papa memberimu nama, Steph. Kamu tahu mengapa Papa memberimu nama Stephanie Griselda Prasaja? Itu karena Papa mengharapkanmu menjadi gadis yang gigih dan diberkati. Karena arti nama kita sama, Benedict dan Stephanie, Papa berharap, kamu dapat memaafkan Papa, yang seolah menolakmu sejak masih dalam kandungan Mamamu, dan sempat mengabaikanmu sesaat ketika kamu lahir. Papa minta maaf, Steph Sayang.”
Daniel mencium kening Stephanie dengan lembut.
Mata Stephanie mengerjap.
Seolah, Stephanie mempersilakan Daniel untuk melihat foto berikutnya.
Maka Daniel meneruskan mengambil foto yang kedua. Foto yang memperlihatkan Sepasang Bocah berpakaian serba putih, dipangku oleh Papanya, masing-masing di kaki kanan dan kiri. Di balik foto ini pun, ada kalimat disertai tulisan tangan Seorang Tristan Benedict Prasaja, “Hari ini Putri kecilku Stephanie Griselda Prasaja dan Pangeran kecilku Fidelis Ryan Prasaja, dibaptis bersamaan. Saling jaga ya, kalian berdua, selamanya. Kalau suatu saat nanti Papa dan Mama sudah tak lagi bersama kalian, dengarkan Kakak-kakak kalian, Bobby Pratama Prasaja dan Ardiyanto Mahardika Prasaja, yang Papa yakin, pasti akan menjaga dan membimbing kalian. Janji sama Papa ya, kalau kalian berempat akan terus rukun dan saling sayang meski nanti Papa dan Mama tak lagi mendampingi kalian.”
Ketika mengamati foto ketiga, Daniel mengecup punggung tangan Stephanie.
“Ini kamu, Steph? Kamu sakit apa, waktu itu?” tanya Daniel, mengomentari foto Stephanie kecil yang terbaring di rumah sakit dengan selang infus menancap di lengannya. Di balik foto itu, sederet kalimat tertulis, “Steph, cepat sembuh, Sayang. Berhentilah membuat Papa cemas. Kalau bisa, biar Papa saja yang sakit. Tidak seharusnya kulit halus kamu ditusuki jarum infus begitu.”
Melihat Stephanie menggeleng, Daniel tak menanyakan apa pun lagi. Dipikirnya, mungkin lantaran waktu itu Stephanie masih terlampau kecil, jadinya Stephanie tak ingat dia sakit apa.
Kemudian Daniel mengambil foto keempat, yang menggambarkan Sepasang Orang tua tengah makan bersama keempat anak mereka. Ada sebuah kue tart bertuliskan, “Happy 8th Birthday Stephanie Griselda Prasaja.”
Daniel membaca tulisan yang tertera di belakang foto, “Selamat ulang tahun, Putri kesayangan Papa. Biarpun perangai kalian berbeda-beda, semoga kalian berempat tetap bersatu selamanya. Dan kelak, ketika kalian telah dewasa, masing-masing dari kalian juga menemukan Pasangan hidup yang terbaik, sebaik Mama kalian.”
Hati Daniel sunggh tersentuh, sampai ke dasarnya yang terdalam.
Dalam haru, Daniel mengecup puncak kepala Stephanie. Matanya memejam.
I promise you, Om Benedict. I will be a better man, for your beloved Daughter. You can count on me, Om Benedict, bisik hati Daniel.
Foto kelima yang memperlihatkan Stephanie kecil yang kakinya dibebat serta ada lecet-lecet di wajah, dagu serta lengannya sedikit memancing seringai Daniel.
Daniel mengerling keji pada Stephanie.
Stephanie pura-pura tak tahu.
“Ternyata dari kecil kamu memang tomboy, ya,” bisik Daniel setelahnya, yang hanya dibalas senyuman tipis Stephanie.
Tulisan Pak Tristan di balik foto itu, amat menyentuh, ”Steph, bisakah kamu mengerti, Papa sayang sama kamu, hanya saja tidak bisa mengekspresikannya seperti Mamamu? Kamu ini Anak Perempuan, Sayang. Tidak bisakah kamu mencari permainan yang lebih aman buatmu? Di mata Papa, kamu bagai porselen, yang harus dijaga secara extra hati-hati,”
Ketika Daniel menarik foto kelima yang tak lain merupakan dokumen penggantian nama belakang Stephanie, dilihatnya Gadis itu memalingkan wajah ke arah lain.
Paham keengganan yang tersirat di wajah Gadis itu, Daniel mempercepat membaca tulisan tangan Pak Tristan di balik foto, “Kamu masih belum paham dan merasakannya juga, sebesar apa rasa sayang Papa ke kamu? Bahkan untuk sesuatu hal yang sangat melukai hati dan harga diri Papa pun, Papa rela melakukannya buatmu. Semoga nama fam Sasmita yang kamu sandang mulai saat ini, memberimu lebih banyak cinta, keberuntungan dan kedamaian di dalam hidupmu. Rasa sakit hati Papa nggak akan bisa mengalahkan rasa sayang Papa padamu.”
Lalu terakhir, ada secarik kertas tanpa foto. Tampaknya sebuah surat pribadi. Dan jelas, ditujukan kepada Stephanie.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $