04 - Tamu Tak Diundang

1843 Words
Raline berusaha tak memperdulikan ucapan ibunya siang tadi. Saat ini, ia hanya ingin bersantai dan menikmati sore di kamarnya dengan sebuah drama dan secangkir teh melati. Telinganya ia sumpal dengan headset yang tersambung di laptop. Ia begitu menikmati dramanya, hingga tidak sadar jika dari tadi ada nomor yang terus berusaha menghubunginya. Hari ini sudah terasa terlalu melelahkan bagi Raline. Dan ia hanya ingin menghabiskan sisa waktunya dengan bersantai. Tanpa ia sadari, sebuah bahaya kian mendekat karena ia yang tak kkunjung mengangkat telepon orang itu. “Astaga, Raline! Pantes Bunda panggil dari tadi nggak nyaut,” tegur ibu Raline saat menemukan putrinya masih sibuk menonton Drama Korea. Menyadari kedatangan ibunya, Raline pun segera melepas headset di telinganya. “Ada apa, Bun? Soal rencana aku daftar kerja di dekat kantor Ayah? Berkasnya sudah siap kok. Besok tinggal masukin aja.” Bu Arum – ibu dari Raline menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski ia sudah hidup puluhan tahun dengan Raline, tetapi tetap saja rasanya begitu sulit untuk mengerti karakter anaknya itu. “Di luar ada tamu nyariin kamu. Katanya dia udah usaha menghubungi kamu, tapi teleponnya nggak kamu angkat. Pantas saja, orang telinga kamu kesumpelan headset gitu,” ujar Bu Arum. “Tamu? Nyariin Raline? Serius cari Raline? Cari Ayah kali, Bu. Raline nggak ada janji sama orang, kok. Lagian kenalan Raline yang masih akrab juga nggak banyak. Nggak ada juga deh yang mau nyamperin Raline. Apalagi tiba-tiba begini,” balas Raline. Bu Arum menghela napas panjang. “Kamu lihat saja sendiri! Bunda juga nggak kenal. Dia hanya bilang kalau dia ingin bertemu kamu karena kamu susah dihubungi.” Raline segera mengecek ponselnya. Dan benar saja, ada 16 panggilan tak terjawab dan delapan pesan singkat dari nomor yang sama. Nomor itu belum tersimpan di ponsel Raline. Sehingga untuk bisa tahu siapa pemilik nomor itu, Raline harus membuka terlebih dahulu pesan yang dia terima. ‘Raline, kamu di mana sekarang?’ ‘Kamu tidak ingin mengangkat telepon saya? Bukankah tadi sudah saya katakan untuk menunggu di rumah, biar saya yang mengantarmu?’ ‘Raline, kamu pulang sendiri?’ ‘Apa kamu masih berada di rumah?’ ‘Aku ke rumah kamu sekarang.’ Raline berhenti membaca hingga pesan kelima. Ia berpikir sejenak, kira-kira siapa orang yang telah mengirim pesan-pesan itu padanya. Sejak menonton drama, pikirannya memang sudah teralihkan hingga ia sedikit lupa dengan apa saja yang terjadi hari ini. Namun, bersamaan dengan suara ibunya yang kembali membuyarkan lamunannya, ingatan yang sangat ia butuhkan itu pun akhirnya kembali. “P- Pak Gara?” kaget Raline. Namun, jika benar lelaki itu Gara, dari mana dia tahu nomor dan rumah Raline? Seingat Raline, ia belum memberikan nomor ponsel, apalagi alamat rumahnya pada Gara. Lalu, apakah orang yang datang dan mencari Raline saat ini benar-benar Gara? “Bun, tamunya bapak-bapak, ya, Bu?” tanya Raline. “Iya. Kayaknya sih bapak-bapak muda. Senior kamu waktu kuliah kali,” ucap Bu Arum. Raline menggelengkan kepalanya. “Ish bukan. Bun, Raline boleh minta tolong?” “Apalagi sih, Raline? Lebih baik kamu temui dulu tamu kamu sekarang! Kasihan dia sudah nungguin,” suruh Bu Arum. “Plis, Bun. Raline nggak mau ketemu dia. Bilang aja ini bukan rumah Raline. Nggak ada yang namanya Raline di sini. Bilang dia salah alamat dan suruh dia cepat-cepat pergi, Bun, plis.” Raline memohon dengan kedua tangan yang ia katupkan di depan d**a, seolah ia sedang benar-benar memohon. “Bunda udah iyain kalau ini rumah kamu. Lagian kenapa, sih? Kamu temuin aja dulu! Kamu kok kayak ketakutan dikejar utang aja? Jangan-jangan kamu memang diam-diam-“ “Bun, enggak, Bun. Astaga,” potong Raline saat ibunya mulai berspekulasi aneh-aneh. “Ya habisnya sikap kamu begitu. Ya udah temui dulu sana! Siapa tahu memang ada yang penting,” suruh Bu Arum. Raline memasang raut wajah memelas, tetapi tampaknya Bu Arum tetap kekeuh pada pendiriannya untuk menyuruh Raline segera keluar. Beliau bahkan tidak ragu menarik lengan Raline agar Raline segera menemui Gara yang sudah menunggu di depan. Dan benar dugaan Raline, orang itu adalah Gara. “Ini Raline nya, Pak. Tapi maaf kalau saya boleh tahu, Anda ada urusan apa ya dengan putri saya? Dia tidak ngutang lalu kabur dari Anda, kan?” tanya Bu Arum yang langsung diprotes dengan rengekan oleh Raline. “Bu, aku kan udah bilang, aku nggak ngutang sama dia,” rengek gadis itu. Gara yang melihat Raline dicurigai ibunya, malah terkekeh kecil. Lalu, pria itu mengulurkan tangannya untuk mengajak Bu Arum bersalaman. Tanpa ragu, Bu Arum pun langsung menyambut uluran tangan Gara. “Selamat sore. Maaf kalau kedatangan saya sedikit mengejutkan. Perkenalkan, Bu, nama saya Gara. Saya adalah pacar Raline,” ucap Gara yang seketika membuat Raline membulatkan matanya. Raline bahkan belum jadi membrondong laki-laki itu dengan pertanyaan bagaimana dia bisa tiba-tiba saja datang dan tahu nomor ponsel Raline. Namun sekali lagi, Gara sudah lebih dulu membuat Raline terkejut setengah mati. Sungguh, seumur hidup Raline, ia belum pernah mendengar pengakuan seseorang sebagai kekasihnya di depan orangtuanya seperti ini. “Apa tadi kamu bilang? Kamu pacar Raline?” Tamat sudah riwayat Raline. Tak hanya sang ibu, ternyata ayahnya yang baru saja pulang bekerja juga mendengar ucapan ngawur pria bernama lengkap Igara Surya Mahawira itu. Raline seketika dibuat kelabakan. Ia dituntut harus mencari alasan yang tepat untuk mengelak, tanpa membuat keributan atau menyinggung perasaan Gara. Tampaknya ada kesalah pahaman antara dia dan Gara. Raline sudah berniat membatalkan rencana itu. Ia sengaja kabur dari rumah Gara agar mereka tak akan bertemu lagi. Namun kenyataannya, Gara justru bisa begitu mudah menemukan Raline hanya dalam beberapa jam setelah kepergian Raline. “Selamat sore, Om. Ya. Saya kekasih Raline. Apakah Om adalah ayah Raline?” balas Gara, saat Pak Edi – ayah Raline tiba di hadapan mereka. Sejenak, suasana menjadi hening. Bu Arum dan Pak Edi sibuk menatap menyelidik ke arah putri kesayangan mereka yang memang sering membuat ulah aneh-aneh. Hanya saja, dilihat dari penampilan Gara yang tidak biasa, seharusnya pria semacam Gara bukan merupakan sesuatu yang bisa dengan mudah menjadi obyek permainan Raline, bukan? Pak Edi berdehem, “ada baiknya kita bicarakan ini di dalam saja.” “Mari masuk, Nak!” sambung Bu Arum menambahi. Kemudian, Bu Arum sedikit menarik Raline ke ruang tamu. Raline duduk diapit kedua orangtuanya yang melemparkan aura mistis mereka hingga membuat bulu kuduk Raline berdiri. “Be- begini, Yah, Bu. S- sepertinya di sini ada kesalah pahaman. Aku sama Pak Gar-“ “Ayah mau dengar penjelasan dari pacar kamu dulu. Karena sepertinya tadi Ayah mendengar sesuatu darinya,” potong Pak Edi. Jadi, siapa nama kamu?” tanyanya kemudian, sambil menatap Gara. “Saya Gara, Om. Igara Surya Mahawira. Dan saya adalah kekasih putri Om,” jawab Gara. “Pak, kita-“ “Raline, kamu diam dulu!’ potong Pak Edi tegas. Mendengar teguran ayahnya, Raline hanya bisa menelan salivanya kasar. Mendadak, mentalnya menjadi ciut. Namun, ia juga masih tidak rela jika Gara yang bicara menjawab pertanyaan-pertanyaan ayahnya. Pria itu belum di briefing. “Jadi, benar kamu pacar anak saya? Tapi, kenapa Raline memanggil kamu ‘Pak’ kalau kamu benar-benar pacarnya?” selidik Pak Edi. Gara tampak menunduk beberapa saat. Sementara Raline mulai menyunggingkan senyum kemenangan karena sempat mengira jika Gara tidak akan bisa mengelak dan akhirnya kebohongannya akan terbongkar. Ya. Itu lebih baik. Bahkan, meski Raline butuh pacar pura-pura untuk membatalkan perjodohannya dengan Lucas, dibanding orang seperti Gara, Raline memilih untuk menghubungi tukang ojek online secara random untuk dibawa ke hadapan orangtuanya. “Maaf. Tapi sepertinya memang saya harus menjelaskannya sekarang. Mungkin setelah mengetahui hal ini, Ibu dan Bapak akan sulit menerima kehadiran saya, tapi-“ “Iya, katakan saja, Pak! Nggak usah ragu!” serobot Raline. Ia beranggapan Gara akan mengaku jika ia hanya berbohong saat mengatakan Raline adalah kekasihnya. “Iya, katakan saja! Bagaimana pun juga kami harus tahu sudah sejauh mana pergaulan putri kami dengan lawan jenisnya,” sambung Bu Arum. “Raline memanggil saya ‘Pak’, karena salah satu alasannya adalah karena status saya yang merupakan duda beranak satu. Usia kami juga terpaut cukup jauh. Sejak pertemuan pertama kami, dia memang memanggil saya seperti itu,” terang Gara. Raline mengangguk setuju, lalu tersenyum sombong pada kedua orangtuanya seakan ia baru saja berhasil membuktikan jika pria di hadapan mereka ini bukanlah kekasih Raline. “Maaf, Nak Gara. Jadi, kamu duda?” tanya Pak Edi. Gara mengangguk singkat. “Anak Nak Gara umur berapa sekarang? Lalu, di mana ibunya? Kok Nak Gara bisa menduda di usia yang semuda ini? Maaf, tapi kalau saya lihat-lihat usia Nak Gara masih di bawah 35, kan?” sambung Bu Arum. Raline yang kini sudah mulai tampak lebih santai dan memang tahu jawaban atas pertanyaan ibunya pun memilih untuk menimpali. “Jadi begini, Bun. Anak Pak Gara ini masih TK. Cewek, cantik banget. Mungkin karena mirip sama ibunya. Namanya Cinta. Lalu, yang Raline tahu, ibunya Cinta ini sudah meninggal dan sampai sekarang Pak Gara belum menikah lagi karena fokus ngurusin kerjaan sama Cinta. Jadilah Pak Gar aini menduda.” “Eh? Benar itu, Nak Gara?” kaget Bu Arum. Gara kembali menganggukkan kepalanya. “Aduh, maaf. Tante benar-benar nggak tahu kalau-“ “Tidak apa-apa, Tan. Lagi pula sudah lama juga. Saya juga sudah mengikhlaskan Beliau agar Beliau bisa tenang di alam sana,” jawab Gara sembari tersenyum hangat. “Lalu tadi Nak Gara bilang itu baru salah satu alasannya. Apa ada alasan yang lain? Kalian kelihatan masih canggung,” tanya Pak Edi yang kembali mengalihkan pembicaraan pada topik utama. “Itu karena Raline sedang marah sama saya, Om. Soalnya tadi saya ninggalin Raline begitu saja di rumah. Sebenarnya saya sudah bilang untuk menunggu sebentar karena saya ada urusan kerjaan. Tapi waktu saya pulang, Raline sudah nggak ada,” terang Gara. Kali ini, Raline membulatkan matanya dan melempar tatapan protes ke arah Gara yang mulai mengada-ngada. “Eh? Siapa yang marah? Lagian-“ “Tapi saya akui, itu juga salah saya, Om. Harusnya saya nggak seenaknya ninggalin Raline. Apalagi tadi Cinta juga lagi tidur. Jadi Raline cuma sendirian sama Bibi. Dia pasti sangat bosan. Jadi, saya memang datang ke sini untuk meluruskan masalah itu juga pada Raline. Nggak tahunya Tuhan malah ngasih saya kesempatan untuk bisa menyapa dan berkenalan dengan Om sekaligus Tante,” potong Gara dengan nada santai. Raline sudah siap menyemburkan sumpah serapahnya mendengar ucapan Gara yang ngasal. Namun, suara sang ayah sudah lebih dulu mengintrupsi. “Maafkan dia ya, Nak Gara! Sikapnya kadang memang masih kekanak-kanakan. Gara-gara sikap Raline yang belum dewasa, Nak Gara sampai harus jauh-jauh datang ke sini.” “Apalagi Raline sampai nggak ngangkat telepon Nak Gara loh, Yah. Tahu nggak apa yang malah dia kerjain dari tadi? Nonton Drama Korea lagi.” Tambah Bu Arum. Raline hanya bisa memutar bola matanya malas, seakan sudah sangat bosan dengan keadaan yang seperti ini. “Tapi, Nak. Mungkin Nak Gara belum tahu. Sebenarnya, Raline sudah kami jodohkan dengan orang lain. Mohon maaf, Nak. Tapi dengan berat hati Om harus mengatakan kalau kedatangan Nak Gara tampaknya sedikit terlambat. Karena Om tidak bisa membatalkan perjodohan itu begitu saja,” ucap Pak Edi, seakan memukul mundur seorang Igara Surya Mahawira, sebelum pria itu mencoba untuk berjuang. Lantas, akankah Gara menyerah dan mengatakan yang sebenarnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD