11 - Dilema (Lagi ?)

2151 Words
Usai makan malam, Cinta segera dibawa pergi oleh salah seorang asisten rumah tangga, menyisakan empat orang dewasa yang masih di sana. Hal itu membuat Raline merasa gugup bukan main. Bahkan, ia sempat berpura-pura bodoh dengan menyetujui ajakan Cinta untuk bermain dengan anak itu, sebelum suara Pak Naga menginterupsinya. “Apa rencana kalian ke depanna?” tanya Pak Naga, langsung pada intinya. “Gara mau membawa Raline ke jenjang yang serius. Gara ingin Mama dan Papa melamarkan Raline untuk Gara,” jawab Gara dengan tenang, berbeda dengan Raline yang kini sedang meremat pakaiannya dengan tangan yang sedikit bergetar. “Kamu sudah bicara dengan kedua orangtua Raline? Mereka setuju? Karena Papa rasa, mungkin tidak akan mudah buat kamu meyakinkan mereka, mengingat statusmu yang sudah pernah berumah tangga. Apalagi kamu sudah punya Cinta, sedangkan Raline masih muda,” terang Pak Naga. Raline otomatis membenarkan dengan menganggukkan kepalanya. Karena memang, menurutnya itulah salah satu alasan kenapa orangtuanya sempat menolak Gara sebelumnya. “Gara akan lebih berusaha buat mendapatkan restu mereka, Pa,” jawab Gara. Bu Almira tampak terkejut dengan jawaban putranya. “Gara, kamu seserius itu? Tapi, kalau pada akhirnya mereka tetap menolakmu, apa kamu tidak merasa sakit hati? Mama nggak mau hal ini justru akan membuat kamu down lagi, ya?” “Mama tenang saja! Untuk masalah ini aku yakin aku bisa mengatasinya,” balas Gara. Pak Naga dan Bu Almira saling bertukar pandang. Sedangkan Raline hanya bisa menyimak percakapan keluarga kecil itu dengan hati was-was, khawatir tiba-tiba akan muncul sebuah pertanyaan yang ditujukan untuknya. “Kalau kamu bagaimana, Raline? Kamu juga sudah yakin dengan Gara? Kamu mau, kan, berjuang bareng dia?” tanya Bu Almira. Raline menelan salivanya dengan susah payah. “S- saya …” “Yang terpenting, sejak awal kamu sendiri harus sudah sadar tentang status Gara. Dia duda, dan dia sudah punya Cinta yang sampai kapan pun akan menjadi prioritas dan tanggungjawab utamanya. Jadi, apa kamu yakin jika sampai kapan pun kamu tidak akan mempermasalahkan itu?” sambung Pak Naga dengan nada tegas. Kali ini, baik Bu Almira maupun Gara tidak ada yang membantu Raline untuk menjawab. Namun, sungguh, bagi Raline, ia sama sekali tidak keberatan dengan keberadaan Cinta. Dia tidak keberatan menjadi ibu sambung anak cantik itu. Justru dengan begitu, ia sudah bisa memiliki anak tanpa perlu mengandung dan melahirkan, seperti apa yang ia inginkan sejak dulu. “Saya sayang sama Cinta, Om. Saya bisa menerima Cinta sebagai anak saya. Lagi pula, justru sejak awal saya sudah lebih dekat dengan Cinta dibanding ayahnya,” jawab Raline seadanya. Tampak Pak Naga menghela napas panjang. Pria yang hampir seluruh rambutnya sudah memutih itu mengangguk, seakan puas mendengar jawaban yang Raline berikan. “Bagus kalau begitu. Raline, menjadi istri seorang duda yang pernah membina rumah tangga dengan wanita lain, apalagi ibu sambung dari anak suami dengan mantan istrinya itu mungkin tidak akan mudah. Tapi melihat bagaimana Cinta sangat dekat denganmu, saya rasa saya akan sangat merasa berdosa jika menghalangi hubunganmu dengan Gara. Biar bagaimana pun, Cinta butuh figure seorang ibu. Dia akan tumbuh lebih baik jika memiliki keluarga yang lengkap,” terang Pak Naga. Raline tidak langsung mengerti ucapan Pak Naga. Yang bisa ia rasakan, ucapan itu terdengar tidak buruk. Jadi, ia hanya menanggapinya dengan ucapan terima kasih dan berjanji akan melakukan yang terbaik. Usai pembicaraan di ruang makan, Raline, Gara dan Bu Almira berpindah ke ruang tamu, di mana Cinta berada. Mereka berbincang ringan sebelum akhirnya Raline memberi kode pada Gara untuk mengantarnya pulang, karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Seperti yang sudah Raline perkirakan, Cinta pasti akan langsung merengek tidak mengizinkannya pulang. Dan berakhir dengan anak itu yang memeluk erat leher Raline selama di perjalanan. “Mama ikut pulang ke rumah Cinta aja, kan? Cinta mau bobok sama Mama,” ujar Cinta dengan nada memelas. “Mama belum bisa, Cinta. Tapi suatu hari nanti, pasti Mama akan tinggal bersama kita lagi di rumah kita,” sambung Gara dengan tatapan fokus mengarah ke jalanan yang ada di depan mereka. “Tapi Cinta mau sama Mama. Kalau gitu, Cinta boleh kan, Pa, ikut Mama?” “Cinta, kan kamu besok harus sekolah. Kamu harus pulang sama Papa dong, kalau enggak, gimana besok sekolahnya? Tan- Mama janji. Besok Mama yang akan jemput kamu di sekolah. Habis itu, kita makan siang bersama, gimana?” Cinta langsung mengangkat kepalanya dan menatap Raline dengan mata berbinar, “Mama janji?” “Iya,” jawab Raline. Perlahan, lengkung senyum mulai tampak di bibir anak perempuan itu. Cinta menganggukkan kepalanya, sebelum akhirnya kembali memeluk Raline sembari berseru, “Cinta sayang banget sama Mama!” Raline tersenyum canggung ke arah Gara yang ternyata juga sedang melirik ke arahnya. “Besok kabari saja kamu ngajak Cinta makan di mana! Biar saya susulin kamu sekalian antar kamu pulang.” Raline menganggukkan kepalanya tanpa bersuara. Ia terlalu sibuk membelai rambut Cinta yang kini masih betah di pangkuannya. *** Sampainya di rumah Raline, Raline meminta Gara untuk tidak ikut turun. Apalagi kondisi Cinta yang tampak sudah mulai mengantuk. Ia tidak ingin Gara terlibat pembicaraan panjang yang hanya akan membuat Cinta lebih lama tiba di kamarnya. Namun, bukan Gara namanya jika pria itu mau menuruti ucapan orang begitu saja. Dengan santainya, ia malah langsung mengambil alih Cinta dari pangkuan Raline, membawa putri kesayangannya itu berjalan mendahului Raline yang sedang menggerutu tepat di belakangnya. Suara pintu diketuk, membuat Raline seketika membisu. Ia kembali merasa tidak tenang dan khawatir kedua orangtuanya akan membuat Gara dan Cinta tidak nyaman. “Pak-“ “Mas!” ralat Gara cepat, memberi peringatan pada Raline. “Halah itulah pokoknya. Gini, mending sekarang kamu sama Cinta pulang! Serius, aku cuma-“ “Saya perlu mengembalikan kamu pada orangtua kamu, Raline. Jangan sampai mereka semakin tidak suka pada saya, dan menganggap saya kurang bertanggungjawab hanya gara-gara ini!” potong Gara. “Nggak perlu. Lagian memang mereka belum bisa menerima kamu, kan? Kasihan Cinta kalau harus dengar kamu debat kusir dengan orangtuaku. Dia sudah ngantuk loh,” ucap Raline. Namun, Gara kembali tidak mengindahkannya. Ia mengetuk pintu lagi, hingga terdengar suara sahutan dari dalam rumah yang membuat Raline semakin kelabakan. “Mas!” Dan bersamaan dengan itu, pintu rumah Raline pun terbuka, memunculkan ibu Raline dari dalam kediamannya. “Selamat malam, Tante,” sapa Gara ramah. Mendengar suara ayahnya, Cinta pun langsung menolehkan kepalanya ke arah wanita paruh baya di hadapan mereka. “Papa, Nenek ini siapa?” tanya Cinta dengan begitu polos. Karena setahunya, seharusnya mereka kini sedang berada di depan rumah Raline. “Nenek? Jadi i- ini anak Anda?” kaget Bu Arum – ibu Raline. “Iya, Tante. Perkenalkan, ini Cinta, putri saya,” Gara memperkenalkan Cinta pada calon ibu mertuanya itu. Bu Arum menatap Raline yang ada di samping Gara dengan tatapan kebingungan. “Jadi, kalian habis dari mana? Kamu juga sudah kenal dengan anaknya Nak Gara?” Raline mengangguk. “Kami habis makan malam di rumah Mas Gara, Bun. Ah iya, Raline juga sudah kenal dekat sama Cinta. Cinta, salim dulu sama Nenek, sayang!” Sesuai perkataan Raline, Cinta pun langsung menjabat tangan calon neneknya itu. “Selamat malam, Nenek. Aku Cinta, anaknya Mama sama Papa.” “Mama? Raline-“ “Bun, siapa yang dat- ah … kalian?” Kemunculan Pak Edi yang langsung menyorot Gara dengan tatapan tidak suka berhasil menggoncangkan kembali kewarasan Raline. “Mas, aku kan sudah sampai, Cinta juga sudah ngantuk. Kalian langsung pulang saja, ya!” bisik Raline. “Halo, Kakek,” sapa Cinta. Anak itu juga langsung menyalami Pak Edi, sama seperti saat ia bersalaman dengan Bu Arum. “Ini anak Anda?” bingung Pak Edi. “Iya, ini putri saya, Cinta,” jawab Gara. “Sebenarnya saya belum bermaksud memperkenalkannya sekarang. Tapi berhubung Cinta sendiri yang merengek minta ikut, sepertinya tidak ada salahnya saya memperkenalkannya dengan Om dan Tante lebih cepat,” terang Gara. Seketika, suasana berubah menjadi hening. Pak Edi dan Bu Arum tampak sedikit terkejut dengan kemunculan Gara beserta putrinya. Mereka masih tidak tahu harus merespons seperti apa, terlebih di depan anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Mengingat anak itu sudah kehilangan ibunya sejak ia dilahirkan, baik Pak Edi maupun Bu Arum takut jika mereka sampai salah bicara tanpa sengaja. “Mas, sudah pulang aja sana!” bisik Raline lagi, tapi juga terdengar oleh kedua orangtuanya. Pak Edi berdehem, teringat beberapa kata yang harus ia ungkapkan seolah tidak ingin menyia-nyiakan waktu dan membiarkan semua terlewat begitu saja. “Begini, Nak Gara. Mungkin saya sudah pernah mengatakannya. Tapi sepertinya saya perlu memperjelasnya sekali lagi. Soal Anda dan putri saya, kami tidak bisa memberikan restu karena Raline sudah lebih dulu dijodohkan dengan orang lain. Jadi, sebaiknya Anda tidak perlu lagi berusaha untuk mengejar restu kami,” terang Pak Edi. Raline melirik ke arah Gara. Dan ternyata, pria itu masih mempertahankan senyumannya. “Maaf, Om. Tapi saya tidak bisa berhenti. Justru saya akan lebih berusaha untuk bisa mendapatkan restu Om dan Tante. Terlebih saat saya tahu, Raline pun juga ingin bersama dengan saya, bukannya pria yang dijodohkan dengannya itu.” Pak Edi dan Bu Arum langsung mengalihkan perhatiannya ke arah Raline – menatap putri semata wayang mereka itu dengan tajam. Merasa gugup, Raline menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Apa tidak sebaiknya kita bicarakan ini lain hari? Cinta sudah mengantuk dan dia besok harus sekolah,” ucap Raline, berusaha mengusir Gara secara halus di depan orangtuanya. Pak Edi menghela napas. “Yang Raline katakan benar. Meski sepertinya memang masih banyak yang harus kita bicarakan, tapi kasihan anak Anda. Sepertinya dia sudah mengantuk.” Gara mengangguk setuju. “Baiklah kalau begitu. Lain kali saya akan datang lagi untuk menghadap Om dan Tante. Dan semoga di hari itu nanti, kita bisa mendapat kesepakatan yang terbaik. Kalau begitu, kami permisi, Om, Tante,” pamit Gara. Ia memberi perintah pada Cinta untuk ikut bersalaman dengan kedua orangtua Raline itu. Kemudian, mereka pun kembali ke mobil dan segera melanjutkan perjalanan pulang. Sepeninggal Gara dan Cinta, tatapan tajam Pak Edi dan Bu Arum masih setia mengintai Raline. Raline pun ingin cepat-cepat berpamitan ke kamarnya. Namun, Bu Arum sudah membaca gerak-gerik putrinya – ia menghalangi niat Raline dan segera menariknya untuk duduk di ruang tamu. “Jadi, sebenarnya apa yang kamu rencanakan, Raline?” tanya Bu Arum dengan nada tegas. “Ya apa lagi? Ayah sama Bunda kan nyuruh Raline cepat-cepat nikah, dan sekarang Raline sudah menemukan calonnya. Raline mau menikah sama Mas Gara, Yah, Bun,” balas Raline. “Seingat Bunda kamu nggak mau buru-buru. Lagi pula, sejak kapan kalian pacarana? Bukannya kamu tidak pernah dekat dengan siapa pun? Ini cuma taktik kamu aja, kan, Raline, biar lepas dari perjodohan kamu dengan Lucas?” tuduh Bu Arum, yang memang benar adanya. “Ih, Bunda …” “Ayah juga mikirnya ke situ. Kamu dan Nak Gara nggak mungkin serius, kan? Nggak usah bohong, Raline! Ayah dan Bunda mau dengar kejelasannya sekarang!” sambung Pak Edi. “Tidak mungkin pewaris Mahawira Grup tiba-tiba mau menikahi kamu,” pungkas Bu Arum. Raline sedikit terperanjat. Ia memang tahu jika Gara merupakan bagian dari Keluarga Mahawira. Namun, “calon pewaris”? Raline berusaha menutupi keterkejutannya. Mungkin ia harus menanyakan hal ini langsung pada Gara. Namun, yang pasti sekarang ia harus tampak tenang, jangan sampai orangtuanya tahu kalau ia bahkan belum terlalu mengenal Gara sejauh itu. “Nyatanya dia mau, kan, Bun? Dia loh yang ngajak Raline nikah, bukan Raline yang ngemis-ngemis cinta dia. Lagi pula, orangtua dia juga sepertinya setuju, kok. Tadi kami habis makan malam sama Om Naga dan Tante Almira. Mereka tidak keberatan Mas Gara sama Raline,” terang Raline. “Nah … makin nggak masuk akal kan, Yah? Nggak mungkin lah keluarga sekelas mereka bisa menerima putri kita yang kerjaannya aja nggak jelas dengan segampang itu,” Bu Arum berkomentar. Raline memutar bola matanya malas. “Sudah deh, terserah Ayah sama Bunda mau percaya atau tidak. Intinya gimana, kalau bener Mas Gara serius sama Raline, kalian bakal kasih restu, kan? Sekelas Keluarga Mahawira loh ini. Masa iya Ayah sama Bunda mau menyia-nyiakan calon mantu seperti itu?” Pak Edi dan Bu Arum saling pandang cukup lama. Namun, dari raut wajah keduanya, masih tersirat keraguan yang amat besar. “Kami tidak peduli dengan latar belakang keluarganya, Raline. Justru kalau itu Nak Gara, itu akan membuat kami merasa lebih sulit untuk menerimanya. Kami tidak mau perbedaan strata sosial akan membebani kamu nantinya,” ujar Bu Arum. “Ayah tidak mau suatu hari nanti mereka akan menginjak harga dirimu karena kelas sosial kamu dan Nak Gara yang jauh berbeda. Ayah tidak mau anak Ayah diperlakukan dengan kurang baik,” sambung Pak Edi. Kini, giliran Raline yang bungkam. Memang, sekilas saja ia tahu jika dirinya dan Gara memiliki terlalu banyak perbedaan, khususnya tentang kelas sosial. Dan ia bisa mengerti kekhawatiran ayahnya. Bagaimana jika ketakutan orangtuanya itu akan terbukti di kemudian hari? Bagaimana jika Raline justru akan mendapat perlakuan yang tidak baik karena kelas sosialnya yang berada terlalu jauh di bawah keluarga besar Gara? Seketika, Raline pun kembali meragu dengan keputusannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD