12 - Kepastian

2064 Words
Raline seketika gugup dan kembali bimbang meski kini ia sudah berada di depan sekolah Cinta. Seperti janjinya kemarin, ia ingin menjemput dan mengajak Cinta makan siang berdua dengannya. Hanya saja, ia masih bingung dengan langkah apa yang akan ia ambil setelah ini. Karena biar bagaimana pun juga ucapan kedua orangtuanya semalam memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pikirannya. “Mama! Bu Ayu, itu mamanya Cinta!” seru seorang gadis cilik dengan rambut kucir kuda yang sangat lucu. Melihat anak itu berlarian ke arahnya diikuti oleh salah seorang guru, senyum Raline pun otomatis tersungging. Gadis itu bersimpuh dan langsung menerima pelukan erat dari Cinta. “Cinta seneng banget Mama menepati janji Mama buat jemput Cinta. Cinta udah kangen banget sama Mama,” ujar Cinta, yang membuat Raline terkekeh. “Baru juga kemarin kita bertemu,” balasnya. Cinta segera mengurai pelukannya agar ia bisa memandangi wajah Raline sepuas hatinya. “Kalau bisa, Cinta maunya sama Mama terus. Nggak mau pisah lagi karena takut Mama hilang lagi seperti dulu-dulu.” Raline bungkam seketika. Dari ucapan anak polos di hadapannya, tampak sekali jika anak itu seakan trauma dengan rasa kehilangan. Anak itu sudah terlanjur sayang dan berharaap banyak pada Raline. Lantas, bagaimana mungkin Raline bisa meninggalkannya begitu saja? “Hm … maaf, Anda walinya Cinta, ya? Tadi ayah Cinta berpesan kalau akan ada seorang perempuan yang jemput Cinta, soalnya Beliau berhalangan menjemput Cinta hari ini,” tanya guru yang tadi mengikuti Cinta. Kalau tidak salah dengar, tadi Cinta sempat memanggilnya dengan nama ‘Bu Ayu’. “Ah iya,” jawab Raline sembari bangkit untuk menyapa guru Cinta. “Bu Ayu, ini mamanya Cinta, seperti yang Cinta ceritakan tadi. Kata Papa nggak apa-apa kok Cinta pulang bareng Mama. Soalnya nanti Papa juga bakal nyusulin buat makan bareng.” Cinta menambahkan. “Ah iya. Tadi Pak Gara juga berkata seperti itu. Ini, Bu, tas Cinta. Lalu, apakah masih ada yang bisa saya bantu?” ucap Bu Ayu sambil menyerahkan tas bergambar little pony milik Cinta pada Raline. “Tidak, Bu, terima kasih. Kalau begitu, Cintanya saya bawa, ya, Bu. Terima kasih sudah diantar dan ditemani sampai sini,” ungkap Raline. “Sama-sama, Bu. Lagi pula itu memang sudah menjadi tugas saya,” balas Bu Ayu. Setelah itu, Raline segera menggandeng Cinta ke depan, sambil menunggu taksi pesanan mereka datang. Sebenarnya, Gara sempat memaksa agar mereka dijemput sopir keluarganya saja. Namun Raline menolak karena ia merasa kurang nyaman jika harus terlalu banyak merepotkan Gara, sedangkan di antara mereka belum memiliki hubungan yang pasti. Tak berselang lama, Raline dan Cinta tiba di sebuah rumah makan semi out-door pilihan Cinta. Keduanya langsung memesan makanan berat. Begitu pesanan mereka datang, Cinta pun langsung meminta disuapi oleh perempuan yang ia pikir adalah ibunya itu. Namun, di tengah kegiatan manis itu, kedatangan Gara berhasil mengintrupsi mereka. Raline mendadak merasa salah tingkah dan langsung meletakkan sendok yang ia gunakan untuk menyuapi Cinta ke atas piring, dan tak ayal membuat anak itu kebingungan. “Mama kenapa? Kan makanan Cinta masih banyak,” bingung Cinta. “Hm … itu, Cinta lanjut makan sendiri saja, ya? Malu dilihatin Papa,” ucap Raline berusaha memberi pengertian. Gara yang saat itu duduk di hadapan Raline pun sontak mengernyitkan alisnya. Ia menatap Raline dengan tatapan tidak mengerti. “Cinta nggak malu, kok, Ma. Lagi pula, Cinta kan memang masih anak-anak. Teman-teman Cinta juga masih pada suka disuapin mama mereka. Lagian Papa nggak mungkin ngejekin Cinta, iya, kan, Pa?” ucap Cinta panjang lebar. Anak itu ngotot masih ingin disuapi oleh Raline. Melihat ada yang tidak beres dengan sikap Raline, Gara pun berusaha menengahi. “Gantian dong. Biar Papa yang lanjut suapin Cinta, ya? Sambil nunggu kopi Papa datang.” Namun, Cinta menggelengkan kepalanya ribut. “Mau disuapin Mama. Pokoknya Cinta lagi pengen dimanjain sama Mama, seperti teman-teman Cinta yang lain.” Gara langsung menatap Raline, seolah melihat reaksi gadis itu. Merasa terpojok, akhirnya Raline kembali meraih sendok yang sempat ia letakkan, dan kembali menyuapi putri kecil dari Igara Surya Mahawira itu. “Kamu nggak makan?” tanya Raline saat melihat ternyata pesanan Gara hanyalah secangkir kopi panas. “Tidak. Setelah ini saya harus langsung mengantar Cinta pulang. Dan kamu, mau bagaimana?” Gara balik bertanya. “Gimana apanya?” bingung Raline. “Mama bakal temani Cinta main di rumah sampai malam, kan? Mama ikut ke rumah saja ya, Ma?” pinta Cinta. “Mau ke rumah saya, saya antar pulang, atau ke kantor?” tawar Gara. “Hah? Kantor?” Raline semakin dibuat bingung oleh kata-kata Gara. “Kamu bilang kamu mau bergabung dengan Mahawira Group, kan? Kalau begitu, kamu bisa tunjukkan kinerja kamu ke saya. Setelah itu saya baru bisa pertimbangkan apakah kamu cukup kompeten jadi asisten saya atau tidak,” terang Gara, masih dengan nada yang santai seakan tidak sadar jika bola mata gadis di hadapannya sudah hampir melompat karena ucapannya. “Asisten? Saya? Asisten kamu? Di Mahawira Group? Yang benar saja?!” kaget Raline. “Kenapa? Tidak mau? Lalu posisi seperti apa yang kamu harapkan?” Ditanya seperti itu, Raline kembali bungkam. Jujur saja, menjadi asisten salah seorang petinggi perusahaan besar adalah pekerjaan yang amat baik menurutnya. Melihat nilai di ijazah serta pengalaman kerjanya, sepertinya tidak mungkin bagi Raline bisa mendapatkan posisi yang lebih prestisius dibanding itu. Hanya saja, kenapa harus menjadi asisten seorang Igara Surya Mahawira? “Memang kamu sedang butuh asisten? Asisten lama kamu ke mana?” tanya Raline. “Ada. Dia sehat. Tapi setelah saya pikir-pikir, sepertinya tidak buruk juga punya lebih dari satu asisten,” jawab Gara yang lagi-lagi membuat Raline melongo. ‘Memang duit Mahawira Group sebanyak itu, ya? Sampai asisten bos aja nggak cukup satu.’ Batin Raline. “Mama mau kerja di kantor Papa? Lalu nanti Cinta main sama siapa dong? Pa, Papa jangan ambil Mama dari Cinta, dong! Mama Raline kan punya Cinta!” protes Cinta sambil menatap tajam ayahnya. “Sayang, ini urusan orang dewasa. Pokoknya, Cinta percaya saja ya, sama Papa! Papa janji nggak akan membuat Mama Raline jauh lagi dari Cinta.” Gara memberi pengertian. “Kamu bagaimana, Raline? Atau ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan terlebih dahulu? Kamu kelihatan sedang memikirkan sesuatu, dan itu berkaitan dengan saya. Jadi …” Gara menggantungkan kalimatnya karena ia yakin Raline sudah mengerti ke mana arah pembicaraannya kali ini. Raline berdehem untuk mencairkan suasana. “Kebetulan memang ada. Soal kita, apa kamu yakin?” “Yakin soal apa?” “Tidak apa-apa kalau kamu sama orang dengan kelas menengah bawah kayak saya. Saya biasa baca n****+ romansa, katanya kalau orang kaya menikah sama orang sederhana bisa berdampak buruk ke perusahaan. Apalagi bukan hanya soal perekonomian keluarga saja saya yang minus. Tapi kepribadian saya juga tidak tertolong,” terang Raline. Gara tidak langsung menanggapi. Mereka saling bertukar tatap cukup lama hingga akhirnya Raline dulu lah yang melepas kontak mata itu. “Serius kamu tanya hal itu setelah apa yang saya katakan di depan orangtua saya dan kamu juga mendengar respons mereka?” tanya Gara. “Bukan gimana-gimana. Tapi kalau saya pikir, bahkan saya lebih cocok jadi babysitter Cinta daripada ibunya. Memang kamu tidak berpikir begitu? Saya-“ “Tidak. Bahkan saya yakin Cinta akan sangat marah mendengar kata-kata kamu barusan. Jadi, saya minta berhenti bicara omong kosong dan jalani saja ini semua sebagaimana yang sudah kita sepakati sebelumnya!” tegas Gara. Lantas, Raline langsung menolehkan kepalanya ke arah Cinta. Dan gadis kecil itu tampak murung, seolah menyadari jika apa yang sedang diperdebatkan oleh dua orang dewasa di sekitarnya bukanlah sesuatu yang baik. “Raline, saya sudah mengutarakan, bahkan menegaskan niat saya ke kamu, kan? Soal alasan latar belakang atau hal bullshit apapun yang kamu katakan tadi, saya masih bisa mengatasinya. Kamu cukup mengikuti alur permainan saya, dan jangan lagi merasa kecil di hadapan saya!” imbuh Gara yang membuat Raline hanya bisa menundukkan kepalanya. Raline benar-benar dilemma. Ia meragu. Ia masih belum bisa menentukan haruskah ia maju, atau justru berhenti sampai di sini sebelum semua semakin jauh. Hingga sebuah pelukan hangat terasa dari samping tubuhnya, bersamaan dengan netranya yang bersitatap dengan mata sendu gadis cilik yang sejak tadi berada di sisinya. “Mama dan Papa habis berantem, ya? Ucapan Papa ada yang menyakiti Mama? Mama jangan sedih! Mama jangan marah! Cinta nggak mau Mama pergi lagi! Jangan pisah sama Papa! Mama harus selalu bersama Cinta dan Papa!” pinta Cinta dengan suara bergetar. Terdengar tawa sinis dari seberang meja yang membuat Raline mau tidak mau mendongak. “Puas kamu membuat anak saya menangis lagi? Mau berapa kali lagi kamu mengulangi hal seperti ini? Membawanya terbang dan menjanjikan kebahagiaan untuknya, lalu tiba-tiba kamu bilang seakan kamu ingin mundur dan lari begitu saja.” “Papa jangan marahin Mama! Cinta nggak mau kehilangan Mama lagi!” Akhirnya, perdebatan dua orang dewasa itu terhenti begitu tangis Cinta yang memilukan memenuhi gendang telinga mereka. Raline membawa Cinta ke dalam dekapan hangatnya. Memeluk anak itu seat mungkin, sekaligus memberinya ketenangan. “Maafkan Mama, sayang! Mama yang salah. Mama janji nggak akan ninggalin Cinta lagi. Tapi, Cinta jangan sedih, ya! Mama janji akan selalu berada di sisi Cinta. Maafkan Mama.” Raline sendiri seakan tidak sadar dengan apa yang ia katakan. Semua meluncur begitu saja dari bibirnya seolah refleks terucap karena rasa empatinya terhadap Cinta. Namun, akankah ia sanggup menanggung risiko dari ucapannya hari ini? *** Dikarenakan Cinta yang tidak mau berpisah dengan Raline, jadilah mereka bertiga kini sedang berada di dalam ruang kerja Gara. Tak hanya mereka bertiga, tetapi juga ada asisten Gara yang sudah delapan tahun bekerja bersama Gara – tepatnya sejak Gara awal masuk ke kantor ini. Lelaki bernama Dimas itu kini sedang menerangkan berbagai tugas Raline setelah ia resmi menjadi asisten Gara nantinya. “Jadi, saya lebih mengurusi urusan pribadi Mas- eh maksud saya Pak Gara, sedangkan Anda urusan kantornya?” tanya Raline untuk memastikan, takut-takut ada yang salah. “Benar, Bu. Karena biar bagaimana pun tidak akan mudah bagi Ibu untuk mempelajari tentang urusan kantor dalam waktu cepat. Apalagi Ibu juga masih harus memikirkan soal pernikahan Ibu dengan Pak Gara,” jawab Dimas. “Eh?” Raline tentu terkejut. Ia bahkan belum membicarakan hal itu dengan matang dengan Gara. Lantas, dari mana Dimas bisa tahu? “Dimas ini asisten saya, Raline. Jelas dia harus tahu rencana-rencana saya ke depannya, agar tidak sulit baginya untuk menghandel pekerjaan saya nantinya saat saya cuti menikah,” ucap Gara seolah tahu apa yang sedang Raline pikirkan. Raline hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan kaku, kemudian beralih menatap Cinta untuk menutupi rasa gugupnya. “Jadi, apa masih ada yang ingin Ibu tanyakan pada saya?” tanya Dimas. “Ah untuk sekarang cukup. Oh iya, kalau boleh, jangan panggil saya ‘Ibu’, dong! Pak Dimas bahkan lebih tua dan berpengalaman dibanding saya. Lagi pula status kita sama di kantor ini. Jadi, bisa langsung panggil nama saja?” pinta Raline. Dimas langsung mengalihkan pandangannya ke arah Gara seolah meminta izin. Namun, belum sempat Raline ikut menatap ‘bos’ mereka itu, suara Dimas sudah lebih dulu terdengar. “Baiklah jika itu bisa membuat Ib- eh maksud saya kamu, merasa lebih nyaman.” “Kalau begitu, saya permisi. Jangan sungkan panggil say ajika kamu membutuhkan sesuatu!” Raline mengangguk, lalu membiarkan Dimas pergi dari sana. “Ma,” panggil Cinta. “Ya, sayang?” “Cinta ngantuk. Cinta mau tidur di pangkuan Mama, ya?” pinta Cinta, yang langsung mendapat anggukkan dari Raline. Raline berusaha membuat anak itu nyaman, agar ia bisa segera terjun ke alam mimpinya. Dan tak berselang lama, Raline bisa merasakan napas Cinta yang mulai teratur. “Baringkan saja di sofa agar kakimu tidak kram!” usul Gara. “Ah nggak apa-apa. Lagian Cinta tidak begitu berat,” tolak Raline. Namun, tatapan Gara berhasil membuatnya tunduk dan segera melakukan apa yang pria itu perintahkan. “Bisa kamu duduk di sini sebentar? Sepertinya ada beberapa hal mendesak yang masih harus kita bahas,” titah Gara. “Oh … soal pekerjaan baru saya?” Raline tidak menyangka jika Gara akan memperkerjakannya mulai hari ini juga. Ia pun segera bangkit menuju meja kerja Gara, kemudian duduk di hadapan pria itu. “Jadi?” “Ini bukan soal pekerjaan. Tapi soal kita. Tentang sikap aneh kamu yang membuat saya kesal tadi, juga tentang rencana lamaran resmi saya ke rumah kamu,” ucap Gara dengan tatapan serius, seolah ia tidak ingin memberi sedetik pun kesempatan bagi Raline untuk mulai berceloteh tidak jelas. Dan seketika, Raline hanya bisa menelan salivanya dengan susah payah mendengar nada bicara penuh intimidasi itu.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD