03 - Kegilaan yang Berlanjut

1562 Words
Raline masih duduk tegang di ruang tamu rumah Gara. Sedangkan laki-laki itu berpamitan untuk mengangkat telepon beberapa saat yang lalu. Setelah sekian menit sendirian, akhirnya Gara kembali, membuat tubuh Raline kian menegang. Ia seakan masih tidak percaya jika laki-laki seperti Gara akan dengan mudah menerima tawarannya. Entah apa yang sebenarnya pria itu pikirkan hingga bisa-bisanya ia setuju dengan rencana gila Raline. Ia jadi sedikit menyesal karena telah berani meminta tolong untuk hal seperti itu pada Gara. “Raline, saya ada urusan mendadak di luar, masalah pekerjaan. Kamu mau tetap di sini, atau saya antar pulang?” tawar Gara. Raline mengejapkan matanya. Menyadari ia belum lama di sini, ia yakin Lucas masih ada di rumahnya. Atau bahkan jika dia sudah pulang pun, ia pasti akan datang kembali jika tahu Raline sudah pulang. Namun, jika ia mau menunggu di sini, ia juga sungkan karena sang tuan rumah yang akan pergi dan Cinta yang masih tidur. “Kalau ikut saja, nggak boleh memang?” Raline mengutuk mulut sialannya yang bisa dengan mudah mengatakan hal gila untuk kesekian kalinya hari ini. “Kamu yakin mau ikut? Ini masalah kerjaan loh,” ucap Gara. Raline mengerti, Gara pasti keberatan membawanya pergi. Namun, lagaknya hal itu berhasil menyentil batin Raline. Gadis itu bertanya-tanya, apakah dirinya tampak sememalukan itu untuk pergi dengan pria seperti Gara? “Eh? Nggak bisa, ya? Iya sih. Pakaian saya juga terlalu santai dan saya terlalu biasa buat pergi sama Bapak. Ya udah, saya di sini saja deh. Nanti kalau saya mau pulang, saya bisa kok pulang sendiri,” putus Raline. Setelah dipikir-pikir sepertinya memang tak seharusnya ia ikut Gara pergi. Memangnya ia siapa? Ia juga tidak mau membuat orang-orang bertanya-tanya jika melihat orang seperti Gara ditempeli oleh gadis sepertinya. Mungkin jika suatu hari ia memang harus pergi dengan Gara, sebaiknya Raline menggunakan pakaian resmi agar orang-orang mengira dia adalah asisten atau sekretaris Gara. “Bukan nggak bisa. Hanya saja saya ragu apa kamu akan betah jika saya nanti terus membicarakan soal pekerjaan. Tapi, kalau kamu mau, ya ayo!” ajak Gara. Raline menggeleng cepat. “Nggak usah, Pak. Saya di sini aja. Kalau boleh, mau numpang ngungsi sampai cowok yang dijodohkan sama saya pulang. Habis itu nanti saya bakal pulang naik ojek online.” Gara tampak menghela napas panjang menatap Raline serba salah. ‘Kenapa? Apa dia juga tidak memperbolehkan aku menunggu di sini? Ck, pelit banget sih. Percuma kaya kalau pelit. Tahu gitu tadi nggak usah diajakin pura-pura pacaran. Kan aku bisa minta tolong mas-mas ojol aja buat jadi pacar gadunganku. Lebih meyakinkan,’ batin Raline. “Ya sudah. Kamu di sini saja. Tapi, kamu nggak harus pulang naik ojol, kok. Saya usahain nggak lama. Biar nanti saya yang antar kamu pulang, biar sekalian saya tahu rumah kamu,” ujar Gara. “Eh? Maksud saya nggak gitu, Pak. Nggak usah. Saya-“ “Sudah, ya. Saya harus buru-buru soalnya. Tolong jaga rumah dengan baik dan jangan kemana-mana!” pesan Gara. Setelah itu, Gara pun segera meraih kunci mobilnya dan pergi begitu saja dari hadapan Raline. Bahu Raline merosot. Sungguh. Ia semakin menyesal telah mengungkapkan rencana gilanya pada Gara. Sekarang ia merasa benar-benar bodoh. Ditambah lagi nasib sialnya yang membuat Gara bisa-bisanya langsung menyetujui ide itu begitu saja. “Bego banget sih kamu, Raline! Nggak! Ini sih udah kelewat bego namanya. Udah gila!” runtuk Raline sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. “Apa yang sebaiknya aku lakuin sekarang, ya? Sumpah udah nggak punya muka banget aku di depan Pak Gara. Apa sebaiknya aku kabur aja, ya? Eh, tapi nggak sopan dong?” Raline menimbang kembali keputusannya. Setelah hampir sepuluh menit berpikir, akhirnya tekadnya sudah bulat untuk kabur. Ia pun segera bersiap memesan ojek online melalui ponselnya. Namun, ternyata polselnya mati – mungkin karena kehabisan daya. “Argh sial! Lagian ada-ada aja sih? Apa ini azab karena aku kabur-kaburan dari Ibu?” runtuk Raline. Ia mengacak-acak rambutnya kesal. Sampai-sampai ia tidak sadar jika ada seseorang yang sedang memperhatikan tingkah absurdnya itu. “N- Non? Non Raline nggak apa-apa?” tanya Bibi yang bekerja di rumah Gara. Menahan malu, tubuh Raline sedikit menegang. Ia segera merapikan kembali rambutnya agar tidak terlihat seperti orang gila. “Eng- nggak kok, Bi,” jawab Raline. “Non Raline pusing, ya? Biasanya diminumin obat apa kalau sedang pusing? Coba Bibi carikan di kotak obat nanti,” tawar Bibi. “Eh? Enggak kok, Bi. Saya cuma lagi kesel aja, soalnya batrai HP saya habis, hehe,” ucap Raline seadanya. “Oh … mau Bibi carikan charger? Siapa tahu ada yang cocok.” “Enggak, Bi nggak usah. Kalau boleh, saya mau pinjam HP Bibi aja sebentar buat pesan ojek online. Nanti saya bayarnya cash kok, Bi. Janji nggak akan bikin saldo Bibi berkurang,” pinta Raline. Bibi itu tersenyum ramah. “Memang Non Raline sudah berpamitan ke Pak Gara?” “Sudah tadi. Saya sudah bilang kalau saya bakal pulang pakai ojek online. Tapi sayangnya HP saya keburu mati, Bi,” bohong Raline. Sebenarnya ia tidak sepenuhnya berbohong. Karena memang nyatanya dia sudah mengatakan hal itu pada Gara. Hanya saja, Gara yang sebenarnya belum setuju. “Oh kalau begitu boleh, Non. Ini, pakai saja HP Bibi!” ujar Bibi menyerahkan ponselnya. Raline pun bergegas menerimanya, dan langsung mencari aplikasi ojek online. “Kalau Bibi boleh tahu, Non Raline ini apanya Bapak? Calonnya, ya?” tanya Bibi saat Raline sibuk mencari ojek online. “E- eh? Eng- enggak kok, Bi. Cuma orang yang tadi kebetulan ketemu di café terus ada insiden kecil gitu. Oh iya, Bi. Cinta masih tidur, ya? Dia udah biasa pas bangun nggak ada papanya?” Raline berusaha mengalihkan pembicaraan. Karena jujur saja, setiap memikirkan hubungannya dengan Gara, mendadak kepalanya terasa pusing. “Sudah biasa, Non. Dari kecil Non Cinta mah cuma sama Bibi kalau Bapak lagi kerja,” jawab Bibi. “Oh gitu? Eh ini saya sudah ketemu ojeknya, Bi. Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Bi. Titip salam buat Cinta kalau dia bangun nanti,” pamit Raline. Ia mengembalikan ponsel milik asisten rumah tangga Gar aitu, kemudian bergegas mengemasi barangnya dan pergi dari sana. Raline memang sangat buru-buru, karena ia parno Gara akan kembali sebelum ia meninggalkan rumah ini. Namun, untung saja kekhawatiran Raline itu tidak terjadi. Hingga ojek yang ia pesan datang, mobil Gara belum juga menunjukan tanda-tanda keberadaannya. Raline menghela napas lega, meski sebenarnya kini masih ada satu hal penting yang harus ia pikirkan – Lucas. *** “Makasih, Pak,” ucap Raline setelah ia turun dari motor ojek yang mengantarnya pulang. Setelah itu, ia pun berjalan malas menuju rumahnya. Tampak sekali jika ia sangat terpaksa pulang secepat ini karena tak punya tempat tujuan lagi. Dan rasa malasnya itu kian menjadi saat ia menyadari sebuah mobil berwarna putih masih terparkir rapi di depan rumahnya. Raline melangkahkan kakinya masuk sambil mengucap salam. Tak lama, terdengar dua suara yang menyahuti salamnya. Raline hanya tersenyum tipis saat sosok rupawan yang tengah duduk berhadapan dengan ibunya itu menyapanya ramah. “Raline, dari mana aja kamu? Kok tadi Nak Lucas telepon nggak bisa?” tanya Sang Ibu. “HP Raline mati, Bu. Habis batrai kayaknya. Nih kalau nggak percaya!” seru Raline sambil menunjukkan ponselnya yang dalam keadaan mati. ‘Kena azab karena niat ngebohongin Ibu sih lebih tepatnya,’ lanjutnya dalam hati. “Nak Lucas ini nunggu kamu dari tadi, loh. Dua jam ada dia di sini. Sini kamu buruan temani Nak Lucas ngobrol!” suruh ibunya. Raline memutar bola matanya malas. “Bu, Raline baru aja pulang loh. Capek banget. Memang nggak bisa ngobrolnya kapan-kapan aja? Lagian, kan Lucas sudah lama di sini. Nggak bosan? Kamu nggak mau pulang saja?” “Raline!” tegur ibunya. “Raline cuma ngasih saran, Bu,” elak Raline. “Hmm … nggak apa-apa, Tante. Saya bisa ngerti kok. Kelihatannya Raline memang sedang kecapekan. Nggak enak juga kalau saya ganggu,” ucap Lucas menengahi. Ibu Raline hanya bisa menghela napas panjang, seolah sudah tahu jika ini hanya akal-akalan Raline untuk kabur saja. Padahal ia sudah sering memberi pengertian pada Raline, agar anak gadisnya itu mau membuka hatinya untuk Lucas. Namun, Raline tampak tidak berminat. Putri sematawayangnya itu tampak menutup hatinya terlalu rapat hingga membuat orangtuanya khawatir dengan status kesendiriannya di usia yang sudah terbilang matang ini. “Ya sudah, Tan, Raline, kalau begitu, saya pamit dulu,” pamit Lucas. Raline mengulas senyuman ramah sebagai ucapan terima kasih karena Lucas mau mengerti dirinya. “Oh iya, Raline. Kapan kira-kira kita bisa bertemu? Nanti sore? Rasanya sudah sangat lama kita tidak mengobrol. Aku ingin membawa kamu jalan-jalan sebentar agar kita bisa jadi lebih akrab.” “Hm? Nanti sore? Kayaknya nggak dulu deh, Luc. Kapan-kapan kalau aku ada waktu, aku kabarin aja deh, ya?” balas Raline. Sebenarnya ia tidak enak hati terus-terusan menolak ajakan Lucas seperti ini. Namun, ia benar-benar tidak ingin perjodohan itu terjadi. “Raline, kamu tahu, kan, Nak Lucas ini kerjanya di luar kota. Dia yang lebih sibuk dari kamu. Jadi, udah deh biar Nak Lucas aja yang menentukan waktunya,” ujar sang ibu. “Ya udah terserah. Yang penting aku mau istirahat sekarang. Luc, sori, ya?” ungkap Raline. Lucas hanya bisa mengulas senyum tipis meski sesungguhnya ia merasa sangat kecewa, karena lagi-lagi kedatangannya yang tak dihargai oleh Raline. Namun, ia bisa apa selain hanya menebalkan kesabarannya dalam menghadapi Raline? Ia masih berusaha menjaga keyakinannya jika suatu hari ia pasti berhasil meluluhkan hati Raline – membuat Raline bersedia menerimanya serta perjodohan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD